Sawit Berkelanjutan Bermanfaat bagi Lingkungan dan Ekonomi
Sejak pengelolaan sawit berkelanjutan mulai banyak diterapkan pada 2015 sampai saat ini, angka deforestasi mengalami penurunan dari 734.000 hektar per tahun menjadi 339.000 hektar per tahun.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan oleh korporasi tidak hanya dapat bermanfaat bagi lingkungan dan kehutanan, tetapi juga ekonomi. Produktivitas perkebunan sawit akan meningkat karena korporasi mencegah terjadinya konflik dengan berkolaborasi dan menghormati hak-hak masyarakat lokal.
Deputy Director of Technical Operations Daemeter Consulting Sahat Aritonang mengemukakan, aspek keberlanjutan dalam industri kelapa sawit memiliki sejumlah fokus penilaian. Penilaian tersebut di antaranya setiap kegiatan harus bebas dari eksploitasi dan deforestasi serta menjaga atau memproteksi lahan gambut.
”Aspek sosial khususnya hak asasi manusia juga banyak disoroti oleh sejumlah lembaga. Jadi, setiap konversi lahan atau pembangunan perlu memastikan hak-hak masyarakat lokal khususnya masyarakat adat dapat terpenuhi dan dihormati,” ujarnya dalam diskusi media tentang pengelolaan sawit berkelanjutan di Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Selain bebas eksploitasi dan deforestasi, kata Sahat, terdapat juga sejumlah unsur yang tidak terpisah dari prinsip sawit keberlanjutan. Unsur-unsur tersebut mulai dari pengelolaan air, pengelolaan limbah bahan kimia, keselamatan dan kesehatan kerja, penanganan gas rumah kaca, hingga manajemen rantai pasok.
Penerapan sawit berkelanjutan dapat disebut berhasil bila semua pihak termasuk masyarakat lokal mengetahui dan menjalankan strategi konservasi tersebut.
Berdasarkan hasil kajian Daemeter, pengelolaan sawit berkelanjutan oleh korporasi bermanfaat bagi lingkungan atau kehutanan. Sejak pengelolaan sawit berkelanjutan mulai banyak diterapkan pada 2015 sampai saat ini, Daemeter mencatat angka deforestasi mengalami penurunan dari 734.000 hektar per tahun menjadi 339.000 hektar per tahun.
”Dari segi ekonomi, produksi CPO (minyak kelapa sawit) per tahun di Indonesia sejak 2015 meningkat. Ini hal yang sangat positif karena kita menjaga lingkungan dan menghormati hak-hak masyarakat lokal. Korporasi juga berkolaborasi bersama mereka sehingga konflik tidak terjadi dan intensifikasi benar-benar dilakukan,” tuturnya.
Selama mengerjakan banyak studi di bidang sawit, Sahat memandang saat ini banyak terjadi perubahan cukup signifikan dalam penerapan sawit berkelanjutan. Dulu, korporasi dinilai hanya fokus membuka lahan seluas-luasnya. Saat ini, pola pikir korporasi adalah menjamin produknya tidak berisiko lingkungan dan sosial.
Salah satu korporasi yang berkomitmen menjalankan kegiatan sawit secara berkelanjutan ialah PT Triputra Agro Persada (TAPG). Sebagai bentuk komitmen, pada 2014 TAPG menerima sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) danIndonesia Sustainable Palm Oil(ISPO). Pabrik kelapa sawit milik TAPG juga mendapat sertifikat Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper).
Corporate Secreatry TAPG Joni Tjeng menyatakan, dalam menjalankan kegiatan usahanya, TAPG memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan dan mendekatkan kualitas hidup dari masyarakat. TAPG juga selalu berpegang pada prinsip 3P, yakni people (masyarakat), planet, dan profit (keuntungan).
”Komitmen kami dalam keberlanjutan perseroan ini ditunjukkan dengan menerapkan manajemen lingkungan dan sosial, tata kelola perusahaan, serta rantai pasok. Kami juga memiliki divisi khusus untuk memastikan kegiatan operasional mengikuti praktik keberlanjutan yang berlaku di level nasional maupun internasional,” ucapnya.
Terkait dengan komitmen bebas deforestasi, hal ini ditunjukkan TAPG dengan tidak melakukan pengembangan di areal yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCV) dan stok karbon tinggi (HCS). Berdasarkan kajian pada 2014, Hutan Mayong Merapun di Berau, Kalimantan Timur, yang masuk lahan konsesi TAPG ditetapkan sebagai wilayah HCV karena menjadi habitat orangutan dan berbagai spesies penting flora dan fauna lainnya.
Keanekaragaman hayati di Hutan Mayong Merapun yang telah teridentifikasi meliputi 19 jenis mamalia, 92 jenis burung, 33 jenis binatang melata atau berpetofauna, 29 jenis kupu-kupu, dan 16 jenis capung. Lebih dari 150 jenis pohon juga telah diberikan penanda dan beberapa di antaranya masuk daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN Red List), seperti pohon jangkang, meranti merah, dan balau.
Dukungan regulasi
Koordinator Peneliti Ecology and Conservation Center for Tropical Studies (Ecositrop) Yaya Rayadin mengatakan, penerapan konservasi dalam setiap kegiatan sawit harus didukung dengan regulasi. Tidak adanya regulasi membuat korporasi kerap terbebani karena mereka juga sudah diwajibkan membangun kebun sawit plasma.
”Model konservasi yang seharusnya dibangun dalam kegiatan sawit itu bukan dari luasnya, tetapi bagaimana pengelolaannya. Namun, pertanggungjawaban pengelolaan ini tidak ada tuntutan dari pemerintah karena belum ada regulasi,” katanya.
Yaya menyebut bahwa Hutan Mayong Merapun dapat menjadi contoh strategi konservasi di lahan konsesi sawit. Hal ini karena strategi konservasi tersebut tidak hanya menekankan terkait perlindungan biodiversitas, tetapi juga mengurangi konflik satwa liar khususnya orangutan dengan kegiatan sawit. Setelah dilakukan sejumlah intervensi, kini sudah tidak ada lagi konflik orangutan di Hutan Mayong Merapun.
Selain itu, penerapan sawit berkelanjutan dapat disebut berhasil apabila semua pihak termasuk masyarakat lokal mengetahui dan menjalankan strategi konservasi tersebut. Ini dinilai menjadi aspek tersulit karena tidak semua pekebun atau orang-orang dari berbagai latar belakang lainnya mengetahui kaidah-kaidah konservasi.
”Upaya melindungi kawasan bernilai konservasi tinggi ini ialah dengan cara tidak menanam apa pun. Jadi, selama tidak mengganggu fungsi kawasan konservasi tersebut, kegiatan seperti memanen buah dari pohon yang tumbuh alami tetap diperbolehkan,” ucapnya.