Memanfaatkan Mikroba Dalam Negeri untuk Melindungi Tanaman
Indonesia kaya akan kekayaan hayati, termasuk mikroba yang bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan hama penyakit, menyediakan unsur hara, dan membantu tanaman beradaptasi dengan krisis iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain memicu cekaman abiotik dan suhu ekstrem, perubahan dan perdagangan benih antarnegara telah memicu peningkatan hama dan penyakit tumbuhan. Namun, kekayaan mikroba di Indonesia terbukti bisa dimanfaatkan untuk mengendalikan hama penyakit, menyediakan unsur hara, dan membantu tanaman dalam mengatasi cekaman abiotik, seperti salinitas.
Potensi mikroba Indonesia untuk menghadapi tantangan di sektor pertanian ini disampaikan Suryo Wiyono dalam orasi pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Sabtu (17/9/2022). Dalam acara ini, dua guru besar lain dari IPB University juga menyampaikan orasinya.
Ahli gizi Drajat Martianto dari Fakultas Ekologi Manusia menyampaikan orasi tentangfortifikasi pangan untuk mencegah kelaparan tersembunyi. Sementara Jarwadi Budi Hernowo dari Fakultas Kehutanan menyampaikan pentingnya konservasi burung bagi kehidupan manusia.
Dalam orasinya, Suryo menyampaikan tantangan pertanian di masa mendatang yang menghadapi meningkatnya masalah hama, penyakit, dan cekaman abiotik. Selama 20 tahun terakhir dilaporkan terdapat 14 hama dan penyakit baru pada tanaman pertanian di Indonesia. ”Ledakan hama penyakit menyebabkan kerugian, seperti penurunan produksi dan penurunan pendapatan petani,” katanya.
Misalnya, serangan penyakit blas pada padi menyebabkan kerugian hingga Rp 446 miliar per tahun sepanjang 2011-2019. Sementara serangan wereng menyebabkan kerugian sebesar Rp 1,32 triliun. ”Lebih jauh, hal ini bisa menyebabkan penurunan derajat ketahanan pangan dan meningkatnya ancaman kerawanan pangan,” katanya.
Peningkatan hama dan penyakit tanaman tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan iklim serta meningkatnya perdagangan benih dan produk pertanian antarnegara. Selain itu, produksi tanaman juga dihadapkan pada cekaman abiotik, seperti kekeringan, banjir, lahan salin, hujan asam, dan suhu ekstrem. Hal ini menuntut pengembangan pertanian adaptif.
Sudah saatnya kita meningkatkan produksi dengan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, tidak lagi tergantung pada input kimia.
”Pertanian adaptif adalah pertanian yang mampu beradaptasi dengan berbagai dinamika hama dan penyakit, cekaman abiotik, dan perkembangan sosial ekonomi,” katanya.
Menurut Suryo,salah satu upaya yang dapat dipilih untuk menekan risiko dan ancaman ledakan hama penyakit adalah dengan memanfaatkan mikroba langsung beserta turunannya, baik berupa gen maupun senyawa kimia yang dihasilkan. Penggunaan mikroba ini dikenal dengan istilah bioprospeksi.
Suryo mengatakan, Indonesia merupakan negara megabiodiversitas yang sangat kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk mikroba yang bisa dimanfaatkan sebagai bioprospeksi.
Dalam orasinya, Suryo juga mengemukakan bahwa penggunaan mikroba dapat mengurangi penggunaan pestisida, bahkan dalam beberapa kasus dapat menggantikan pestisida secara total. Misalnya, pada kombinasi aplikasi Trichoderma, bakteri pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR), khamir Rhodotorula minuta, dan Lecanicillium dalam paket teknologi mikrob intensif mampu menyubstitusi 100 persen penggunaan pestisida kimia sintetik pada tanaman cabai.
”Rendahnya penggunaan pestisida tentu saja dapat memberikan dampak positif pada lingkungan dan kesehatan. Bahkan, mengurangi risiko ledakan hama penyakit yang lebih luas. Seperti pada kasus hama wereng coklat, penggunaan pestisida justru memicu ledakan yang lebih besar,” kata Suryo.
Penggunaan mikroba, menurut Suryo, tidak hanya mampu mengendalikan hama penyakit, tetapi juga menyediakan unsur hara dan membantu tanaman dalam mengatasi cekaman abiotik, seperti salinitas, suhu tinggi, dan kekeringan.
Misalnya, beberapa strain bakteri asal tanaman liar yang ditemukan di tepi pantai, seperti spesies bakteri halotolerant (toleran garam), yaitu Brevibacterium sediminis strain ABS91, Mesorhizobium sp T68 1, dan Vibrio sp, dapat meningkatkan toleransi padi terhadap salinitas. Penelitian terkini yang dilakukan Suryo pada tanaman padi di lahan salin Blanakan, Subang, tahun 2021, menunjukkan bahwa bakteri-bakteri tersebut memiliki keefektifan yang sama dengan hasil penelitian di laboratorium.
Mikroba juga dapat dimanfaatkan untuk mengurangi dosis pupuk sintetik dengan cara meningkatkan ketersediaan hara tanah, efisiensi penyerapan hara oleh tanaman, dan mengurangi kehilangan hara. Menurut Suryo, hal ini sangat penting di tengah sulitnya memproduksi pupuk karena bahan baku yang tergantung negara lain.
Menurut Suryo, bioprospeksi mikroba merupakan komponen fundamental dalam mengembangkan pertanian yang modern, berproduksi tinggi, adaptif, dan berkelanjutan dengan bertumpu pada pemanfaatan sumber daya hayati nasional. Ancaman krisis pangan harus dijawab dan dimulai dengan penguatan produksi.
”Kita wajib memperjuangkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan. Pemanfaatan sumber daya hayati nasional berupa mikroba adalah salah satu cara mewujudkannya. Sudah saatnya kita meningkatkan produksi dengan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, tidak lagi tergantung pada input kimia,” katanya.