Dalam penyediaan jamban inklusif diperlukan sejumlah fasilitas, di antaranya kloset duduk, pegangan tangan, dan tempat sampah. Toilet perempuan dilengkapi dengan pembalut, gantungan pakaian, dan kantong plastik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses sanitasi memadai sangat penting untuk mendukung lingkungan sekolah yang sehat. Sanitasi sekolah didorong lebih inklusif sehingga ramah digunakan, termasuk bagi penyandang disabilitas dan perempuan.
Akses sanitasi sekolah mendesak untuk diperbaiki. Berdasarkan data profil sanitasi sekolah pada 2022, terdapat 293.086 sekolah tidak punya akses terhadap layanan air minum, sanitasi, dan kebersihan dasar. Bahkan, masih banyak ditemukan toilet laki-laki dan perempuan yang tidak dipisahkan.
Studi Plan Indonesia dan SMERU Research Institute pada 2018 mencatat, 79 persen perempuan tidak pernah mengganti pembalut di sekolah karena tidak nyaman. Hal ini menyebabkan mereka kehilangan waktu belajar dibandingkan dengan yang lain.
Akses sanitasi di sekolah/madrasah yang layak berkontribusi dalam mengurangi masalah gagal tumbuh anak atau tengkes.
”Banyak toilet di sekolah tidak ada air, tidak bisa dikunci, dan tidak dipisah (antara perempuan dan laki-laki). Intinya, siswa merasa tidak nyaman. Akhirnya, saat menstruasi, mereka lebih memilih pulang ke rumah untuk mengganti pembalut sehingga melewatkan pembelajaran di sekolah beberapa saat,” ujar Water, Sanitation, Hygiene & Early Childhood Development Advisor Plan Indonesia Silvia Devina dalam peluncuran Buku Panduan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) di Sekolah/Madrasah, di Jakarta, Selasa (13/9/2022).
Penyusunan buku itu melibatkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes); Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Kementerian Agama; serta Kementerian Dalam Negeri bersama Yayasan Plan Indonesia. Yayasan ini fokus memperjuangkan pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan.
Buku setebal 44 halaman itu membahas sejumlah ketentuan untuk menerapkan STBM dan manajemen kebersihan menstruasi (MKM). Dalam penyediaan jamban inklusif, misalnya, diperlukan sejumlah fasilitas, di antaranya kloset duduk, pegangan tangan (handrail), dan tempat sampah. Khusus toilet perempuan dilengkapi dengan pembalut, gantungan pakaian, dan kantong plastik sebagai tempat pembalut kotor.
Buku itu juga mengulas tentang skema pembiayaan penerapan STBM dan MKM. Sumber pembiayaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lewat kementerian terkait serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sementara dana swadaya diperoleh dari inisiatif sekolah/madrasah yang dikumpulkan melalui partisipasi komite sekolah dan dana mandiri. Adapun dana kemitraan berasal dari kerja sama dengan pihak lain, seperti lembaga donor dan tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.
”Buku panduan ini penting agar di lapangan (sekolah) paham melakukannya dengan seragam. Dengan begitu, ada panduan jelas dan tahapannya seperti apa. Sampai ke contoh detail, bagaimana membuat toilet inklusif,” katanya.
Tengkes
Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti menyampaikan, akses sanitasi di sekolah/madrasah yang layak berkontribusi dalam mengurangi masalah gagal tumbuh anak atau tengkes. Hal ini sejalan dengan mandat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs ke-3, yaitu menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang, termasuk anak.
Program STBM telah diterapkan sekitar 200 sekolah di lima provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. ”Melalui buku ini, kami berharap dapat mengintegrasikan STBM dengan MKM dengan menekankan pada isu kesetaraan jender, inklusi sosial, dan pemenuhan hak anak, termasuk hak untuk partisipasi, hak kesehatan, dan hak pendidikan,” katanya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Maxi Rein Rondonuwu dalam sambutannya menyatakan, pendekatan STBM melalui metode partisipatif ini merupakan pendekatan yang efektif dan efisien. Apalagi, dalam mengubah perilaku warga sekolah/madrasah.
”Hal ini sejalan dengan dengan program trias usaha kesehatan sekolah/madrasah, yaitu pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan, dan pembinaan lingkungan sekolah sehat,” katanya.
Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes Anas Ma’ruf menuturkan, STBM merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, tidak hanya di permukiman, perkantoran, dan industri, tetapi juga sekolah. Upaya ini dikombinasikan dengan program inklusif, yaitu dengan merespons kebutuhan siswa perempuan dan penyandang disabilitas.
”Partisipasi seluruh komponen menjadi penting dilakukan bersama dan berkelanjutan. Panduan dalam buku ini juga sudah terintegrasi dengan program lainnya, seperti UKS,” ucapnya.
Ketua Umum Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Arif Sumantri menyebutkan, buku panduan tersebut sangat diperlukan sebagai acuan bersama dalam mengupayakan sanitasi yang memadai. Namun, hal ini butuh komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah.
”Komitmen ini sangat penting agar ketentuan dalam buku pedoman itu berjalan optimal. Negara bertanggung jawab menghadirkan kualitas lingkungan hidup yang baik bagi rakyat,” ucapnya.