Kelaparan Tersembunyi dan Jalan Pintas Fortifikasi Pangan
Tantangan pangan utama Indonesia bukan lagi kekurangan energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi. Kembali ke ragam pangan merupakan solusi ideal, namun fortifikasi dianggap bisa jadi jalan cepat.
Tantangan pangan terbesar bangsa Indonesia saat ini bukan lagi kekurangan energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi. Kembali ke ragam pangan merupakan pilihan ideal, namun fortifikasi dianggap bisa jadi jalan pintas untuk mengatasinya.
Malnutrisi umumnya didefinisikan sebagai kekurangan asupan kalori atau protein. Dampaknya jelas dan menghancurkan dengan bayi dan anak-anak tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan, menyebabkan stunting dan wasting, dan bahkan kematian karena kelaparan yang ekstrem.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dengan sekitar 17 persen populasi dunia kekurangan berat badan dan 45 persen kematian balita terkait dengan kekurangan gizi, malnutrisi saat ini masih menjadi masalah di beberapa bagian dunia, termasuk di Indonesia.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2018, angka stunting pada 2018 sebesar 30,8 persen, mengalami penurunan dari 37,2 persen tahun 2013. Stunting merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Baca juga : Kelaparan Terselubung Jadi Ancaman Baru
Sekalipun trennya menurun, angka stunting ini masih lebih tinggi. Menurut kategori WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen.
Di sisi lain, Indonesia juga mengalami masalah gizi lebih (obesitas), yang proporsi pada orang dewasa di atas 18 tahun mengalami peningkatan menjadi 21,8 persen (2018) dibandingkan tahun 2013, yaitu 14,8 persen. Kombinasi kelebihan gizi dan kekurangan gizi ini disebut "beban ganda malnutrisi".
Selain itu, kita menghadapi bentuk malnutrisi baru yang kurang terlihat, yaitu kelaparanan tersembunyi (hidden hunger), yang mengakibatkan beban tiga masalah gizi sekaligus (triple burden of malnutrition) bagi Indonesia. Mereka yang mengalami kelaparan tersembunyi ini sebenarnya cukup asupan kalori, tetapi kekurangan zat gizi mikro karena pola diet yang tidak sehat.
Menurut ahli gizi IPB University, Drajat Martianto, Kamis (15/9), tantangan terbesar bangsa Indonesia ke depan bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi. Berdasarkan kajian World Food Program (2021), hanya 1 persen masyarakat Indonesia yang tidak mampu memenuhi diet cukup kalori, tetapi hampir 50 persen warga tidak mampu membeli diet sehat.
Kelaparan tersembunyi umumnya disebabkan defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya. Disebut kelaparan tersembunyi karena sering kali tanda-tandanya tidak nampak, tetapi sesungguhnya dampaknya sangat besar.
Menurut Drajat, zat gizi mikro terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas. "Secara nasional, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp 50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja saja akibat anemia Gizi Besi (AGB) saja, belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah," ujarnya.
Baca juga : Hampir Setengah Populasi Dunia Mengalami Malanutrisi
Kekurangan zat besi ringan mengganggu perkembangan intelektual pada anak kecil, sementara kasus yang lebih parah seperti anemia defisiensi besi dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas yang serius, perkembangan motorik dan mental yang buruk pada anak-anak, penurunan kapasitas kerja pada orang dewasa, hasil kehamilan yang buruk dan gangguan fungsi kekebalan tubuh.
Penganekaragaman pangan
Ancaman kelaparan tersembunyi dan bagaimana cara mengatasinya, menjadi topik dari orasi pengukuhan Drajat sebagai Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB University, yang dibacakan pada Sabtu (17/9) ini.
Untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro, yang harus dilakukan adalah dengan penganekaragaman pangan, suplementasi, dan fortifikasi pangan. Dalam orasi ini, Drajat berpendapat bahwa fortifikasi pangan merupakan solusi yang paling tepat untuk situasi Indonesia saat ini.
Fortifikasi pangan dalam hal ini didefinisikasn sebagai upaya menambahkan atau meningkatkan zat gizi tertentu ke dalam bahan pangan untuk meningkatkan kualitas pangan.
Pemerintah Indonesia pernah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi gangguan akibat kekurangan yodium melalui fortifikasi garam, mengatasi anemia gizi besi melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A.
Drajat mengakui, penganekaragaman pangan dalam mengatasi masalah kelaparan tersembunyi amat penting, tapi butuh waktu panjang mewujudkannya.Suplementasi juga jadi solusi efektif, tapi memerlukan biaya dan alokasi sumber daya besar untuk pendistribusiannya serta cakupannya kerapkali tidak merata antar daerah.
"Fortifikasi pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost- effective," ungkapnya.
Biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A, dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen.
Baca juga : Beras Fortifikasi untuk Penuhi Gizi Masyarakat
"Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga harus dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan," kata dia.
Selain tiga fortifikasi yang pernah dilakukan, Drajat mendorong agar pemerintah mempertimbangkan melakukan fortifikasi pada beras, terutama pada beras subsidi atau bantuan. Sebab, dari sisi efikasi, hasil studi di beberapa negara menunjukkan konsumsi beras fortifikasi dapat menurunkan prevalensi anemia pada 15–67 persen.
Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga harus dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.
Untuk membangun ketahanan pangan, perlu pengembangan beragam pangan lokal untuk mensubstitusi beras dan terigu. Namun, karena beras dan terigu unggul dalam kandungan gizi, khususnya kandungan protein dan vitamin-mineral, maka pangan pokok lokal berbasis tepung perlu diperkaya dengan zat besi, seng, asam folat, dan lain-lain agar kekurangan asupan zat gizi mikro dapat dipenuhi.
Kritik pada Fortifikasi
Di sisi lain, sekalipun dinilai menjanjikan, menurut Drajat, fortifikasi pangan juga memiliki sejumlah tantangan. Salah satu kritik terhadap program fortifikasi selama ini adalah ketergantungan impor terhadap fortifikan, khususnya retinyl palmitat (vitamin A) dan premix zat besidengan asam folat, seng, dan beberapa jenis vitamin B. Sejauh ini hanya KIO3 yang sudah berhasil dibuat di dalam negeri oleh Kimia Farma.
Oleh karena itu, pemerintah hendaknya dapat mendorong berkembangnya industri fortifikan dalam negeri. Misalnya, fortifikasi vitamin A selain dapat dilakukan dengan retinil palmitat juga dapat menggunakan RPO (red palm oil).
Sebagaimana diingatkan Ewan Robinson dari Cornell University dalam papernya di jurnal World Development Perspectives (2016), upaya pemenuhan gizi yang disandarkan pada pengemasan dan penjualan oleh industri dengan mekanisme pasar, bisa berisiko.
Selain soal ini, bukti yang diterbitkan dalam Cochrane Review pada tahun 2019 menunjukkan bahwa beras yang diperkaya zat besi gagal berdampak pada anemia di beberapa negara.
Kelebihan zat besi diketahui menciptakan stres oksidatif, dan bahkan sejumlah kecil zat besi dikontraindikasikan dalam kasus penyakit seperti Thalassemia, Anemia Sel Sabit, dan infeksi akut seperti malaria atau tuberkulosis. Hal ini menyebabkan munculnya penolakan beras fortifikasi di India.
Infografik Kelaparan Tersembunyi/Kekurangan Gizi Mikro
Para penentang fortifikasi beras di India yang tergabung dalam Right To Food Campaign (RTFC) dan Alliance for Sustainable and Holistic Agriculture (ASHA) ini melaporkan, ketika pemerintah secara agresif mempromosikan "solusi peluru perak yang dikendalikan perusahaan reduksionis tunggal" seperti beras yang diperkaya, maka solusi pangan lokal dan alami yang beragam bakal diabaikan.
Baca juga : Menghapus Ironi Pangan Lokal
Solusi lokal dan alami ini adalah mengonsumi beragam makanan. Jika fortifikasi pangan bisa dianggap sebagai jalan pintas, maka mendorong keberagaman produksi dan konsumsi pangan lokal, merupakan solusi holistik untuk mengatasi masalah kelaparan tersembunyi, yang tidak boleh diabaikan.