Memanfaatkan Ponsel Pintar untuk Ukur Oksigen Tubuh
Hasil uji para peneliti di Amerika Serikat sangat menggembirakan karena ponsel pintar secara tepat bisa memperkirakan kadar oksigen dalam darah peserta uji sebesar 80 persen di saat yang sama.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Ketersediaan oksimeter sebagai kebutuhan wajib di rumah sempat booming di saat parah-parahnya pandemi Covid-19. Saturasi oksigen dalam aliran darah pasien yang turun acap kali berujung pada kematian karena terlambat dibawa ke rumah sakit.
Meski Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan titik balik pandemi Covid-19 mulai kelihatan, tidak ada salahnya bagi kita untuk tetap menyediakan oksimeter. Apalagi, oksimeter tidak hanya berguna bagi penderita Covid-19.
Mereka yang memiliki asma juga wajib mengantonginya. Ini karena pada tubuh penderita Covid-19 dan asma sama-sama sulit menyerap oksigen dari paru-paru. Apabila terjadi hipoksemia atau saturasi oksigen dalam darah turun menjadi 90 persen dan bahkan kurang, perlu segera dirawat ke layanan medis terdekat.
Selama ini, oksimeter yang awam kita kenal dan digunakan bentuknya seperti klip yang menjepit jari. Di bagian atas terdapat monitor yang menunjukkan sejumlah info, utamanya persentase saturasi oksigen (SpO2).
Sejumlah peneliti dari University of Washington (UW) dan University of California San Diego memperkenalkan bahwa ponsel pintar atau smarthphone dapat digunakan sebagai oksimeter. Hasil riset mereka dipublikasikan pada 19 September 2022 di jurnalnpj Digital Medicine. Klaim para peneliti, oksimeter dari ponsel pintar ini bisa mendeteksi saturasi oksigen hingga 70 persen, kemampuan standar yang harus dipenuhi oksimeter menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan AS.
Kamera merekam video, setiap kali jantung Anda berdetak, darah segar mengalir melalui bagian yang diterangi oleh lampu kilat.
”Aplikasi ponsel pintar lain yang melakukan hal ini (mengukur saturasi oksigen) mensyaratkan orang untuk menahan napas. Banyak orang tidak nyaman karena harus menahan napas satu menit bahkan lebih dan itu sebelum kadar oksigen darah mereka turun cukup jauh untuk mewakili rentang yang penuh, data yang relevan secara klinis,” kata Jason Hoffman, tim penulis yang juga mahasiswa doktoral UW di Paul G Allen School of Computer Science & Engineering, dalam situs internet kampus UW, 19 September 2022.
Pemanfaatan ponsel pintar sebagai pengukur saturasi oksigen ini dinilai akan sangat membantu masyarakat. Hal ini karena hampir setiap orang telah memiliki ponsel pintar yang artinya tiap orang juga akan memiliki oksimeter.
”Ini akan sangat bermanfaat untuk janji temu medis atau bagi perawat triase untuk dapat dengan cepat menentukan apakah pasien perlu pergi ke unit gawat darurat atau jika mereka dapat melanjutkan ke ruang gawat darurat, beristirahat di rumah dan membuat janji dengan penyedia perawatan primer mereka nanti,” kata Matthew Thompson, tim peneliti yang juga guru besar kesehatan keluarga di UW School of Medicine.
Eksperimen
Dalam eksperimennya, mereka melibatkan enam peserta berusia 20-34 tahun yang terdiri tiga laki-laki dan tiga perempuan. Tiap individu diberi perlakuan yang sama.
Untuk mengumpulkan data guna melatih dan menguji algoritma, para peneliti meminta setiap peserta memakai oksimeter standar di satu jari dan kemudian meletakkan jari lain di tangan yang sama di atas kamera ponsel dan lampu kilat (flash lamp). Setiap peserta memiliki pengaturan yang sama di kedua tangan secara bersamaan.
Mereka lalu dikondisikan dengan menghirup udara campuran nitrogen dan oksigen dalam persentase terkontrol. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kadar oksigen pada darah tiap peserta uji. Hasil uji sangat menggembirakan karena ponsel pintar secara tepat memperkirakan kadar oksigen dalam darah peserta sebesar 80 persen di saat yang sama. Pada keenam peserta, tim memperoleh lebih dari 10.000 pembacaan tingkat oksigen darah antara 61 persen dan 100 persen.
”Kamera merekam video, setiap kali jantung Anda berdetak, darah segar mengalir melalui bagian yang diterangi oleh lampu kilat,” kata penulis senior Edward Wang. Ia memulai proyek ini sebagai mahasiswa doktoral UW yang mempelajari teknik listrik dan komputer dan sekarang menjadi asisten profesor di Lab Desain UC San Diego dan Departemen Teknik Elektro dan Komputer.
Wang menjelaskan kamera merekam seberapa banyak darah menyerap cahaya dari lampu kilat di masing-masing tiga saluran warna yang diukur, yaitu merah, hijau, dan biru. Hasil pengukuran ini kemudian dimasukkan dalam model pembelajaran mendalam (deep learning model).
Para peneliti menggunakan data dari empat peserta untuk melatih algoritma pembelajaran mendalam untuk mengeluarkan kadar oksigen darah. Sisa data digunakan untuk memvalidasi metode dan kemudian mengujinya untuk melihat seberapa baik kinerjanya pada subyek baru.
Kelemahan
Meski hasilnya menggembirakan, ada sejumlah kekurangan dan kelemahan dalam riset ini yang diakui peneliti. ”Lampu smartphone bisa tersebar oleh semua komponen lain di jari Anda, yang berarti ada banyak gangguan (noise) dalam data yang kami lihat,” kata tim penulis Varun Viswanath, alumnus UW dan mahasiswa doktoral di UC San Diego.
Tim berharap dapat melanjutkan penelitian ini dengan menguji algoritma pada lebih banyak orang/peserta uji. Ia mengemukakan satu dari enam peserta uji memiliki kapalan (kulit menebal) di jari-jarinya. Hal ini mempersulit algoritma dalam menentukan kadar oksigennya.
”Jika kami memperluas penelitian ini ke lebih banyak subyek, kami kemungkinan akan melihat lebih banyak orang dengan kapalan dan lebih banyak orang dengan warna kulit berbeda. Kemudian, kami berpotensi memiliki algoritme dengan kompleksitas yang cukup untuk dapat memodelkan semua perbedaan ini dengan lebih baik,” tutur Hoffman.
Namun, kata para peneliti, riset ini langkah awal yang baik untuk mengembangkan perangkat biomedis yang dibantu oleh pembelajaran mesin. Para peneliti telah mengajukan paten yang mencakup sistem dan metode untuk klasifikasi saturasi oksigen menggunakan ponsel.