Fenomena ”happy hypoxia” menimbulkan kegalauan di masyarakat. Akibatnya, oksimeter nadi mulai diburu orang. Padahal, tidak perlu. Yang penting, orang mewaspadai jika ada batuk menetap dan segera periksa status Covid-19.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·6 menit baca
Fenomena happy hypoxia pada penderita Covid-19 masih menjadi perbincangan sampai saat ini. Meski bukan sesuatu yang lazim, hal itu menjadi kegalauan masyarakat terkait Covid-19. Betapa tidak, orang yang tadinya tampak baik-baik saja, tiba-tiba tumbang dan meninggal.
Di tataran internasional, hal itu sudah dibahas sejak beberapa bulan lalu. Dalam artikel di Clinical Autonomic Research, 15 Juli 2020, Alejandra González‑Duarte dari Departemen Neurologi, Institut Nasional Ilmu Medis dan Gizi Salvador Zubiran, Meksiko, dan Lucy Norclife‑Kaufmann dari Pusat Disautonomia Fakultas Kedokteran Universitas New York, Amerika Serikat, memaparkan, aspek Covid-19 yang membingungkan para dokter dalam penanganan pneumonia atau radang paru yakni keberadaan pasien dengan kadar oksigen dalam darah sangat rendah, tetapi tidak merasakan dispnea (sesak napas).
Fenomena ini memunculkan istilah happy hypoxia. Suatu kondisi kekurangan oksigen dalam jaringan tubuh, tetapi tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Saat kekurangan oksigen mencapai titik tertentu, penderita akan kolaps dan meninggal.
Pada penelitian di Wuhan, China, pasien yang terinfeksi virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 dengan sindrom pernapasan akut berat, hanya 19 persen yang mengeluh sesak napas. Sementara 62 persen pasien dengan penyakit parah dan 46 persen dari pasien yang diintubasi, menggunakan ventilator, ataupun meninggal, tidak mengalami sesak napas.
Yang aneh, demikian dikatakan González‑Duarte dan Norclife‑Kaufmann, pasien mengalami takikardia (denyut jantung lebih dari 100 kali per menit) dengan takipnea (bernapas dengan cepat) dan alkalosis pernapasan (kadar karbon dioksida dalam darah rendah). Kondisi itu merupakan respons dari informasi sensorik yang mencapai batang otak dan seharusnya ada rasa sesak napas. Kenyataannya, pasien tidak sadar mengalami hipoksia.
Diduga, hal ini akibat kerusakan pada saraf aferen penginderaan hipoksia pada penderita Covid-19 karena badai sitokin ataupun efek SARS-CoV-2 pada batang saraf.
Hal serupa dikemukakan Sebastiaan Dhont dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Ghent, Belgia, dalam jurnal Respiratory Research yang dimuat daring 28 Juli 2020. Banyak pasien Covid-19 datang dengan hipoksemia berat tanpa tanda-tanda gangguan pernapasan dan tidak sesak napas. Namun, perburukan terjadi dengan cepat.
Di Indonesia, fenomena ini baru mengemuka setelah kasus happy hypoxia pada tiga warga Banyumas, Jawa Tengah, diberitakan secara luas. Ketiga warga mendadak meninggal, Agustus lalu. Padahal, sebelumnya tampak sehat. Setelah diperiksa, ternyata mereka positif menderita Covid-19.
Belakangan, Kepala Dinas Kesehatan Jawa Tengah Yulianto Prabowo mengatakan, gejala happy hypoxia tidak hanya ditemukan di Banyumas, tetapi juga di sejumlah daerah Jawa Tengah, seperti Semarang dan Solo.
”Happy hypoxia sebenarnya sudah ada sejak dulu, saat Covid-19 mewabah. Hanya saja, saat itu kasus tersebut tak mendapat perhatian khusus. Setelah kasus di Banyumas, baru diperhatikan,” ujar Yulianto, Rabu (2/9/2020), seperti dikutip Kompas.com, Kamis (3/9/2020).
Sejauh ini belum ada data seberapa banyak kasus happy hypoxia dibandingkan dengan yang tidak. Selama ini, umumnya penderita Covid-19 merasa sesak napas ketika infeksi virus sampai di paru.
Mekanisme pernapasan
Guru Besar Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Menaldi Rasmin, Jumat (18/9/2020), menjelaskan, saat kita bernapas, oksigen masuk paru dan mengalami proses difusi. Oksigen menembus alveoli dan masuk ke pembuluh darah. Sebaliknya, karbon dioksida dari pembuluh darah berdifusi ke alveoli dan dibuang lewat pernapasan.
Kurangnya oksigen yang beredar di darah disebut hipoksemia. Sementara hipoksia terjadi jika kekurangan oksigen sudah berlangsung di jaringan tubuh.
Hipoksemia tidak hanya disebabkan oleh Covid-19. Bisa juga disebabkan oleh anemia, yakni kurangnya sel darah merah pembawa oksigen, berbagai infeksi, dan kanker.
Hipoksemia tidak hanya disebabkan oleh Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru. Bisa juga disebabkan oleh anemia, yakni kurangnya sel darah merah pembawa oksigen, berbagai infeksi, dan kanker.
”Pada penderita Covid-19, kalau terjadi hipoksemia berarti proses difusi terganggu. Artinya, virus sudah merusak paru. Difusi oksigen tidak bisa berlangsung karena virus menyebabkan peradangan sehingga paru bengkak dan sembab,” papar Menaldi.
Seharusnya pada kondisi hipoksemia, penderita merasa sesak napas. Reseptor di saluran napas, dalam hal ini di bronkiolus, menyampaikan sinyal ke susunan saraf otak terkait turunnya kadar oksigen. Sebaliknya, pusat saraf memberikan perintah kepada tubuh untuk bereaksi, menarik napas lebih dalam dan mempercepat pernapasan sehingga oksigen lebih banyak masuk.
Pada happy hypoxia, penderita tidak merasa sesak napas. Hal itu ditengarai karena saraf aferen (pembawa sinyal sensorik) yang bertugas menyampaikan sinyal ke sistem saraf pusat (otak) tidak berfungsi akibat infeksi SARS-CoV-2.
Kadar oksigen yang terus turun bisa menyebabkan kematian. Menurut Menaldi, tekanan oksigen dalam arteri (PaO2) 80-60 mmHg dikategorikan sebagai hipoksemia ringan, pada 60-40 mmHg disebut hipoksemia sedang. Kondisi ini harus diwaspadai. Penyebabnya, jika kadar oksigen kurang dari 40 mmHg, penderita bisa kolaps dan meninggal dunia.
Terkait hal ini, masyarakat banyak mempertanyakan, perlu tidaknya memiliki oksimeter. ”Saya tidak menganjurkan untuk memiliki oksimeter. Tapi, kalau hal itu menjadi bagian peningkatan intelektual dan tahu cara penggunaannya, tidak masalah. Seperti saat pertama orang punya termometer tahun 1970-an atau tensimeter awal tahun 2000-an,” katanya.
Menurut Menaldi, yang terpenting adalah orang mewaspadai dan menyadari jika ada gangguan kesehatan. Misalnya, jika batuk menetap, atau merasa lemah, sebaiknya segera periksa ke dokter dan melakukan pemeriksaan Covid-19.
Dugaan penyebab
Penelitian Martin J Tobin dan kolega dari Divisi Paru dan Perawatan Kritis, Rumah Sakit Edward J Hines, dan Fakultas Kedokteran Universitas Loyola Chicago, AS, yang dimuat di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine mencoba memberikan penjelasan tentang fenomena tersebut.
Penelitian Tobin melibatkan 16 pasien Covid-19 dengan tingkat oksigen yang sangat rendah, yakni sekitar 50 persen tanpa sesak napas. Adapun saturasi oksigen normal dalam darah (SpO2) adalah 95-100 persen.
Tobin menduga, virus korona menyebabkan efek menyimpang pada reseptor yang seharusnya memberikan sinyal jika kadar oksigen tubuh rendah. Lebih lanjut, Tobin dan tim menemukan mekanisme patofisiologis yang dapat menjelaskan sebagian besar kasus happy hypoxia atau dalam istilah lain disebut silent hypoxemia.
Mekanisme itu meliputi, antara lain, bagaimana pusat pernapasan di batang otak merespons tingkat oksigen yang rendah, juga kadar karbon dioksida rendah menumpulkan respons otak terhadap kurangnya oksigen dalam tubuh. Ada pula efek penyakit dalam hal ini diabetes dan usia lanjut yang menumpulkan respons sistem kontrol pernapasan terhadap hipoksia, selain itu ada ketidakakuratan pengukuran oksimeter pada kadar oksigen yang rendah dalam darah.
Covid-19 memiliki spektrum keparahan klinis yang luas. Data mengklasifikasikan kasus sebagai ringan (81 persen), parah (14 persen), atau kritis (5 persen).
Terkait fenomena happy hypoxia, Sebastiaan Dhont mengingatkan, dekompensasi pernapasan yang tiba-tiba dan cepat dapat terjadi. Dalam hal ini, takipnea (pernapasan cepat) serta hiperpnea (mengeluarkan karbon dioksida lebih banyak) bisa merupakan tanda peringatan klinis terpenting dari kegagalan pernapasan yang akan datang pada pasien Covid-19.
Karena itu, dokter dan petugas kesehatan seyogianya tidak hanya memperhatikan penampakan luar pasien, tetapi juga memantau laju pernapasan, tanda-tanda hiperventilasi, saturasi oksigen, dan pengukuran invasif hipoksemia ataupun hipokapnia (penurunan kadar karbon dioksida di arteri) pada interval waktu yang teratur.