Indonesia Mencegah Lepasnya 70 Juta Ton Emisi Karbon melalui REDD+
Indonesia berhasil mencegah lepasnya 70 juta ton emisi karbon dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Namun, ini hanya berkontribusi 3 persen dari target penurunan emisi nasional.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia berhasil mencegah lepasnya 70 juta ton emisi karbon dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ bersama Norwegia. Namun, selain harga karbon yang dibayarkan Norwegia dinilai terlalu rendah, mekanisme ini hanya berkontribusi mengurangi 3 persen dari total komitmen Indonesia untuk penurunan emisi.
Temuan ini disampaikan tim peneliti yang dipimpin Ben Groom, Ketua Dragon Capital di Biodiversity Economics University of Exeter Business School, dan dipublikasikan di jurnal Proceeding of National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS) edisi Februari 2022. Edisi daring kajian ini bisa diakses pada Selasa (25/1/2022).
Dalam kajian ini peneliti menganalisis efektivitas REDD+, yaitu negara-negara industri kaya membayar negara berkembang untuk melestarikan hutan. Pada tahun 2010, Pemerintah Norwegia menandatangani kesepakatan untuk berkontribusi 1 miliar dollar AS atau senilai Rp 14,26 triliun kepada Indonesia untuk melakukan moratorium penebangan hutan melalui mekanisme ini.
Di bawah pendekatan REDD+ ini, Norwegia berkomitmen untuk membayar 5 dollar AS per ton karbon jika Indonesia mengurangi emisinya dari deforestasi. Namun, perjanjian kerja sama dengan Norwegia ini diakhiri pada September 2021 karena Indonesia menganggap Norwegia tidak memenuhi kewajibannya sebagai pembayar dana. Di sisi lain, Indonesia mengklaim berhasil menurunkan deforestasi.
Groom dan timnya membandingkan data satelit tahun 2004-2018 tentang tutupan hutan di dalam kawasan moratorium, yang semula mencakup 69 juta hektar lahan hutan, dengan kawasan kontrol di luar moratorium.
Mereka membagi tutupan hutan di seluruh Indonesia menjadi 400.000 kotak dan kemudian mencocokkan kotak-kotak di dalam dan di luar area moratorium, memastikan mereka membandingkan area lahan berhutan yang serupa. Dampaknya diukur dengan membandingkan tren sebelum dan sesudah moratorium 2010.
Para peneliti kemudian menghitung bahwa moratorium telah menghasilkan 67,8 juta-86,9 juta ton pengurangan emisi karbon, dengan hutan lahan kering di dalam area moratorium memiliki tutupan hutan rata-rata 0,65 persen lebih tinggi dibandingkan dengan area serupa di luar moratorium. Akan tetapi, di lahan gambut, yang merupakan penyimpan karbon alami yang sangat besar, studi tersebut menemukan bahwa moratorium tidak berpengaruh.
Para peneliti mengatakan bahwa mereka menemukan skema REDD+ itu cukup berhasil. Namun, dampaknya relatif kecil dibandingkan dengan kontribusi penurunan emisi karbon yang ditentukan secara nasional (NDC) sesuai yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
”Perkiraan kami menunjukkan kontribusi tahunan dari penurunan emisi (dari moratorium REDD+) ini sebesar 3-4 persen dari total NDC Indonesia sebesar 29 persen pada tahun 2030. Ini hanya penurunan kecil dalam komitmen keseluruhan Indonesia,” kata Groom.
Menurut dia, di Indonesia sebesar 65 persen emisi sebenarnya berasal dari kawasan hutan. Oleh karena itu, sektor kehutanan merupakan tempat yang sangat penting untuk menghentikan emisi jika Indonesia mau memenuhi komitmen NDC sesuai Perjanjian Paris.
Perkiraan kami menunjukkan kontribusi tahunan dari penurunan emisi (dari moratorium REDD+) ini sebesar 3-4 persen dari total NDC Indonesia sebesar 29 persen pada tahun 2030. Ini hanya penurunan kecil dalam komitmen keseluruhan Indonesia.
Penelitian yang ditulis bersama Charles Palmer dan Lorenzo Sileci keduanya di Departemen Geografi dan Lingkungan di London School of Economics and Political Sains ini menyimpulkan, ”Skala keuangan (REDD+) perlu jauh lebih besar agar implementasi menjadi efektif.”
Tidak adil
Para peneliti juga menyebutkan, pada tahun 2019 Norwegia setuju untuk membayar Indonesia 56,2 juta dollar AS untuk mencegah lepasnya emisi karbon sebesar 11,23 juta ton pada tahun 2017. Estimasi kinerja ini menggunakan rata-rata laju deforestasi untuk seluruh Indonesia dan bukan hanya wilayah moratorium sehingga bukan merupakan ukuran akurat apakah program tersebut efektif.
Menggunakan metode dampak kebijakan yang mapan untuk memperkirakan pengurangan emisi karbon, para peneliti menghitung bahwa selama periode 2011-17 moratorium lebih efektif daripada yang disarankan perhitungan ini. Ini berarti bahwa untuk 56 juta dollar AS, Norwegia secara efektif membeli pengurangan emisi karbon pada tingkat kurang dari 1 dollar per ton.
”Kami menemukan bahwa Norwegia mungkin harus membayar lebih banyak karena dampaknya dimulai jauh lebih awal, dari 2013 kami memperkirakan beberapa perubahan sederhana tetapi signifikan secara statistik. Namun, pembayarannya hanya dihitung untuk 2017, tanpa kontrafaktual yang tepat," kata Groom.
Penetapan harga karbon ini, menurut dia, merupakan ”kesepakatan yang bagus” untuk Norwegia dan pengurangan emisi global. Namun, perjanjian tersebut dapat dianggap tidak adil terhadap Indonesia.
”Norwegia mencari cara untuk menginvestasikan kekayaannya dengan berinvestasi pada barang publik global ini: pengurangan emisi karbon. Pada akhirnya harus ada lebih banyak upaya, seperti yang dilakukan Norwegia di dunia,” katanya.
Meski demikian, dalam kasus REDD+ di Indonesia ini, para peneliti menyebutkan, manfaat global dari mitigasi perubahan iklim, yang diukur oleh para ekonom dengan menggunakan biaya sosial karbon, jauh lebih besar daripada 5 dollar AS per ton yang mereka bayarkan. Sebagai perbandingan, Pemerintah AS membayar 50 dollar AS per ton emisi karbon, bahkan di Negara Bagian New York mencapai 125 dollar AS per ton emisi karbon.