Perizinan Jadi Pintu Masuk Kejahatan Lingkungan dan Korupsi Bidang Sumber Daya Alam
Sejumlah jurnalis menerbitkan hasil investigasi tentang kejahatan lingkungan dan korupsi bidang sumber daya alam. Hasil investigasi menunjukkan masih banyak kejahatan lingkungan, terutama dilakukan oleh korporasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan lingkungan dan korupsi di bidang sumber daya alam masih terus dilakukan oleh sejumlah pihak khususnya korporasi. Proses perizinan kerap digunakan sebagai pintu masuk para penjahat lingkungan dan koruptor untuk menjalankan aksinya.
Potret kejahatan lingkungan dan korupsi sumber daya alam (SDA) terangkum dalam buku Karut Marut Bisnis Tambang dan Sawit di Pulau Sumatera dan Sulawesi karya enam peserta fellowship liputan investigasi isu korupsi lingkungan dan SDA. Buku yang diluncurkan pada Kamis (8/9/2022) secara daring ini diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan didukung oleh kemitraan.
Dalam buku ini, terdapat enam hasil investigasi yang masing-masing ditulis oleh para jurnalis. Setiap investigasi mengungkap secara detail pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab terhadap berbagai permasalahan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang muncul, baik akibat kegiatan sawit maupun pertambangan.
Ketua Satuan Tugas Direktorat Wilayah V Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dian Patria tidak menampik bahwa potret yang disampaikan oleh jurnalis masih kerap ditemukan oleh KPK. Hasil investigasi para jurnalis telah mengonfirmasi kejahatan lingkungan dan korupsi SDA yang dilakukan sejumlah pihak sampai saat ini.
Dari pengalaman selama ini, kata Dian, KPK memang sering menemukan gratifikasi dan tindak korupsi di bidang SDA. Namun, ia melihat sejumlah pihak terkait terkesan melakukan pembiaran terhadap kejahatan dan tindakan korupsi ini.
Menurut Dian, pintu masuk kejahatan lingkungan dan korupsi di bidang SDA kerap terjadi saat proses perizinan. Melanggar aspek perizinan yang di dalamnya mencakup daya dukung dan daya tampung ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi lingkungan.
”Dampak yang ditimbulkan dari kejahatan lingkungan ini sangat masif, tetapi belum terlihat upaya sistemik untuk menertibkan. Dalam mengatasi hal ini memang perlu sinergi dan kolaborasi khususnya untuk pengendalian pemanfaatan ruang,” ujarnya.
Kepala Sub Direktorat Penyidikan Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Antonius Sardjanto Setyo Nugroho menyepakati bahwa investigasi para jurnalis ini sangat berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup.
”Contoh investigasi tambang di galian C dapat menyebabkan pencemaran udara. Ini bisa dikenai Pasal 98 (UU Nomor 32 Tahun 2009) terkait dengan melebihi baku mutu udara ambien. Kemudian dari penambangannya sendiri bisa diperiksa apakah melebihi area yang diizinkan,” katanya.
Menurut Antonius, tipologi tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan lebih banyak pada aspek kerusakan. Tindak pidana lingkungan ini juga memiliki karakteristik yang terorganisasi atau melibatkan berbagai aktor, baik di dalam maupun lintas negara.
”Jadi, belum tentu masyarakat yang melakukan kejahatan ini, pasti di belakang mereka ada pihak terkait lainnya. Kemudian, motif kejahatan ini selalu ekonomi atau finansial dan terkadang bersifat konvensional atau tertutup,” ucapnya.
Dampak pertambangan
Jurnalis harian Mercusuar, Sulawesi Tengah, Kartini Nainggolan, yang turut menulis liputan investigasi ini, mengemukakan, investigasi perlu dilakukan karena dampak lingkungan dari salah satu aktivitas pertambangan, yakni galian C poros Palu-Donggala, saat ini sudah dirasakan langsung masyarakat.
Kartini melakukan investigasi dengan judul ”Pemerintah Beri Perlakukan Istimewa untuk Perusahaan Tambang di Galian C”. Dalam tulisannya, Kartini menyoroti tentang aktivitas pertambangan yang telah menyebabkan gangguan pernapasan bagi masyarakat.
Selain itu, aktivitas pertambangan ini juga dianggap menjadi penyebab banjir di sekitar lokasi ketika musim hujan tiba. Di sisi lain, lahan perkebunan warga juga beralih fungsi menjadi lokasi izin pertambangan galian C yang terus meluas setiap tahun.
”Direktur Walhi Sulawesi Tengah meyakini bahwa ketika pemerintah tidak melakukan pengawasan terkait izin, ke depan kerusakan lingkungan akan semakin parah. Sebab, wilayah Sulawesi Tengah masuk daerah penyangga ibu kota negara baru dan semakin banyak aktivitas tambang galian C di Palu-Donggala,” ujarnya.