Penghilangan Paksa Orang Berdampak Serius terhadap Perempuan
Penghilangan orang secara paksa merupakan kejahatan HAM. Hilangnya para korban berdampak pada perempuan. Mereka mengalami berbagai kekerasan, bahkan sampai direndahkan martabatnya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghilangan orang secara paksa terjadi di sejumlah negara di dunia, termasuk di Indonesia. Penuntasan kasus penghilangan paksa orang yang terjadi di Indonesia menjadi utang reformasi yang terus tertunda selama hampir seperempat abad. Padahal, kasus tersebut meninggalkan dampak terhadap korban dan keluarganya, termasuk perempuan seperti istri, ibu, anak perempuan, dan anggota keluarga perempuan lainnya.
Demikian disampaikan Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani pada Diskusi Publik ”Peringatan Hari Internasional Orang Hilang atau Penghilangan secara Paksa”, Selasa (30/8/2022). Andy menyebutkan, di Indonesia, praktik penghilangan paksa terjadi khususnya pada masa Orde Baru, di antaranya peristiwa 1965-1966, Timor-Timur 1975-1999, Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989, Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, serta Penculikan Aktivis 1997-1998.
Kasus-kasus ini memiliki hubungan dengan Tragedi Mei 1998, sebagaimana juga disebutkan dalam Tim Gabungan Pencari Fakta Kerusuhan Mei 1998. Tragedi Mei 1998 menjadi latar pendorong lahirnya Komnas Perempuan.
”Karena itu, penuntasan penghilangan paksa merupakan bagian yang penting bagi perjuangan Komnas Perempuan,” tegas Andy.
Sebab, dalam praktik penghilangan paksa, perempuan menjadi korban. Di antara mereka ada yang dihilangkan, ada yang dikembalikan, ada yang tidak dikembalikan, dan ada yang ditemukan kembali.
Mereka sangat rentan menjadi korban penganiayaan dan menjadi sasaran kekerasan seksual sekaligus menghadapi penderitaan dan penghinaan yang merendahkan martabatnya. (Andy Yentriyani)
Anggota keluarga dari korban penghilangan paksa juga harus menghadapi situasi ketidakpastian nasib keluarganya yang hilang. Bahkan, mereka juga menghadapi stigma dan dianggap sebagai musuh negara yang berlangsung hingga saat ini.
Mereka juga mengalami masalah kesehatan fisik dan psikologis, dan dampak sosial lainnya yang memengaruhi keberlanjutan hidup mereka, sebagai perempuan, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan warga.
Di tingkat global, komitmen global untuk menuntaskan penghilangan paksa diwujudkan melalui pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearanceatau CPED), yang merupakan hukum HAM internasional.
Konvensi tersebut disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Desember 2006 dan mulai berlaku pada 23 Desember 2010. Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 September 2010, tetapi tak kunjung meratifikasinya.
Di tahun 2021, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan UU Ratifikasi Penghilangan Paksa bisa disahkan pada 10 Desember 2021. Namun, sampai hari ini, RUU ratifikasi ini belum pernah dibahas di DPR.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR didorong agar segera meratifikasi Konvensi Penghilangan Paksa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan.
Menunggu pembahasan di DPR
Betni H Purba, Direktur Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM), Direktorat Jenderal HAM, Kementerian Hukum dan HAM, menegaskan, Indonesia merupakan salah satu negara anggota PBB yang mendukung disahkannya CPED. Hingga kini, sejumlah langkah telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam meratifikasi CPED.
Dukungan Indonesia terhadap konvensi tersebut didasarkan pada isi dan semangat konvensi yang sejalan dengan kepentingan Indonesia di bidang HAM. Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa tersebut.
Bahkan, pada tahun 2009, ada rekomendasi dari Panitia Khusus DPR mengenai penanganan atas hasil penyelidikan penghilangan orang. Pansus merekomendasikan kepada presiden dan institusi pemerintah serta pihak yang terkait untuk segera mencari orang-orang yang masih dinyatakan hilang. Selain itu, DPR juga merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang.
Pada 27 April 2022, Presiden telah menyampaikan Rencana Aksi Nasional UU tentang Pengesahan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa kepada Ketua DPR. ”Saat ini draf CPED telah berada di Badan Musyawarah Komisi I DPR dan menunggu undangan pembahasan dari DPR,” ujarnya.
Pada diskusi tersebut, hadir Fitri Nganthi Wani, putri sulung Wiji Thukul, aktivis sekaligus penyair yang hilang pada masa peralihan Orde Baru. Fitri bercerita bagaimana upaya yang dilakukan keluarganya untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan atas dampak penghilangan paksa, serta harapan-harapannya. Sampai sekarang menjadi hal yang sensitif bagi keluarganya membahas kasus yang menimpa ayahnya.
Fitri menyampaikan betapa panjangnya kasus tersebut yang menguras banyak energi. Jika dilihat dari awal kasus terjadi sampai hari ini dari tahun 1996 ketika ayahnya dinyatakan sebagai buronan, dan tahun 1998 muncul pernyataan ayahnya dinyatakan hilang.
Ia bahkan mencontohkan perjalanan kasus ayahnya seperti makanan, bisa dirasakan, diketahui kandungannya dalam makanan, tetapi tidak bisa dicerna. Hanya dikunyah, tidak bisa ditelan, seperti dijadikan permen karet.
Selain Fitri dan Bitni, hadir juga sebagai pembicara lain, yaitu komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, dan Direktur Asia Justice and Rights Galuh Wandita.