Berdasarkan kajian cepat INFID tahun 2022, pencapaian 17 tujuan SDGs Indonesia masih rendah. Progresif untuk pendidikan dan kesetaraan jender, tapi rendah pada penurunan ketimpangan dan transisi energi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals Indonesia masih masuk dalam kategori kemajuan rendah. Pencapaian pada 2022 ini justru menurun dibandingkan dengan tahun lalu yang masuk dalam kategori kemajuan medium.
Pencapaian kemajuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) diukur berdasarkan kajian cepat International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Kajian yang melibatkan perwakilan 66 organisasi masyarakat sipil (CSO) ini merupakan kajian ketiga sejak 2020 yang dilakukan oleh INFID dengan metode People’s Scorecard yang dikembangkan oleh Action for Sustainable Development (A4SD).
Secara keseluruhan, kemajuan pencapaian 17 tujuan SDGs di Indonesia mendapatkan nilai 39 atau masuk dalam kategori Kemajuan Rendah. Pencapaian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penilaian People’s Scorecard tahun 2021, di mana Indonesia berada dalam kategori Kemajuan Medium dengan skor 47,2.
Angelika Fortuna dari INFID, Jumat (16/9/2022), memaparkan, kajian INFID pada pelaksanaan SDGs menunjukkan pendidikan dan kesetaraan jender meningkat, tetapi penurunan ketimpangan dan transisi energi masih rendah. Indonesia masih belum dapat sepenuhnya mencapai target-target SDGs meski sudah mengadopsinya selama tujuh tahun sejak 2015. Pencapaian SDGs tersebut juga terhambat karena adanya pandemi Covid-19.
Angelika menyampaikan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas multipihak yang bermakna dengan melibatkan lembaga non-pemerintah atau CSO. Salah satu instrumen yang bisa mendukung peran CSO adalah melalui pengesahan Perpres Dana Abadi LSM yang dilakukan secara transparan, profesional, dan akuntabel agar pendanaan dapat diakses oleh CSO untuk mendorong implementasi SDGs.
”Perlu adanya pemahaman SDGs secara kolektif. Kenyataannya, pemahaman publik, CSO dan kementerian/lembaga terhadap SDGs masih terfragmentasi dan ini perlu menjadi otokritik bagi kita semua, apakah selama ini penyampaian SDGs kita sudah cukup atau masih adakah yang perlu diperbaiki,” kata Angelika.
Tujuan dalam SDGs yang dinilai cukup progresif adalah di Tujuan 4 (Pendidikan) dan Tujuan 5 (Kesetaraan Jender) dengan skor masing-masing 46 dan 45. Adapun Tujuan 7 (Energi) dan Tujuan 10 (Pengurangan Ketimpangan) dinilai kurang maksimal di antara seluruh Tujuan dengan skor 34 dan 31.
Terkait Tujuan 4, CSO mengapresiasi angka partisipasi pendidikan yang diakui telah meningkat serta anggaran dana pendidikan yang sudah mencapai 20 persen dalam porsi APBN. Adapun di Tujuan 5, CSO menilai pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada April 2022 sebagai capaian yang cukup berarti untuk mendorong kesetaraan jender.
”Namun, penting untuk melihat dan menjadi pertanyaan besar ketika kesetaraan jender meningkat, tetapi penurunan ketimpangan belum terjadi. Terkait data capaian SDGs, kita harus ada tools yang betul-betul dapat merekam apa yang terjadi. Salah satu contoh indikator, misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah memiliki Pencegahan Sunat Perempuan, itu kan capaian SDGs. Itu penting untuk di-highlight sebagai capaian SDGs,” ujar Ketua Kalyanamitra, Listyowati.
Sementara itu, Nanda Dwinta dari Yayasan Kesehatan Perempuan mengatakan, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 305 per 100.000. Target SDGs itu diturunkan menjadi 178.
”Dalam lima tahun apakah itu mungkin terjadi? Itu kita juga bertanya, kalau caranya hanya menyasar pada kehamilan atau kelahiran saja. Tapi, bagaimana preventifnya, soal teman-teman muda mendapatkan informasi yang komprehensif tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas karena masih dianggap tabu, itu juga tantangan, kan,” kata Nanda.
Kurang ambisius
Komitmen yang lebih kuat perlu ditunjukkan dalam hal pencapaian Tujuan 7 terkait sektor energi dan isu ketimpangan pada Tujuan 10. Di sektor energi, CSO menilai pemerintah kurang ambisius dalam menurunkan emisi karbon dan transisi energi baru terbarukan (EBT). Hal ini dikarenakan tingginya ketergantungan terhadap penggunaan batubara sebagai pasokan energi.
Di sisi lain, ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat tajam sejak 1980-an. Dilansir dari World Inequality Report 2022, 10 persen masyarakat terkaya menguasai aset kekayaan setara dengan total pendapatan 50-60 persen masyarakat menengah ke bawah.
Dalam Parameter Tata Kelola Pemerintahan yang Inklusif, pemantauan dan evaluasi SDGs mendapatkan nilai terendah, yaitu 32. CSO menilai belum ada platform terbuka yang menampilkan pemantauan pelaksanaan SDGs yang dilakukan oleh organisasi nonpemerintah.
Selain itu, ketersediaan dan kualitas data terpilah untuk Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (Gedsi) juga belum baik. Keberadaan data Gedsi tidak hanya membantu memonitor bagaimana kelompok rentan telah terlibat, tetapi juga apakah ada manfaat dalam proses pembangunan yang mereka dapatkan.
CSO juga mendapatkan hambatan dalam pelaksanaan SDGs di Indonesia. Mayoritas CSO menganggap bahwa keterbatasan informasi menjadi hambatan untuk mendorong implementasi SDGs. Hambatan lain yaitu anggaran, advokasi kebijakan dengan pemerintah, serta pengumpulan data dan pemantauan-evaluasi.
Sanjoyo dari Sekretariat SDGs Nasional menambahkan, sinkronisasi dari rencana aksi daerah, rencana aksi nasional, berbagai panduan, serta pemantauan dan evaluasi SDGs ini sudah terdigitalisasi. CSO bisa mempunyai akun untuk memberikan Rencana Aksi dan Laporannya. ”Rencana Aksi 2021-2024 itu living document, bisa di-update, sehingga CSO, filantropi, pelaku usaha dapat berkontribusi,” kata Sanjoyo.