Kuota Penerimaan Mahasiswa Kedokteran di Perguruan Tinggi Ditingkatkan
Kebutuhan dokter dan dokter spesialis di Indonesia mendesak untuk dipenuhi. Kini peningkatan jumlah lulusan dokter disepakati dengan tetap mengutamakan kualitas dalam memberikan layanan kesehatan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan dokter di Indonesia masih tinggi. Untuk itu, peningkatan jumlah lulusan dokter dan dokter spesialis dari fakultas kedokteran kembali dibuka. Namun, peningkatan jumlah lulusan dokter dari perguruan tinggi yang sudah ada dan pembukaan program studi fakultas kedokteran baru tetap dipastikan memenuhi kualitas dalam menjalankan pelayanan kesehatan.
Kerja sama peningkatan kuantitas dan kualitas lulusan fakultas kedokteran di Indonesia dilakukan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Selasa (12/7/2022). Kolaborasi kedua kementerian ini ditandai dengan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Peningkatan Kuota Penerimaan Mahasiswa Program Sarjana Kedokteran, Program Dokter Spesialis dan Penambahan Program Studi Dokter Spesialis melalui Sistem Kesehatan Akademik/Academic Health System (AHS).
Budi mengatakan, melalui penerbitan SKB ini, kebutuhan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di Indonesia bisa terpenuhi. Kerja sama ini sebagai upaya mengakselerasi peningkatan kapasitas dan kualitas fakultas kedokteran, serta menghasilkan dokter dan dokter spesialis yang dapat memperkuat layanan kesehatan. Dengan skema AHS, dapat mengakselerasi penambahan populasi dokter di Indonesia yang saat ini masih kekurangan 160.000 dokter.
”Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), untuk tiap 1.000 populasi penduduk diperlukan satu dokter. Berdasarkan data dari dinas kesehatan, Indonesia baru memiliki 110.000 dokter sehingga butuh 160.000 lulusan kedokteran dari 92 fakultas kedokteran. Untuk mencapai ini, kita butuh 14 tahun,” kata Budi.
Selama ini yang sudah antre di kota-kota besar, padahal kebutuhan di daerah tinggi dan masih ada ratusan puskesmas yang belum punya dokter. (Nizam)
Dengan disahkannya SKB ini, Kemendikbudristek berkomitmen untuk mempercepat pemenuhan dosen yang berasal dari rumah sakit pendidikan dengan berbagai inisiatif. Inisiatif tersebut antara lain mengupayakan percepatan pengusulan nomor induk dosen kedokteran (NIDK); memberikan penugasan dan bimbingan teknis kepada perguruan tinggi yang diberi tugas membuka program studi baru dokter spesialis; dan memberikan beasiswa LPDP untuk mahasiswa program dokter spesialis.
Nadiem mengatakan, terkait AHS sesuai SKB, Kemendikbudristek menetapkan berdasarkan prioritas kebutuhan jenis serta jumlah dokter dan dokter spesialis dari Kementerian Kesehatan. ”Kemendikbudristek bersama Kementerian Kesehatan akan mengedepankan kolaborasi perguruan tinggi, rumah sakit pendidikan, wahana pendidikan, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk menyinergikan pendidikan, penelitian, dan pelayanan kesehatan,” katanya.
Selanjutnya, memperkuat kebijakan sistem seleksi mahasiswa dan penjaminan mutu lulusan melalui uji kompetensi sesuai standar nasional pendidikan kedokteran; menyusun kebijakan untuk menjamin pemenuhan hak mahasiswa kedokteran dengan komite bersama, khususnya untuk perlindungan dari segala bentuk perundungan dan kekerasan seksual; pengaturan beban kerja dan pemberian insentif untuk mahasiswa program dokter spesialis yang mendukung pelayanan di rumah sakit pendidikan; serta mengupayakan percepatan program adaptasi bagi diaspora yang memberikan pelayanan di Indonesia.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam mengatakan, cara yang efisien untuk memenuhi kebutuhan dokter yakni dengan menambah kapasitas penerimaan mahasiswa baru di fakultas kedokteran di perguruan tinggi negeri dan swasta. Dari kajian data dan capaian fakultas kedokteran, seperti dilihat dari kualitas dan sarana-prasarana rumah sakit untuk memahirkan mahsiswa, jumlah lulusan fakultas kedokteran sekitar 11.000 orang dapat ditingkatkan menjadi 15.000 orang.
”Penambahan lulusan juga disiapkan dengan pembukaan program studi FK (fakultas kedokteran) baru, terutama di provinsi yang belum ada. Prodi FK disiapkan di Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau. Kami akan mengkaji dengan hati-hati dalam membuka moratorium FK. Selama ini yang sudah antre di kota-kota besar, padahal kebutuhan di daerah tinggi dan masih ada ratusan puskesmas yang belum punya dokter,” kata Nizam.
Peningkatan jumlah mahasiswa FK diperbolehkan untuk yang terakreditasi A dan B, tetapi harus tetap dipastikan berbagai penilaian, seperti dosen mencukupi, sarana-prasarana, hingga rumah sakit, untuk memahirkan mahasiswa ada dan cukup kapasitasnya.
Sebelumnya, transformasi pada bidang kedokteran dan kesehatan sudah dapat diantisipasi lebih cepat dengan implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Salah satu kekhususan yang diatur pada Standar Nasional Pendidikan Kedokteran adalah implementasi kurikulum dengan pendekatan interprofessional education untuk menyiapkan pelayanan kesehatan berbasis collaborative practice.
Dampaknya, kurang dari sepuluh tahun jumlah program studi kedokteran yang terakreditasi A naik lebih dari 90 persen, jumlah lulusan dokter per tahun meningkat 100 persen dari sekitar 6.000 menjadi 12.000 per tahun. Saat ini terdapat 93 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia di mana 18 di antaranya menyelenggarakan program studi dokter spesialis.
Pendidikan psikologi
Tak hanya peningkatan kualitas pendidikan kedokteran yang menjadi perhatian pemerintah. Pendidikan psikologi di perguruan tinggi dan praktik psikologi juga kini sudah ada payung hukum dengan disahkannya RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi disetujui menjadi undang-undang pada 7 Juli lalu.
Pembahasan UU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi melibatkan Komisi X DPR, Kemendikbudristek, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan organisasi profesi psikologi, asosiasi penyelenggara pendidikan psikologi. Undang-undang ini tidak hanya akan mengatur praktik psikologi, tetapi juga mencakup pendidikan dan layanan psikologi. Dengan demikian, UU ini akan menjadi payung hukum yang lebih komprehensif dan mampu menyelaraskan pendidikan dengan praktik profesional yang dijalani oleh psikolog.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudin mengatakan, ketentuan dalam UU Pendidikan dan Layanan Psikologi memberikan peran yang seimbang dan saling melengkapi antara perguruan tinggi penyelenggara pendidikan psikologi, organisasi-organisasi profesi, serta pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dalam perwujudan layanan psikologi yang berkualitas dan merata. Selain itu, dilakukan penyelerasan antara UU Pendidikan dan Layanan Psikologi dengan Undang-Undang Kesehatan yang telah terlebih dahulu mengatur praktik psikologi di layanan fasilitas kesehatan.