Permodelan dan Aplikasi Spasial Bantu Pelestarian Satwa Liar
Pengelolaan satwa liar yang efektif dapat dilakukan dengan permodelan dan aplikasi spasial. Permodelan dan aplikasi spasial ini penting sebagai alat bantu konservasi di wilayah Indonesia yang sangat luas.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya konservasi dengan dukungan atau intervensi manusia perlu terus dilakukan mengingat sampai saat ini ekosistem dan populasi satwa liar di Indonesia masih belum bebas dari ancaman. Dukungan teknologi atau analisis seperti permodelan dan aplikasi spasial dapat dioptimalkan dalam upaya pelestarian satwa liar di Indonesia.
Pendiri dan peneliti lembaga Rangkong Indonesia, Yokyok ”Yoki” Hadiprakarsa mengatakan, pengelolaan satwa liar yang efektif dapat dilakukan dengan permodelan dan aplikasi spasial. Permodelan dan aplikasi spasial ini penting sebagai alat bantu konservasi karena Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas baik daratan maupun perairan.
”Ketika akan mengelola satwa liar, kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana perilaku dan habitat satwa liar tersebut. Meski data yang tersedia kurang, melalui teknologi dan alat bantu kita bisa memahami sistem ini dengan lebih baik,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Restorasi Ekosistem untuk Pelestarian Satwa Liar”, Kamis (4/8/2022).
Konservasionis dan pengambil kebijakan tetap harus mengetahui berbagai hal tentang satwa liar tersebut sebagai subyek yang akan dikelola.
Yoki menjelaskan, terdapat empat komponen utama dalam menerapkan permodelan dan aplikasi spasial. Tiga komponen yang saling terkait adalah data, spasial, dan algoritma. Sementara satu komponen lainnya yang paling utama adalah pengetahuan manusia tentang satwa liar yang akan menjadi subyek pengelolaan atau konservasi.
Penggunaan permodelan dan aplikasi spasial beberapa kali digunakan Yoki untuk kajian terkait pengelolaan konservasi satwa liar seperti rangkong dan orangutan. Permodelan spasial bertujuan untuk memperkirakan potensi deforestasi di kawasan hutan.
”Setelah terbit permodelan ini, beberapa tahun berselang ada satu jurnal yang memublikasikan deforestasi di Indonesia dan hasilnya serupa. Dari sinilah bisa dikembangkan mana daerah yang perlu prioritas intervensi tertinggi,” tuturnya.
Ke depan, kata Yoki, semua pihak sudah harus bergerak kepada pemanfaatan teknologi yang lebih maju dalam upaya konservasi dan pengelolaan satwa liar. Semua data terkait pengelolaan dan aplikasinya juga perlu terpadu dalam satu sistem yang terintegrasi.
Namun, Yoki menekankan bahwa pemodelan spasial hanyalah alat bantu dalam proses pengelolaan satwa liar. Jadi, konservasionis dan pengambil kebijakan tetap harus mengetahui berbagai hal tentang satwa liar tersebut sebagai subyek yang akan dikelola.
”Dengan permodelan spasial dan dipadukan dengan teknologi drone atau sensor internet, pengelolaan satwa liar bisa lebih terintegrasi dan efektif. Akan tetapi, logika pengetahuan dan pemahaman kita terhadap subyek itu jauh lebih penting,” ungkapnya.
Guru Besar Bidang Konservasi Alam dan Manajemen Satwa Liar IPB University Hadi S Alikodra menuturkan, kondisi satwa liar saat ini tengah mengalami tekanan khususnya karena dampak perubahan iklim. Hal ini memengaruhi distribusi, penyebaran, perilaku, hingga daya hidup satwa liar ke depan.
”Kita harus secara detail mengatasi persoalan perubahan iklim dan restorasi ekosistem dan pelestarian satwa liar dengan teknologi yang tepat. Kita harus mencari teknologi yang bagus untuk restorasi seperti mencari jenis tanaman yang cocok dan bibit unggul hingga bagaimana cara menanamnya,” katanya.
Pendanaan lanjutan
Direktur Program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Puspa Dewi Liman mengatakan, untuk melanjutkan upaya konservasi, dibutuhkan dukungan pendanaan secara berkelanjutan. Selama ini sudah terdapat beberapa skema pendanaan dari pemerintah pusat atau daerah, imbal jasa lingkungan, kemitraan, hingga kerja sama internasional.
Meski demikian, Puspa mengakui bahwa pendanaan lanjutan untuk upaya konservasi masih menemui sejumlah tantangan. Tantangan yang perlu disoroti adalah terkait konsistensi kebijakan dan peran para pihak serta kejelasan lembaga pengelola.
Di sisi lain, mitra juga perlu membangun program konservasi secara berjangka. Sebab, menurut Puspa, selama ini beberapa mitra yang diberikan hibah hanya sekali melakukan kegiatan dan tidak memiliki program konservasi jangka panjang.
”Yang paling penting adalah lembaga pengelola ekosistem atau kawasan tersebut harus memiliki rekam jejak akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan. Meski kita berbicara ekosistem pelestarian satwa, pendanaan restorasi ekosistem harus diintegrasikan dengan isu sosial dan ekonomi,” ucapnya.