Kecanduan Judi
Banyak orang terjebak perjudian hingga menghadapi masalah kesehatan mental dan kriminal. Namun, upaya membantu mengatasi kecanduan judi di Indonesia masih terbatas. Penegakan hukum saja tidak akan membuat pejudi jera.
Meski berdampak besar bagi kesehatan mental masyarakat, kecanduan judi belum mendapat perhatian serius seperti kecanduan obat-obatan terlarang. Penegakan hukum semata tidak akan pernah menyelesaikan persoalan karena masalah utama judi patologis ada di otak pejudi. Lembaga dukungan untuk membantu pejudi keluar dari kecanduannya perlu mulai dirintis.
Setelah merebaknya rumor Konsorsium 303 yang melibatkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 18 Agustus 2022 memerintahkan pemberantasan judi dan bekingnya. Sejak itu, pejudi di beberapa daerah pun ditangkap.
Kepolisian sebenarnya rutin menggerebek perjudian, mulai dari judi sabung ayam, judi dadu, judi kartu, atau berbagai judi lainnya, termasuk judi daring. Kementerian Komunikasi dan Informatika pun sudah menutup 534.183 situs judi sejak 2018-awal Agustus 2022. Namun, judi tetap ada. Kelompok pejudi tetap eksis, pejudi baru terus tumbuh, dan situs judi baru tetap bermunculan.
Simak juga : Didesak Isu Konsorsium 303, Polisi Berantas Judi dalam 4 Hari
Simak juga : Di tengah Isu Konsorsium 303, Polisi Gencar Gerebek Judi Online
Judi ada sepanjang sejarah manusia. Situs Addiction Rehab Toronto, Kanada, lembaga yang membantu pecandu, termasuk pecandu judi, menyebut, sepasang dadu yang diperkirakan untuk berjudi dari tahun 3.000 sebelum Masehi (SM) pernah ditemukan di makam kuno Mesir. Judi dadu juga disebut penyair Yunani kuno Sophocles pada tahun 500 SM. Sedang catatan tertulis soal taruhan dan judi ditemukan di China pada tahun 200 SM.
Di Nusantara, judi juga dikenal sejak era kerajaan-kerajaan maupun di masa penjajahan kolonial Belanda. Kompas, 31 Mei 1999 menyebut judi bebas dilakukan masyarakat pada 1950-an. Judi lotere diselenggarakan sejumlah daerah pada 1960-an. Tahun 1965, Presiden Soekarno mengelompokkan judi sebagai kegiatan subversi karena merusak moral.
Di era Orde Baru, judi legal dalam berbagai bentuk berkembang hingga akhirnya terhenti pada 1993 setelah banyak didemo masyarakat. Namun, perdebatan tentang perlu tidaknya melokalisasi judi terus muncul setidaknya hingga awal dekade 2000-an. Sejak internet berkembang, judi pun menemukan tempat baru hingga menyasar masyarakat lebih luas.
Pada dasarnya, judi merupakan kegiatan rekreasi. Motivasilah yang menjadi pembedanya dari judi patologis. Mereka yang berjudi untuk rekreasi lebih memandang judi sebagai sarana interaksi sosial atau menikmati suasana dan budaya baru bagi yang berjudi di kasino. Sedang pejudi patologis menjadikan kemenangan sebagai tujuan utama.
Namun, judi patologis bisa berkembang dari judi yang awalnya untuk keperluan rekreasional. Dari semula hanya ingin mencoba, dilakukan sesekali, akhirnya menjadi kebiasaan. Seperti dikutip dari The Psychology Today, 21 Maret 2022, dorongan untuk mengambil risiko yang lebih besar membuat banyak pejudi rekreasional terjebak dalam judi patologis.
Ahli neurosains di Universitas Melbourne, Australia, Jared Cooney Horvarth di situs Gambler's Help, lembaga yang membantu menangani kecanduan judi di negara bagian Victoria, Australia mengatakan, bagi yang baru mengenal, judi itu menarik. Dorongan untuk menang membuat sistem pusat penghargaan di otak aktif hingga menimbulkan rasa senang.
"Saat (judi) terlalu sering dimainkan, aktivitas di pusat penghargaan otak akan turun sehingga orang akan berjudi dan berjudi lagi demi mendapatkan tingkat kesenangan seperti saat awal berjudi, ketika kesenangan mudah didapatkan," katanya. Saat itulah judi menjadi kegiatan yang tak lagi menyenangkan dan itulah tanda kecanduan.
Baca juga : Pajak, Pembangunan, dan Judi Era Orba
Judi menjadi masalah saat taruhan yang dilakukan mulai menimbulkan kerumitan hidup, seperti hutang, renggangnya relasi sosial, kehilangan pekerjaan, stres, depresi, hingga menghalangi melakukan tanggung jawab lain dalam hidup. Pada fase ini, judi telah menjadi judi patologis, judi kompulsif, atau gangguan perjudian karena dorongan berjudi menjadi sulit dikendalikan.
Gejala
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5 (DSM-5) menyebut sejumlah tanda judi patologis antara lain munculnya dorongan berjudi terus menerus dengan jumlah uang taruhan yang kian membesar demi memenuhi kesenangan yang diinginkan. Setelah kalah berjudi, beberapa hari kemudian mereka akan berjudi lagi demi membalas kekalahan terdahulu.
Gejala lain yang muncul adalah saat berhenti berjudi, penderita judi patologis akan mudah gelisah dan tersinggung. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk memikirkan judi hingga mengabaikan pekerjaan, kondisi keuangan, dan keluarga. Pejudi juga akan menutupi kegiatannya, serta menjadikan judi sebagai pelarian saat cemas atau tertekan.
Jika sejumlah gejala itu muncul dalam periode 12 bulan, maka penderita judi patologis perlu segera mendapat terapi. Kecanduan sejatinya merupakan istilah klinis, maka penegakan diagnosis kecanduan judi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan mental profesional yang akan menindaklanjutinya dengan terapi.
Saat (judi) terlalu sering dimainkan, aktivitas di pusat penghargaan otak akan turun sehingga orang akan berjudi dan berjudi lagi demi mendapatkan tingkat kesenangan seperti saat awal berjudi, ketika kesenangan mudah didapatkan. Saat itulah judi menjadi kegiatan yang tak lagi menyenangkan dan itulah tanda kecanduan.
Tidak seperti kecanduan obat terlarang atau alkohol yang gejalanya bisa diamati secara fisik, gejala kecanduan judi samar terlihat. Karena itu, keluarga dan teman punya peran besar dalam memantau kecanduan judi. Hal ini tentu tidak mudah mengingat pejudi sering akan menyangkal atau mereka rapi menutupi judi yang dilakukan.
Deteksi dini kecanduan judi itu penting mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 memperkirakan kerugian tahunan akibat judi mencapai 400 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.000 triliun.
Studi WHO lain pada 2017 memperkirakan, prevalensi pejudi patologis mencapai 0,1 persen-6 persen dari populasi umum. Prevalensi gangguan judi tertinggi ada di Asia, menengah di Australia dan Amerika, serta rendah di Eropa. Selama pandemi Covid-19, jumlah pejudi naik di banyak negara. Awalnya menjadikan judi sebagai rekreasi, namun sebagian orang akhirnya kecanduan.
Situasi serupa sebenarnya mudah ditemukan di Indonesia, khususnya pada orang muda. Banyak pemuda keluar dari pekerjaan, hutang sana sini, mencuri atau korupsi, hingga kabur dari rumah demi menghindari kejaran debt collector akibat kalah berjudi. Judi yang dimainkan pun beragam, mulai dair judi bola, judi slot, hingga judi berkedok investasi.
Baca juga : Mencoba Aplikasi Gaple dan Slot, Ternyata Edukasi Judi
Barbara Jacquelyn Sahakian, profesor neuropsikologi klinis di Universitas Cambridge, Inggris dan rekan di The Conversation, 16 Februari 2022, mencermati, dalam satu dekade terakhir, judi komersial meningkat sangat masif yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Di masa depan, seiring meluasnya internet, kecanduan judi diprediksi makin berkembang.
Di antara kelompok populasi, pemuda adalah sasaran utama. Anak muda usia 17-27 tahun adalah kelompok pejudi yang paling impulsif, paling berani bertaruh. Situasi ini dipastikan akan memunculkan banyak masalah terkait judi, mulai dari naiknya jumlah penderita gangguan mental, kebangkrutan, kriminalitas, hingga renggangnya relasi sosial.
Terapi
Kecanduan judi menunjukkan adanya masalah dalam otak pejudi. Proses pengambilan keputusan mereka menjadi makin berisiko. Studi L Clark dan rekan di jurnal Brain, Mei, 2008 menunjukkan, bagian pusat penghargaan di otak yang menjadi sangat aktif saat berjudi adalah nukleus kaudatus.
Bagian lain otak yang aktif saat berjudi adalah korteks prefrontal ventromedial yang terlibat dalam pengambilan keputusan, pengaturan memori dan emosi; korteks frontal orbital yang membantu tubuh merespon emosi; serta insula yang mengatur saraf otonom.
Sementara neurotransmitter terpenting di pusat penghargaan otak yang terlibat dalam perjudian adalah dopamin, zat kimia yang membantu komunikasi antarsel otak. Jakob Linnet dan rekan di jurnal Addiction, 30 September 2010 membuktikan, saat dopamin dilepaskan, otak pejudi berada dalam fase kegembiraan sangat tinggi. Pelepasan dopamin yang terus menerus itu pula yang memicu kecanduan.
Baca juga : Dari Kencan Hingga Perjudian Daring
Karena masalah judi patologis ada di otak, maka terapinya pun harus terfokus pada otak. Horvath menegaskan, otak adalah organ tubuh yag senantiasa berubah. Saat kita mulai mengubah pikiran dan perilaku kita, otak juga akan mengubah pola yang ada dalam pikiran kita. Artinya, kecanduan judi bisa dihentikan kapanpun, tak peduli sudah berapa lama berjudi.
Sahakian menambahkan, jika judi patologis bisa didiagnosis menggunakan pedoman DSM-5, maka ke depan tata laksana terapi dan manajemen gangguan judi bisa menggunakan panduan yang sedang dikembangkan Institut Nasional untuk Kesehatan dan Layanan Unggul (NIHCE) Inggris yang diharapkan selesai pada 2024.
Saat ini, pilihan terapi yang tersedia adalah terapi perilaku kognitif (CBT) untuk mengubah pola pikir pejudi atau melalui kelompok swaterapi. Obat jenis selective seretonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga bisa diberikan untuk mengurangi depresi yang muncul. Selain itu, temuan Sahakian dan tim menunjukkan, obat Naltrexone yang mengeblok atau menghalangi reseptor opioid bisa mengurangi kecanduan meski membutuhkan riset lebih luas lagi.
Untuk menekan besarnya dampak perjudian bagi kesehatan mental dan sosial, pembentukan lembaga dukungan untuk mengatasi kecanduan judi di Indonesia perlu dipikirkan. Layanan ini bisa membantu pecandu judi lebih dini hingga tidak jatuh terlalu dalam dengan perjudian. Upaya kesehatan mental berbasis bukti ini juga akan melengkapi upaya penegakan hukum yang selama ini dilakukan meski sulit memberi efek jera dan memutus rantai perjudian.