Pemburu Peramu Kuno Kalimantan Mengembangkan Keterampilan Medis
Penemuan operasi amputasi kaki di situs purbakala Liang Tebo, gugusan karst Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur, yang berumur 31.000 tahun menunjukkan kemajuan budaya masyarakat pemburu-peramu di kawasan ini.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penemuan terbaru jejak operasi amputasi kaki di situs purbakala Liang Tebo, goa batu kapur di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur, yang berumur 31.000 tahun menunjukkan kemajuan budaya masyarakat pemburu-peramu yang mendiami kawasan ini. Selain bisa melakukan operasi medis yang kompleks, mereka diduga telah memanfaatkan obat-obatan alami untuk menyembuhkan luka.
Temuan bukti operasi amputasi yang tertua di dunia ini diterbitkan tim arkeolog Indonesia dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), yang sekarang menjadi Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), bekerja sama dengan tim arkeolog Australia dari Griffith University, di jurnal Nature edisi 7 September 2022. Penelitian juga didukung tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur.
Maxime Aubert, profesor dari Griffith Centre for Social and Cultural Research, salah satu pemimpin proyek penelitian ini, dalam diskusi daring Kamis (8/9/2022) mengatakan, penemuan baru di Kalimantan ini menunjukkan bahwa manusia telah mengembangkan pengetahuan anatomi dan keterampilan medis tingkat tinggi yang diperlukan dalam proses amputasi anggota badan jauh sebelum spesies kita mulai bertani dan tinggal di pemukiman secara permanen.
”Hal ini sesuai dengan bukti bahwa pemburu zaman es di belahan dunia ini memiliki cara hidup budaya yang canggih, seperti yang ditunjukkan pada seni gambar cadas periode awal di Pulau Kalimantan dan Sulawesi,” katanya.
Dalam paper dengan penulis pertama Tim Maloney dari Griffith University disebutkan, temuan tulang yang telah direnovasi menutupi permukaan amputasi yang diidentifikasi di sebelah kiri tibia distal dan fragmen poros fibula menunjukkan penyembuhan. Ini menunjukkan bahwa sepertiga distal kaki bagian bawah dari kerangka ini diangkat melalui amputasi bedah yang disengaja pada posisi tibia distal dan poros fibula.
Menurut peneliti, pola trauma yang diamati tidak cocok dengan deskripsi klinis amputasi nonbedah, kecuali dalam kasus trauma modern di mana pisau logam besar atau proses mekanis terlibat di dalamnya. Amputasi nonbedah, umumnya sebagai akibat dari kecelakaan, tidak menyebabkan pemotongan miring yang bersih dan tidak secara klinis direkam untuk memutuskan ekstremitas bawah dari kedua tibia dan fibula, seperti kasus pada kerangka ini. Sementara trauma benda tumpul akibat kecelakaan atau serangan binatang biasanya menyebabkan fraktur kominutif dan menghancurkan.
Tingkat infeksi yang cepat di daerah tropis yang panas dan lembab mendorong mereka untuk memanfaatkan ’farmasi alami’ dari tanaman obat di hutan hujan yang kemudian mengarah pada perkembangan awal penggunaan sumber daya botani untuk anestesi, antiseptik, dan perawatan penyembuhan luka lainnya.
Selain itu, amputasi yang sengaja dilakukan sebagai hukuman dianggap tidak mungkin, terutama karena ada bukti diberikannnya perawatan yang cermat pada individu terkait setelah amputasi dan dalam penguburan, yang tidak sesuai jika seseorang dianggap melakukan kesalahan dan menjalani hukuman.
Para peneliti juga menemukan, tulang lamelar yang telah mengalami pemodelan ulang lengkap yang menutupi margin inferior fibula menunjukkan bahwa individu ini meninggal minimal 6-9 tahun setelah trauma awal. Hal ini menegaskan bahwa ini bukan patologi yang fatal.
Selain itu, para peneliti tidak menemukan adanya bukti infeksi pada bekas luka, yang umumnya sering terjadi dari luka terbuka jika tanpa pengobatan antimikroba. Kurangnya infeksi lebih lanjut ini mengesampingkan kemungkinan serangan hewan, seperti gigitan buaya, karena serangan hewan memiliki kemungkinan yang sangat tinggi memicu komplikasi infeksi karena mikroorganisme dari gigi hewan yang memasuki luka.
India Ella Dilkes-Hall dari University of Western, yang turut dalam kajian ini, mengatakan, kemampuan operasi amputasi masyarakat pemburu-peramu kuno di Kalimantan ini diduga didukung kemampuan memanfaatkan obat-obatan alami dari tanaman obat di hutan. ”Tingkat infeksi yang cepat di daerah tropis yang panas dan lembab mendorong mereka untuk memanfaatkan ”farmasi alami” dari tanaman obat di hutan hujan yang kemudian mengarah pada perkembangan awal penggunaan sumber daya botani untuk anestesi, antiseptik, dan perawatan penyembuhan luka lainnya,” katanya.
Perlindungan karst
Sementara itu, Pindi Setiawan, salah satu anggota tim riset dari ITB mengatakan, temuan ini memberikan implikasi yang besar untuk memperkuat bukti kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat sebagai sebuah Warisan Dunia (World Heritage). Sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kaltim telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Sementara Marlon Ririmasse, Kepala Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan, menambahkan, temuan ini menjadi referensi tentang potensi capaian kerja riset kolaborasi di era Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Griffith University sebagai mitra produktif dan akan terus diperkuat melalui kelembagaan baru di Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa dan Sastra, BRIN.
Sofwan Noerwidi, arkeolog dari Kelompok Riset Paleoantropologi di Pusat Riset Arkeometri, BRIN, yang tidak terlibat dalam publikasi, mengapresiasi temuan penting ini. Menurut dia, penemuan telah merefleksikan kompleksitas sosial masyarakat pemburu pengumpul pada periode Pleistosen Akhir sekitar 31.000 tahun lalu di Nusantara, ketika kondisi lingkungan rata-rata lebih sejuk dibandingkan saat ini.
”Penanganan kondisi kesehatan melalui operasi amputasi mengindikasikan bahwa masyarakat pemburu pengumpul berusaha mempertahankan komposisi jumlah anggota mereka untuk dapat bertahan di hutan hujan tropis dengan segala potensi bahayanya,” katanya.