Gangguan Produksi Tanaman akibat Perang Ukraina dapat Tingkatkan Emisi Karbon
Hasil studi terbaru menunjukkan, perang Ukraina akan meningkatkan emisi dan berdampak buruk pada iklim global. Sebab, negara-negara lain diperkirakan akan membuka lahan secara luas untuk menanam lebih banyak tanaman.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
Invasi Rusia ke Ukraina yang telah berlangsung selama lebih dari enam bulan berdampak terhadap beragam aspek, mulai dari politik, ekonomi, sosial, hingga lingkungan. Hasil studi terbaru menunjukkan, gangguan produksi tanaman setelah perang Ukraina juga diperkirakan akan meningkatkan emisi karbon dan harga pangan di seluruh dunia.
Studi tentang meningkatnya emisi karbon akibat invasi Rusia ke Ukraina ini dilakukan oleh tim peneliti dari Indiana University-Purdue University Indianapolis (IUPUI), Amerika Serikat. Laporan lengkap studi ini juga telah dipublikasikan di jurnal Naturefood, 19 September 2022.
Dalam studi ini, tim peneliti menggunakan model simulasi ekonomi untuk memprediksi efek jangka pendek dan panjang dari perang Ukraina terhadap perubahan iklim, harga tanaman, dan kekurangan pangan.Peneliti pun menyimpulkan bahwa perangtersebut berdampak terhadap produksi dan ekspor tanaman di Ukraina.
Sementara Rusia juga diyakini akan terus meningkatkan harga pangan dunia dan memicu kerawanan pangan. Namun, peningkatan harga pangan ini tidak sebanyak yang diprediksi pada awal terjadi perang karena negara-negara lain telah meningkatkan produksi mereka.
Para peneliti memperkirakan bahwaharga jagung dan gandum dunia akan meningkat masing-masing hingga 4,6 persen dan 7,2 persen. Peningkatan harga ini juga diprediksi akan terjadi pada tanaman barley, beras, kedelai, bunga matahari, dan gandum.
Profesor di O’Neill School of Public and Environmental Affairs IUPUI yang juga penulis studi ini, Jerome Dumortier, mengemukakan, saat perang Ukraina dimulai, terdapat banyak kekhawatiran tentang krisis pangan secara global. Akan tetapi, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa krisis pangan tidak seburuk yang dikhawatirkan meski perang tersebut tetap berdampak pada rantai pasok global.
”Dampak perang terhadap pangan tidak terlalu signifikan karena sebagian besar negara lain sudah mulai memproduksi tanaman dan melakukan ekspor. Namun, mengisi kesenjangan produksi pangan ini akan tetap berdampak buruk pada iklim global,” ujarnya dikutip dari situs resmi IUPUI, Rabu (21/9/2022).
Perang Ukraina akan berdampak buruk pada iklim global karena negara-negara laindiperkirakan akan membuka lahan secara luas untuk menanam lebih banyak tanaman. Hal ini dilakukan guna menutupi produksi dan keterlambatan ekspor akibat perang.
Kondisi ini bahkan ditegaskan dalam hasil studi tersebut yang menemukan bahwa Brasil meningkatkan produksi jagunguntuk mengimbangi penurunan ekspor Ukraina.
Peneliti juga menemukan, perubahan penggunaan lahan di seluruh dunia akan memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Sebab, negara lain akan meningkatkan emisi karbon dari perubahan penggunaan lahan dan berkontribusi lebih banyak terhadap deforestasi.
”Perjanjian gandum antara Rusia dan Ukraina selama musim panas adalah perkembangan positif, tetapi situasi di Ukraina tidak pasti. Kami menyarankan pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang membantu populasi rentan,” tutur Jerome.
Perlu kebijakan
Menurut Jerome, sejumlah kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam membantu populasi rentan ini adalah subsidi pangan domestik dan pengurangan atau penghapusan pembatasan perdagangan. Kebijakan ini juga diyakini akan mengurangi efek perubahan iklim di masa depan karena memungkinkan pergeseran keunggulan komparatif antarnegara.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres saat awal terjadinya invasi Rusia ke Ukraina pada Maret lalu juga menyebut bahwa perang ini berisiko tinggi meningkatkan pemanasan global dan mempercepat laju perubahan iklim dunia.
Menurut Guterres, serangan Rusia akan mengerahkan teknologi perang yang sangat canggih dan modern. Seluruh teknologi perang ini dijalankan dengan mengandalkan bahan bakar fosil berskala besar. Kondisi yang ditimbulkan pascaserangan, seperti kebakaran, asap, hingga partikel-partikel dari senjata, juga akan memperparah iklim.
”Serangan ini juga berpotensi pada berbagai hal termasuk pergerakan pasokan makanan dan sumber energi global. Semuanya berimplikasi pada kegagalan pemenuhan target bangsa-bangsa dunia menekan laju perubahan iklim,” katanya.
Di tengah berbagai dampak yang ditimbulkan akibata perang ini, Gutteres pun menekankan agar setiap negara, termasuk di Eropa, membuat kebijakan yang tetap berpihak pada komitmen untuk menekan laju perubahan iklim dan peningkatan suhu global.