Bentara bertekun menopang komunitas budaya dan para seniman yang berjuang mengembangkan diri. Lembaga ini menaruh penghargaan sama terhadap seni kontemporer dan berbagai isu wacana terbaru pada kesenian dan kebudayaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
Lembaga kebudayaan Kompas Gramedia, Bentara Budaya, genap berusia 40 tahun pada Senin (26/9/2022). Seniman, budayawan, guru, serta tokoh politik hadir dalam perhelatan seni budaya di Jakarta dan Yogyakarta, Senin malam, guna memperingati hari ulang tahun Bentara Budaya. Di antara iringan musik dan lampu warna-warni, dipanjatkan doa demi Bentara Budaya panjang usia.
Menjelang pukul 19.30, pembawa acara mempersilakan tamu undangan untuk berkumpul di pelataran Bentara Budaya, kawasan Palmerah, Jakarta, karena acara akan segera dimulai. Belum selesai pembawa acara menarik napas untuk bicara lagi, hujan deras turun.
Penonton berhamburan ke tepian untuk berteduh. Panitia, yang keburu basah kuyup, bergerak cepat mengamankan televisi, kursi, dan apa pun yang mesti diselamatkan dari guyuran hujan. Hajatan pun bubar sementara.
Selama 40 tahun terakhir, Bentara Budaya bukan hanya telah dilahirkan, melainkan juga telah ’melahirkan’.
Acara lantas sempat dipindahkan ke ruang pameran di dalam. Acara semalam dihadiri Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Susi Pudjiastuti (Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019), dan Saleh Husin (Menteri Perindustrian 2014-2016).
”Tidak apa-apa, sebab hujan itu berkat. Saya harap Bentara Budaya juga akan penuh berkat,” kata penyanyi keroncong Endah Laras.
Berawal dari cinta
Bentara Budaya bermula dari kecintaan pendiri Kompas, PK Ojong dan Jakob Oetama, terhadap seni dan budaya. Sejak 1970-an, Kompas mengoleksi sejumlah lukisan, barang antik, dan barang seni lain.
Benda-benda seni itu lantas diserahkan pengelolaannya kepada karikaturis Kompas, GM Sudarta. Gramedia Art Gallery pun didirikan guna menampung benda-benda seni itu, yang berlokasi di kawasan Pintu Air, Jakarta. Galeri ini bibit berdirinya Bentara Budaya.
Satu dekade kemudian, tepatnya 1982, Bentara Budaya didirikan pertama kali di Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Pendirian Bentara Budaya Jakarta menyusul empat tahun kemudian. Jakob Oetama membuka Bentara Budaya Jakarta pada 26 Juni 1986, diikuti pendirian di Solo (2003) dan Bali (2009).
Selama 40 tahun, Bentara Budaya menghadirkan berbagai pameran, diskusi, lokakarya, pertunjukan, dan kegiatan seni. Kegiatan ini melibatkan para pegiat seni budaya dari berbagai bidang, generasi, bahkan lintas negara. Koleksinya pun beragam, termasuk karya pelukis maestro, seperti Affandi, Basoeki Abdullah, Bagong Kussudiardjo, S Sudjojono, dan Hendra Gunawan.
Saat didirikan, Bentara Budaya (yang berarti ’utusan budaya’) mengusung surya sengkalan (penanda waktu) Manembah Hangesti Songing Budi. Jika diartikan, Bentara Budaya bertujuan memberi kemuliaan pikiran tanpa pamrih.
”Pikiran, hikmah, kearifan itu diperas demi membangun kehidupan manusia yang lebih beradab,” kata General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri di Yogyakarta.
”Dalam praktik, sebagaimana dicatat kurator senior Bentara, Sindhunata SJ, Bentara bertekun menopang komunitas budaya dan para seniman yang berjuang mengembangkan diri. Lembaga ini juga menaruh penghargaan yang sama terhadap seni kontemporer dan berbagai isu wacana terbaru pada kesenian dan kebudayaan,” tambahnya.
Bentara Budaya juga berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan kekinian dengan meluncurkan dua program baru, Podcast Bentara Budaya dan Laboratorium NFT.
”Podcast Bentara Budaya adalah ruang percakapan yang menghadirkan narasumber para seniman dan budayawan untuk menggali pengalaman dan proses kreatif mereka dalam berkesenian,” kata Ilham.
Dalam peringatan tahun ini, diberikan Penghargaan Bentara Budaya kepada empat seniman. Mereka adalah Ong Hari Wahyu dari Yogyakarta, Warsad Darya dari Indramayu (Jawa Barat), Sahilin dari Sumatera Selatan, serta Serang Dakko dari Sulawesi Selatan.
Pelukis Sigit Santosa (73) mengapresiasi 40 tahun Bentara Budaya. Menurut dia, koleksi Bentara Budaya menjadi referensi seniman untuk mengenal sekaligus belajar dari karya para maestro.
Redaktur senior Kompas sekaligus Vice CEO Kompas Gramedia, Rikard Bagun, mengatakan, selama 40 tahun terakhir, Bentara Budaya bukan hanya telah dilahirkan, melainkan juga telah ”melahirkan”. Karya kelahirannya berupa pameran, diskusi, lokakarya, hingga kolaborasi dengan para seniman dan budayawan.