Lima Upaya Indonesia Menghentikan dan Membalikkan Hilangnya Spesies
Sejumlah spesies di Indonesia terancam punah. Beberapa langkah mendesak dilakukan untuk menyelamatkan satwa liar.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kepunahan sejumlah spesies makin tinggi. Karena itu, Indonesia berupaya melestarikan satwa liar, termasuk menghentikan dan membalikkan hilangnya spesies dalam lingkup regional ataupun global melalui pelepasliaran satwa liar, penangkaran secara eksitu dan insitu, inseminasi buatan, dan pemantauan melalui teknologi.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong menyampaikan hal itu saat membuka Konferensi Internasional tentang Konservasi Satwa Liar, di Jakarta, Selasa (13/9/2022).Konferensi yang berlangsung sejak 13-15 September 2022 ini diselenggarakan Indonesia dan Presidensi Republik Ceko untuk Dewan Uni Eropa serta bekerja sama dengan Komisi Eropa.
Alue menyampaikan, Indonesia melakukan pelestarian satwa liar sesuai dengan prinsip World Conservation Strategy terhadap spesies liar dan habitatnya. Konservasi sesuai dengan prinsip ini menekankan upaya perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari.
Dengan meningkatnya risiko kepunahan spesies secara global dan dalam konteks konservasi satwa liar, perlu langkah-langkah untuk membalikkan status terancam suatu spesies. ”Ini juga sebagai langkah memperbaiki habitat untuk menghentikan dan membalikkan hilangnya spesies,” ujarnya.
Alue menjelaskan, Indonesia telah melakukan lima implementasi sebagai upaya menghentikan dan membalikkan hilangnya spesies (reverse the red). Upaya pertama ialah melepasliarkan 335.047 individu satwa liar dari banyak taksa ke habitat aslinya sebagai upaya untuk meningkatkan populasi dan variasi genetik di alam selama pandemi Covid-19.
Upaya kedua dalam melestarikan satwa ini ialah melakukan penangkaran di luar habitat asli atau eksitu jalak bali. Selain itu, pelepasliaran secara masif ke alam dilakukan. Melalui upaya ini, tercatat populasi jalak bali di Taman Nasional Bali Barat meningkat dari 15 individu pada 2000 menjadi 452 individu pada 2022.
Dengan meningkatnya risiko kepunahan spesies secara global dan dalam konteks konservasi satwa liar, perlu langkah-langkah untuk membalikkan status terancam suatu spesies.
Upaya penangkaran tidak hanya dilakukan secara eksitu, tetapi juga insitu atau di habitat asli untuk spesies badak sumatera di Suaka Badak Sumatera (SRS), Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Hal ini merupakan upaya ketiga yang dilakukan dan telah menghasilkan tiga anak badak.
Sementara upaya keempat ialah menerapkan teknologi inseminasi buatan pada populasi satwa liar dengan memasukkan sperma spesies jantan ke dalam saluran reproduksi betina. Upaya ini dilakukan untuk menghindari depresi genetik dari populasi yang terfragmentasi, seperti banteng di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur, dan badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas.
Upaya terakhir dalam proses melestarikan satwa liar ialah pemantauan menggunakan teknologi. Khusus pemantauan untuk gajah sumatera dan harimau sumatera dilakukan dengan teknologi sistem pemosisi global (GPS) Collar. Sementara untuk spesies orangutan, pemantauan dilakukan melalui pemasangan radio telemetri.
Alue menegaskan, pemantauan terhadap satwa liar yang dilepasliarkan ke alam sangat penting dilakukan. Selain untuk memonitor, hal ini juga dilakukan sebagai upaya mencegah timbulnya konflik antara satwa liar dan manusia.
”Sejumlah kegiatan yang dilaksanakan ini diharapkan menjadi wujud tanggung jawab kami dalam menjaga kelestarian hutan, konservasi, dan bermanfaat bagi masyarakat. Bersama-sama, kita dapat memainkan kontribusi yang lebih berdampak untuk memastikan keberlanjutan spesies dan konservasi ekosistem,” katanya.
Saat konferensi pers, Wakil Menteri Lingkungan Hidup Republik Ceko Eva Volfova mengutarakan, penyelenggaraan konferensi internasional tentang konservasi satwa liar untuk mendukung komitmen pelaksanaan Konvensi Keragaman Hayati PBB. Konferensi ini sekaligus untuk mempromosikan kerja sama internasional, regional, dan global.
Konferensi internasional ini berlangsung selama tiga hari dengan agenda sejumlah pemaparan dari para ahli dan sejumlah negara. Pada hari terakhir konferensi ini, para peserta juga akan berkunjung ke Taman Wisata Alam Angke Kapuk dan terlibat langsung dalam pelestarian ekosistem dengan menanam tanaman bakau.