Petani Kecil Berperan Penting dalam Sawit Berkelanjutan
Penguatan kapasitas petani kecil untuk meningkatkan pengelolaan sawit berkelanjutan perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui edukasi pertanian yang baik hingga penguatan keorganisasian.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain pemerintah dan pihak swasta, smallholders atau petani kecil juga mempunyai kontribusi dan peran penting dalam pengelolaan sawit berkelanjutan. Namun, kapasitas mereka masih terbatas sehingga perlu dukungan dan intervensi.
Guru Besar Bidang Multifungsi Lanskap Pertanian IPB University Suria Darma Tarigan mengemukakan, kontribusi petani kecil dalam pengelolaan sawit berkelanjutan tidak kalah penting dibandingkan sektor privat. Petani kecil bahkan lebih mengalami kesulitan dalam mencapai pengelolaan sawit berkelanjutan dibandingkan sektor privat karena keterbatasan pengetahuan ataupun berbagai standar yang diterapkan.
”Produktivitas petani kecil memang sangat jauh dibandingkan perusahaan. Namun, apabila produktivitas petani kecil ditingkatkan, kita bisa menghemat puluhan juta hektar lahan sawit,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Senin (29/8/2022).
Suria menjelaskan, terdapat dua aspek penting yang perlu diperkuat guna meningkatkan kapasitas petani kecil. Aspek tersebut meliputi pengaturan ruang, seperti rencana tata ruang desa (RTRDes), dan praktik pertanian yang baik, seperti ketepatan dosis pupuk atau herbisida.
Penguatan kapasitas ini juga telah dilakukan Suria dan tim penelitinya kepada 550 petani kecil di Kalimantan Timur. Setelah mendapat penguatan kapasitas, petani kecil kini mulai mengetahui dampak kegiatan pertanian yang salah, seperti kelebihan pupuk, dan semakin memahami aspek pengelolaan sawit berkelanjutan lainnya.
Konsumen produk sawit dari beberapa negara di Eropa ataupun Amerika juga cenderung beralih ke sawit berkelanjutan. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap isu lingkungan.
”Para petani kini menggunakan pupuk dengan dosis yang lebih tepat dan pemakaian herbisida yang lebih baik. Pupuk dan herbisida ini adalah komponen keberlanjutan yang langsung berdampak terhadap mata pencarian masyarakat dan iklim,” ucapnya.
Berdasarkan kegiatan tersebut disimpulkan bahwa peningkatan kapasitas petani, seperti melalui sekolah lapang, dapat menurunkan penggunaan pupuk. Dari hasil analisis, berkurangnya penggunaan pupuk juga berkontribusi menurunkan emisi sebesar 294 kilogram setara karbon dioksida per hektar per tahun.
Suria menegaskan, mengingat pentingnya peran petani kecil ini, diperlukan strategi dalam meningkatkan kapasitas menuju keberlanjutan sawit rakyat. Salah satu strategi tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat keorganisasian, yakni koperasi petani pekebun, sebagai wadah mewujudkan digitalisasi serta pembuatan sekolah lapang dan RTRDes.
Selain itu, perlu juga meningkatkan peran dinas terkait di kabupaten untuk legalisasi RTRDes dan fasilitator. Di sisi lain, perkebunan swasta dan bank juga bisa berperan dalam mendukung petani kecil dengan meningkatkan mekanisme intensif.
PenelitiPusat Penelitian Kehutanan Internasional (Cifor), Dyah Puspitaloka, menuturkan, hasil studi pemetaan aktor yang dilakukan Cifor juga menunjukkan, petani merupakan pihak yang paling sering disinggung dalam pengelolaan sawit. Namun, baik petani independen maupun plasma merupakan kelompok pelaku paling lemah dan tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mengontrol perdagangan serta penetapan harga.
”Studi pemetaan aktor dalam pengelolaan sawit ini dilakukan untuk mengetahui pihak yang paling lemah sehingga perlu diberdayakan. Sementara untuk aktor yang sudah memiliki kekuatan tinggal diberikan advokasi,” katanya.
Komitmen korporasi
Country DirectorCifor Herry Purnomo menyatakan, implementasi sawit berkelanjutan fokus terhadap aspek tenaga kerja dan tidak ada deforestasi. Hasil penelitian menunjukkan, komitmen sektor privat untuk mengimplementasikan sawit berkelanjutan cukup signifikan dalam mengurangi deforestasi.
”Meski kecenderungannya semakin menurun, kegiatan sawit kita sebagian masih berasal dari deforestasi. Pada tahun 1980-an, sekitar 70 persen lahan sawit dari hutan dan sekarang menjadi 20 persen. Namun, tata kelola ini masih harus ada perbaikan,” tuturnya.
Menurut Herry, saat ini konsumen produk sawit dari beberapa negara di Eropa ataupun Amerika juga cenderung beralih ke sawit berkelanjutan. Hal ini tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran masyarakat dunia terhadap isu lingkungan.
Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) Agus Purnomo mengakui bahwa tantangan terbesar implementasi pengelolaan sawit berkelanjutan ialah terbatasnya gotong royong (shared responsibility) setiap pelaku kegiatan sawit. Kondisi ini merupakan salah satu penyebab progres pengelolaan sawit berkelanjutan cenderung lambat.
Agus menekankan, selama ini beban peningkatan pengelolaan sawit berkelanjutan hanya ditanggung petani rakyat dan perusahaan perkebunan sawit. Sebaliknya, pihak lainnya, seperti konsumen, pedagang, dan pabrik pengguna produk sawit, hanya menuntut, tetapi enggan berbagi beban pengelolaan berkelanjutan.
”Pasar yang serius menuntut produk sawit berkelanjutan hanya di Eropa, sedangkan Amerika dan Jepang masih terbatas serta pasar di Asia tidak ada permintaan. Ini ditunjukkan dari sertifikat RSPO (sawit berkelanjutan) hanya 19 persen dari keseluruhan produk sawit dunia,” ungkapnya.
Aspek dinamika global yang terjadi saat ini, menurut Agus, perlu menjadi momentum untuk meningkatkan shared responsibility semua pihak dalam pengelolaan sawit berkelanjutan. Sebagai negara produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia dapat menjadi contoh karena telah melakukan penguatan sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO) hingga menetapkan kebijakan moratorium pembukaan kebun sawit baru dan pelestarian gambut.