Peningkatan Jumlah Dokter Jangan Kesampingkan Kualitas
Peningkatan jumlah dokter di Indonesia tidak boleh mengesampingkan kualitas dokter yang dihasilkan. Keselamatan masyarakat harus tetap diutamakan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Disparitas dan kurangnya jumlah dokter di Indonesia menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat. Pemerintah berupaya meningkatkan jumlah dokter melalui berbagai program. Meski begitu, kualitas sumber daya dokter yang dihasilkan harus tetap diutamakan.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) M Adib Khumaidi mengatakan, kebutuhan dokter, terutama dokter spesialis, masih kurang di Indonesia. Namun, distribusi dokter yang tidak merata juga menjadi persoalan yang harus diperhatikan.
”Kalau hanya bicara soal produksi dokter yang ditingkatkan tanpa bicara distribusi pemerataan, sama saja tidak menyelesaikan masalah. Kita dihadapkan pada jumlah dokter yang overload di kota besar sekaligus kekurangan dokter di daerah,” katanya saat ditemui di sela acara peresmian Gedung dr R Soeharto PB IDI di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Menurut Adib, negara memiliki kewenangan untuk mengatur distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia. Hal itu dapat dilakukan melalui kerja sama dengan institusi pendidikan kedokteran.
Kalau hanya bicara soal produksi dokter yang ditingkatkan tanpa bicara distribusi pemerataan, sama saja tidak menyelesaikan masalah. Kita dihadapkan pada jumlah dokter yang overload di kota besar sekaligus kekurangan dokter di daerah.
Pemetaan jumlah kebutuhan dokter dan kebutuhan layanan kesehatan di daerah pun menjadi amat penting. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda terkait dengan persoalan kesehatan yang dihadapi. Oleh karena itu, pemerintah daerah turut berperan untuk mengatasi persoalan kebutuhan dokter di suatu wilayah.
Di lain sisi, Adib menyampaikan, pemerintah daerah juga memiliki wewenang untuk mengatur kapasitas dokter di suatu wilayah. Moratorium pemberian surat izin praktik (SIP) bisa diberlakukan apabila jumlah dokter, khususnya dokter spesialis di suatu daerah, sudah lebih dari cukup.
”Potensi terjadinya pengangguran intelektual profesional seorang dokter di Indonesia sangat mungkin jika produksi dokter ini tidak kita atur mulai sekarang. Yang memiliki wewenang untuk mengatur hal tersebut adalah negara dengan basis analisis kebutuhan di setiap daerah,” ujarnya.
Fakultas kedokteran
Adib menuturkan, upaya pemerintah mengatasi kekurangan dokter dengan menambah kuota mahasiswa program sarjana kedokteran dan menambah program studi dokter spesialis dinilai sudah tepat. Namun, penambahan kuota tersebut jangan sampai mengesampingkan kualitas dokter yang dihasilkan.
”Kita harus berkonsentrasi pada kualitas bukan kuantitas saja karena kita dihadapkan dengan kualitas mutu pelayanan kesehatan ke depannya. Jadi jangan sampai kita mendapatkan kualitas dokter yang substandar,” ucapnya.
Sebelumnya, Keputusan Bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan Menteri Kesehatan tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis, dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik telah terbit. Dalam surat keputusan tersebut, kuota penerimaan mahasiswa program sarjana untuk fakultas kedokteran (FK) terakreditasi A bisa ditingkatkan dengan daya tampung maksimal. Sementara untuk FK akreditasi B bisa ditingkatkan 10 persen dari kuota saat ini.
Dalam keputusan tersebut juga disampaikan jenis dokter spesialis untuk program studi yang dapat ditambah, antara lain spesialis penyakit dalam, bedah, anak, obstetri ginekologi, radiologi, anestesi, patologi klinik, dan spesialis untuk penanganan penyakit prioritas seperti jantung, stroke, kanker, dan urologi-nefrologi. Peningkatan kuota penerimaan mahasiswa program dokter spesialis perlu diiringi dengan peningkatan rasio dosen.
Adib mengatakan, untuk memastikan kualitas dokter spesialis yang dihasilkan, perlu memperhatikan beberapa aspek lain, yakni sistem pendidikan, modul pendidikan yang digunakan, SDM pendidik, dukungan sarana prasarana seperti laboratorium, serta kerja sama dengan rumah sakit pendidikan. Dokter merupakan profesi yang spesifik yang berhubungan dengan keselamatan manusia sehingga harus disiapkan dengan optimal.
Anggota Dewan Pertimbangan PB IDI Zainal Abidin menambahkan, pemerintah harus memastikan pula dokter yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan di masyarakat. Pemetaan dan hitungan yang baik perlu dilakukan.
”Percuma jika sudah mencetak dokter spesialis, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Harus dihitung baik-baik dokter yang diproduksi dan perlu dipastikan pula penempatannya. Kesejahteraan dan jenjang karier dokter tersebut juga harus diperhatikan,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Dekan FK Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyampaikan, kuota penerimaan program sarjana di FKUI pada 2022 meningkat 6 persen. Sementara itu, daya tampung dan jumlah yang diterima untuk program pendidikan dokter spesialis (PPDS) pada periode gasal 2022 naik 16,78 persen. Peningkatan itu dilakukan, antara lain, pada program studi anestesiologi dan intensive care, neurologi, jantung dan pembuluh darah, urologi, serta patologi klinik.
Merujuk standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio dokter seharusnya 1 : 1.000 atau 1 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, dengan jumlah penduduk sekitar 270 juta orang, Indonesia membutuhkan 270.000 dokter. Sementara saat ini jumlah dokter yang tersedia di Indonesia baru 130.000 dokter.
Kementerian Kesehatan pun telah mendata jumlah kekurangan SDM dokter spesialis untuk kebutuhan RS rujukan. Setidaknya, kekurangan jumlah dokter spesialis ilmu penyakit jantung dan pembuluh darah mencapai 714 dokter, spesialis saraf atau neurologi sebanyak 169 dokter, spesialis radiologi 109 dokter, spesialis obstetri ginekologi sebesar 57 dokter, spesialis ilmu kesehatan anak sebesar 59 dokter, dan ilmu penyakit dalam sebesar 76 dokter.