Ditemukan Bukti Operasi Amputasi sejak 31.000 Tahun Lalu di Kalimantan
Para peneliti menemukan bukti kerangka manusia di karst Kalimantan Timur yang telah menjalani operasi amputasi sejak sekitar 31.000 tahun lalu, merupakan yang tertua di dunia.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pemburu dan peramu di Kalimantan terbukti telah memiliki kemampuan melakukan operasi amputasi kaki sejak 31.000 tahun lalu. Penemuan yang diterbitkan di jurnal ilmiah Nature ini dianggap sebagai bukti paling awal dari tindakan medis yang kompleks dan puluhan ribu tahun lebih awal dibandingkan operasi sejenis yang ditemukan di situs-situs lain di dunia.
Penemuan ini dilakukan tim arkeolog Indonesia dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), yang sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional, bekerja sama dengan tim arkeolog Australia dari Griffith University, dan didukung tim dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Kalimantan Timur. Laporan kajian ini diterbitkan di jurnal Nature edisi 7 September 2022.
Maxime Aubert, profesor dari Griffith Centre for Social and Cultural Research, salah satu pemimpin proyek penelitian ini, dalam diskusi daring, Kamis (8/9/2022), mengatakan, temuan baru ini awalnya terungkap pada tahun 2020 selama penggalian arkeologi di Liang Tebo, goa batu kapur di kawasan Sangkulirang-Mangkalihat, Kalimantan Timur.
Arkeolog BRIN, Adhi Agus Oktaviana, yang turut dalam publikasi ini, mengatakan, di Liang Tebo juga ditemukan lukisan tangan berumur 40.000 tahun hingga setidaknya 20.000 tahun. Budaya ini merupakan peninggalan dari kelompok populasi pemburu-peramu yang mendiami kawasan ini. ”Di Liang Tebo, kami melakukan perekaman kembali 45 motif gambar cadas, sebagian besar berupa cap tangan. Namun, kebanyakan hanya tersisa beberapa gambar jari,” katanya.
Kerangka yang diamputasi
Menurut Adhi, di Liang Tebo terdiri dari tiga ruangan. Untuk lukisan goa ini ditemukan di bagian atas goa, sedangkan ekskavasi dilakukan di bagian bawah goa. Ekskavasi arkeologi tersebut diawasi oleh peneliti Griffith, Tim Maloney, bersama dengan India Ella Dilkes-Hall dari University of Western Australia dan Andika Priyatno dari Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Dalam penggalian ini, ditemukan kerangka manusia yang kehilangan bagian kaki kiri dan tungkai bawahnya. Analisis oleh ahli paleopatologi, Melandri Vlok dari University of Sydney, mengonfirmasi adanya pertumbuhan tulang yang berhubungan dengan penyembuhan. Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa anggota badan itu telah diamputasi melalui pembedahan beberapa tahun sebelumnya ketika individu tersebut masih anak-anak.
Vlok menegaskan, amputasi ini bukan disebabkan oleh praktik mutilasi ataupun serangan binatang, melainkan merupakan proses operasi untuk pengobatan. Ditemukan bahwa tulang pipih yang sepenuhnya direnovasi telah menutupi batas inferior fibula menunjukkan bahwa individu tersebut meninggal minimal 6-9 tahun setelah trauma awal dan memastikan bahwa ini bukan patologi yang fatal.
Kecilnya ukuran tibia dan fibula kiri dibandingkan dengan yang kanan menunjukkan amputasi dilakukan pada masa kanak-kanak karena tulang kaki kiri tidak terus tumbuh. Selama operasi, jaringan di sekitarnya, termasuk vena, pembuluh darah, dan saraf, diekspos dan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan individu ini tidak hanya bertahan tetapi terus hidup dengan mobilitas yang berubah.
Menurut Vlok, temuan ini merupakan kejutan besar karena pemburu-peramu kuno ini selamat dari operasi yang sangat serius yang dapat mengancam keselamatannya, bahkan bekas lukanya pun telah tertutup dengan baik. Kelompok masyarakat ini telah tinggal selama bertahun-tahun di daerah pegunungan dengan mobilitas yang berubah dan bukti amputasi ini menunjukkan tingginya derajat kepedulian masyarakat.
Tertua di dunia
Sebelumnya, penelitian arkeologi di wilayah Eurasia dan Amerika telah menemukan tulang manusia yang menunjukkan tanda-tanda adanya operasi amputasi pada zaman prasejarah, termasuk lubang yang dibor di bagian tengkorak (trepanasi). Bukti tertua adanya operasi amputasi pada manusia ditemukan pada kerangka berumur 7.000 tahun dari seorang petani Zaman Batu dari Perancis yang pulih setelah lengannya dipotong.
”Dibandingkan temuan-temuan sebelumnya yang umurnya lebih muda, penemuan bukti operasi amputasi pada manusia dari sekitar 31.000 tahun yang lalu di Kalimantan jelas memiliki implikasi besar bagi pemahaman kita tentang sejarah kedokteran,” kata Maloney.
Para ahli sebelumnya berasumsi bahwa manusia tidak memiliki keahlian dan teknologi untuk melakukan prosedur yang sulit seperti operasi amputasi, setidaknya hingga puluhan ribu tahun kemudian, atau setelah munculnya komunitas pertanian dan perdesaan yang mengubah tatanan kehidupan dalam 10.000 tahun terakhir. Namun, temuan ini telah memberikan perspektif baru.
”Pergeseran dari pola berburu dan mengumpulkan makanan ke bertani di akhir zaman es diperkirakan memunculkan masalah kesehatan yang sebelumnya tidak diketahui yang kemudian mendorong kemajuan teknologi medis, mungkin termasuk berbagai bentuk ’operasi’ zaman batu ini,” kata Maloney.
Riset kolaboratif
Aubert mengatakan, temuan terbaru ini merupakan bagian dari kolaborasi antara Griffith University dan Puslit Akenas yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Beberapa temuan sebelumnya terkait lukisan goa tangan di Maros, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan di jurnal Nature masing-masing pada 2018 dan 2019.
Pada tahun 2021 juga telah dipublikasikan temuan lukisan tangan tertua di dunia yang ditemukan di karst Maros yang berumur 43.900 tahun lalu di jurnal Science Advance. ”Temuan-temuan ini menunjukkan budaya kuno di Indonesia sangat penting,” katanya.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Yogaswara dalam sambutannya mengatakan, temuan yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah bergengsi ini menunjukan beberapa hal. Pertama, kontribusi temuan pada perkembangan ilmu arkeologi dan ilmu-ilmu lainnya, seperti kedokteran, etnobiologi, dan ilmu anatomi.
Kedua, membuktikan wilayah Indonesia sejak lama ditemukan temuan arkeologis yang memberikan kontribusi penting terkait evolusi manusia. Ketiga, riset yang menghasilkan temuan penting bersifat kolaboratif dan multidisiplin para peneliti dari dalam dan luar negeri.
”Semangat kolaborasi ini menjadi ciri dari riset-riset ke depan,” katanya.