Indonesia-Norwegia Jalin Kemitraan Kembali di Bidang Perubahan Iklim
Indonesia menjalin kembali kerja sama dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia dengan fokus menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Kerja sama serupa juga pernah terjalin, tetapi sempat berakhir pada 2021.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia menjalin kembali kemitraan dengan Pemerintah Kerajaan Norwegia di bidang perubahan iklim dan kehutanan.Kerja sama ini melingkupi sejumlah aspek dengan fokus utama menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Perjanjian kerja sama tersebut disepakati dalam pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia Espen Barth Eide di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Senin (12/9/2022).
Siti Nurbaya menyampaikan, Pemerintah Kerajaan Norwegia telah menyampaikan apresiasinya atas upaya Indonesia yang konsisten dan signifikan serta berkelanjutan dalam mengurangi deforestasi. Oleh karena itu, kedatangan pemerintah Norwegia bermaksud untuk menjalin kerja sama baru dengan Indonesia.
Dalam tiga hingga empat minggu ke depan, kami bersama-sama akan menandatangani perjanjian kontribusi ini yang dibuat secara detail (Espen Barth Eide).
”Guna lebih memperkuat upaya berkelanjutan Indonesia, selama kunjungan kerja Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegiatelah ditandatangani MOU(nota kesepahaman). Kerja sama ini bertujuan mendukung upaya indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan tata guna lahan lainnya,” ujarnya saat konferensi pers.
Kerja sama ini melingkupi sejumlah aspek, dengan fokus utama menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Upaya ini dilakukan dengan cara melindungi dan mengelola hutan melalui pelibatan atau partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat.
Selain itu, akan dilakukan juga peningkatan kapasitas untuk memperkuat penyerapan karbon hutan alam. Hal ini dilakukan melalui pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial serta mangrove.
Dari aspek pendukung lainnya, kerja sama ini juga akan menekankan tentang penguatan penegakan hukum dan komunikasi serta konsultasi hingga pertukaran pengetahuan internasional tentang kebijakan dan agenda iklim, kehutanan, serta tata guna lahan.
”Perjanjian kerja sama ini mewakili lebih dari sekadar kemitraan. Ini bukan hanya tentang kesepakatan kontribusi berbasis hasil, tetapi juga mencakup keterlibatan yang lebih luas pada isu-isu iklim dan hutan di Indonesia,” ungkap Siti.
Retno Marsudi mengatakan, Norwegia merupakan salah satu mitra penting Indonesia dalam berbagai aspek. Sejumlah kerja sama selama beberapa tahun terakhir juga telah disepakati Indonesia dengan Norwegia, termasuk program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) pada 2010. Tahun lalu kerja sama ini diakhiri Indonesia.
”Kesepakatan hari ini diharapkan menjadi awal baru untuk menjalin kerja sama di bidang lingkungan. Kesepakatan ini juga mencerminkan pandangan kita bersama tentang pentingnya memiliki landasan yang kuat berdasarkan rasa percaya dan hormat serta kesetaraan,” ucapnya.
Espen Barth Eidemengapresiasi Pemerintah Indonesia yang telah menyambut kunjungan Pemerintah Kerajaan Norwegia guna menjalin kerja sama kembali di bidang lingkungan. Dalam kunjungannya tersebut, Espen juga diajak untuk melihat upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas mangrove di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Espen menyatakan bahwa kesepakatan saat ini dibangun berdasarkan kemitraan yang sempat terjalin dahulu melalui program REDD+. Namun, ia memastikan bahwa kemitraan kali ini tetap mengedepankan aspek kesetaraan dan saling menghormati guna memastikan tujuan bersama dalam upaya penurunan emisi.
”Program kerja sama ini akan mendukung upaya penurunan emisi Indonesia yang diverifikasi pihak ketiga dari tahun 2016 hingga 2020 dan dituangkan dalam perjanjian kontribusi. Dalam tiga hingga empat minggu ke depan, kami bersama-sama akan menandatangani perjanjian kontribusi ini yang dibuat secara detail,” katanya.
Kemitraan sebelumnya
Sebelum kerja sama ini berlangsung, Indonesia juga sempat bermitra dengan Norwegia dalam program REDD+. Namun, kemitraan yang telah berlangsung sejak 2010 ini harus berhenti pada 2021 karena tidak ada upaya konkret dari Norwegia dalam merealisasikan pembayaran berbasis hasil (result based payment/RBP)atas keberhasilan Indonesia mengurangi emisi pada 2016/2017.
Dalam implementasinya, program REDD+ dilaporkan telah berhasil mencegah lepasnya 70 juta ton emisi karbon. Laporan ini disusun oleh para peneliti dari Biodiversity Economics University of Exeter Business School, Inggris, dan dipublikasikan di jurnal Proceeding of National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) edisi Februari 2022.
Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri KLHK Dida Migfar Ridha menyatakan, kerja sama terbaru antara Indonesia dan Norwegia sekarang memiliki sedikit perbedaan dengan program REDD+. Kemitraan terbaru ini tidak hanya berfokus pada RBP, tetapi juga mencakup aspek lainnya dalam upaya mendukung FoLU Net Sink 2030, termasuk aspek tata kelola.
“Kerja sama ini sebenarnya mencakup banyak sekali aspek seperti konservasi biodiversitas, rehabilitasi mangrove, hingga penegakan hukum. Aktivitas yang dilakukan ini ingin dibangun dalam aspek tata kelola sehingga mendukung penurunan emisi Indonesia,” katanya.
Terkait dengan kemitraan REDD+ yang sempat terhenti, Dida menyebut bahwa Indonesia mengapresiasi langkah Norwegia yang berniat memperhitungkan kembali kewajiban pemenuhan RBP. Namun, hal ini akan didiskusikan kembali secara detail dan hasilnya nanti dituangkan dalam dokumen perjanjian kontribusi (contribution agreement).