Mahkamah Konstitusi mengadili permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam keputusannya, MK menolak gugatan uji materiil UU Pers tersebut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tiga wartawan yang mempersoalkan fungsi Dewan Pers selaku fasilitator bagi organisasi-organisasi pers dalam membuat peraturan sebagai acuan dan standar peningkatan kualitas profesi kewartawanan. MK menyatakan, Dewan Pers sudah benar dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator dan tidak berubah menjadi regulator yang memonopoli pembentukan peraturan seperti didalilkan pemohon.
Hal tersebut terungkap dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang dibacakan pada hari Rabu (31/8/2022). Permohonan tersebut diajukan oleh tiga wartawan, yaitu Heintje Grontson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso.
Ketiganya menguji Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU No 40/1999 yang mengatur fungsi Dewan Pers, yakni memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Masih di pasal yang sama, pemohon juga mempersoalkan ayat (5) yang mengatur tentang keanggotaan Dewan Pers ditetapkan dengan keputusan presiden.
Dalam permohonannya, ketiga insan pers itu mendalilkan bahwa kata ”memfasilitasi” dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf f UU Pers telah menimbulkan ketidakjelasan tafsir. Akibatnya, Dewan Pers justru memonopoli peraturan-peraturan di bidang pers.
Sebelum menjawab dalil tersebut, MK terlebih dahulu mempertimbangkan tujuan pembentukan Dewan Pers, yaitu untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Tujuan tersebut dicapai dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standardisasi.
Untuk menjaga independensi dan kemerdekaan pers, pembentukan peraturan dilakukan tanpa intervensi dan campur tangan pemerintah. Pengaturan di dunia pers diserahkan kepada organisasi-organisasi pers itu sendiri dengan difasilitasi oleh Dewan Pers, seperti dinyatakan di dalam Pasal 15 Ayat (2) UU Pers.
Dewan Pers juga diketahui tidak memonopoli pembuatan peraturan, apalagi mengambil alih peran organisasi pers.
”Maksud dari ’memfasilitasi’ adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut. Fungsi ’memfasilitasi’ tersebut menurut Mahkamah telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan.
Selain pertimbangan hukum tersebut, MK juga menemukan fakta yang terungkap di dalam persidangan bahwa dalam melaksanakan fungsi ”fasilitasi” pembuatan peraturan terkait pers yang merupakan hasil pembahasan bersama dengan melibatkan organisasi pers. Dewan Pers juga diketahui tidak memonopoli pembuatan peraturan, apalagi mengambil alih peran organisasi pers.
”Artinya, Dewan Pers bertindak sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator),” kata Arief.
Pemohon juga mempersoalkan pengangkatan anggota Dewan Pers melalui keputusan presiden. Mereka mendalilkan hal itu mengakibatkan ketidakjelasan tafsir yang berakibat para pemohon tidak mendapat penetapan sebagai anggota Dewan Pers.
Menurut MK, penetapan keanggotaan Dewan Pers melalui keppres tidaklah mengurangi independensi Dewan Pers. Anggota Dewan Pers terdiri dari wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan, pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers, dan tokoh masyarakat, serta ahli di bidang pers/komunikasi. Demikian pula dengan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers yang dipilih sendiri oleh anggotanya, yang artinya ditentukan sendiri oleh insan pers yang berkecimpung di dunia pers.
”Keberadaan keputusan presiden hanya sebagai pengesahan dan keputusan (beschikking) yang bersifat individual, konkret, dan berlaku satu kali (einmalig) terhadap anggota Dewan Pers yang terpilih. Artinya, Presiden tidak dapat campur tangan dalam proses penentuan keanggotaan dan ketua Dewan Pers,” kata Arief.
Ditolak juga
MK juga menolak mengikuti petitum yang diminta para pemohon uji materi. Mereka meminta agar MK memaknai Pasal 15 Ayat (5) UU No 40/1999 dengan: ”keputusan presiden bersifat administratif sesuai usulan/permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis.”
Pemaknaan seperti itu, menurut Arief, justru menimbulkan ketidakseragaman ketika tiap-tiap organisasi pers melaksanakan pemilihan anggota Dewan Pers sendiri-sendiri.
Menanggapi putusan tersebut, dalam keterangan tertulis, Wakil Ketua Dewan Pers M Agung Dharmajaya menyampaikan, keputusan MK menandakan tidak ada hal yang kontradiktif antara Pasal 15 Ayat (2) huruf f dan Pasal 15 Ayat (5) UU Pers dengan UUD 1945. Justru pasal-pasal UU Pers sinkron dengan UUD 1945.
Sementara itu, anggota Dewan Pers, Ninik Rahayu, menambahkan, secara umum apa yang digugat oleh para pemohon adalah masalah konkret dan bukan norma. Itu sebabnya dia mengimbau agar semua konstituen pers yang merasa tidak puas atas ketentuan yang dibuat oleh organisasi pers hendaknya memberi masukan.
”Dengan keputusan MK ini, kami berharap semua pihak bisa mematuhi. Tak hanya terbatas pada insan dan organisasi pers, tetapi pemerintah pun perlu mematuhinya,” katanya.