Korupsi, penghindaran pajak, hingga manipulasi data perdagangan merupakan persoalan yang membuat tata kelola sawit di Indonesia buruk. Pekerjaan rumah ini perlu dituntaskan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tata kelola sawit di Indonesia yang masih buruk ditunjukkan dari belum tuntasnya persoalan korupsi, penghindaran pajak, hingga manipulasi data perdagangan. Upaya membenahi tata kelola sawit salah satunya perlu dilakukan dengan perbaikan sistem informasi komoditas sawit yang terintegrasi dan transparan.
Peneliti Transparency International Indonesia Bellicia Angellica mengemukakan, kelapa sawit masih menjadi komoditas utama Indonesia karena ambisi pemerintah untuk menjadi produsen terbesar di dunia. Ambisi ini bahkan dipandang hampir berhasil karena pada 2021, Indonesia mengekspor 34 juta ton produk kelapa sawit ke berbagai negara.
Transparency International Indonesia mencatat, produksi sawit setiap tahun juga memiliki tren peningkatan yang signifikan. Pada 2008, produksi sawit tercatat 19,4 juta ton dan meningkat menjadi 48,3 juta ton pada 2020. Produksi ini sebagian besar untuk ekspor.
Perbaikan tata kelola sawit tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga politis.
”Angka ini sangat tinggi, padahal dunia masih dalam kondisi pandemi. Ambisi ini juga membuat banyak pengusaha beralih ke sawit dan mengakibatkan ekspansi masif tidak hanya dari sisi ekologis, tetapi juga sosial dan budaya,” ujarnya dalam diskusi daring tentang tata kelola sawit di Indonesia, Selasa (11/1/2022).
Menurut Bellicia, banyak pihak dihadapkan pada dilema tentang sawit yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, sawit mendatangkan pendapatan negara yang sangat tinggi. Namun di sisi lain, kondisi ekonomi politik di Indonesia juga belum mendukung dalam mengoptimalkan sawit. Pada akhirnya, dampak lingkungan dan sosial dari sawit juga belum sepenuhnya dapat teratasi.
Meski demikian, banyak fakta menunjukkan tata kelola sawit di Indonesia masih buruk dengan berbagai persoalan. Persoalan yang pertama adalah korupsi akibat belum adanya desain tata kelola sawit yang terintegrasi antara kementerian/lembaga terkait dengan pemerintah provinsi dan daerah setempat.
”Tidak adanya desain tata kelola sawit yang terintegrasi membuat sawit menjadi lahan basah untuk melakukan korupsi dari sisi perizinan. Penetapan perusahaan sebagai tersangka tindak pidana korupsi juga mengindikasikan bahwa suap dilakukan demi kepentingan korporasi,” tuturnya.
Persoalan kedua tentang buruknya tata kelola sawit di Indonesia yaitu berkaitan dengan penghindaran pajak. Hasil studi menunjukkan, potensi penerimaan negara rata-rata hilang Rp 22,83 triliun per tahun akibat dugaan penghindaran, penggelapan, dan manipulasi pajak oleh pengusaha yang tidak melaporkan luasan lahan kebunnya.
Di sisi lain, Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit yang dilakukan KPK pada tahun 2016 mengungkapkan tingkat kepatuhan wajib pajak badan usaha sawit turun dari 70,6 persen (2011) menjadi 42,3 persen (2015). Masih pada periode yang sama, tingkat kepatuhan wajib pajak perseorangan turun drastis dari 42,3 persen menjadi 6,3 persen. Ini menyebabkan tidak terpungutnya potensi pajak yang diterjemahkan sebagai potensi kehilangan penerimaan negara.
Bahkan, kata Bellicia, banyak pengusaha yang mengendalikan perusahaannya di negara suaka pajak. Adapun temuan studi dari Koalisi Moratorium Sawit, terdapat ketidakselarasan antara luas perkebunan sawit, tutupan sawit, dan jumlah pemilik hak guna usaha (HGU).
Sementara persoalan ketiga, tata kelola sawit di Indonesia masih menghadapi manipulasi data perdagangan. Banyak pihak menyebut kelapa sawit sebagai komoditas yang diindikasikan marak terjadi praktik kebocoran perdagangan melalui manipulasi pelaporan nilai ekspor. Adanya manipulasi ini membuat nilai barang yang dieskpor menjadi lebih kecil dan berdampak pada pungutan ekspor yang diterima Pemerintah Indonesia.
”Berdasarkan temuan kami, tahun 2019 nilai ekspor yang dilaporkan Indonesia sebesar 5,8 juta dollar AS, sedangkan nilai impor yang dilaporkan China 8,2 juta dollar AS. Ini kembali terulang pada 2020 di mana nilai ekspor yang dilaporkan Indonesia sebesar 1,9 juta dollar AS, sedangkan nilai impor yang dilaporkan China 2,3 juta dollar AS,” ucapnya.
Guna membenahi tata kelola sawit di Indonesia ini, Bellicia merekomendasikan pemerintah untuk membuat kebijakan yang mengatur transparansi antara pengampu kepentingan khususnya dalam pengawasan dan penegakan hukum terkait korupsi serta penghindaran pajak. Selain itu, perlu keterbukaan informasi kepada publik dan perbaikan sistem informasi komoditas sawit yang terintegrasi serta transparan.
”Perbaikan sistem informasi komoditas sawit sekaligus aturannya sebenarnya sudah ada. Akan tetapi, implementasi dan penegakannya masih sangat perlu dibenahi serta diawasi. Bahkan, proyek percontohan sistem informasi ini masih mengalami kendala,” tambahnya.
Direktur PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART)/Golden Agri Resources (GAR) Agus Purnomo mengatakan, dari berbagai tuduhan buruk terhadap perusahaan sawit, masih ada perusahaan yang berusaha menjalankan usahanya sesuai aturan dan lebih berkelanjutan. Kinerja perusahaan juga dapat dibuktikan melalui audit atau pemeriksaan keuangan secara rutin setiap tahun.
”Setiap tahun, kebun-kebun sawit kami diperiksa lebih dari 450 audit, termasuk terkait sertifikasi dari pemerintah. Jadi, sangat bisa mewujudkan tata kelola yang baik dan adil jika perusahaan sawit memiliki niat untuk lebih berkelanjutan,” katanya.
Sengketa lahan
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo mengatakan, permasalahan lainnya tentang tata kelola sawit di Indonesia adalah tumpang tindih dan sengketa lahan. Berdasarkan data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dalam lima tahun terakhir terdapat peningkatan 30 persen aduan berupa konflik agraria.
Menurut Hariadi, aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di sektor kehutanan dan perkebunan sebenarnya telah menetapkan solusi bagi perizinan sawit yang tumpang tindih dengan kawasan lainnya. Namun, putusan Mahkamah Konstitusi tentang perbaikan UU Cipta Kerja membuat implementasi penyelesaian tumpang tindih kawasan tersebut menjadi tidak jelas.
”Seluruh rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola sawit ini perlu sebuah alat paksa berupa jaringan atau terobosan melalui aspek tertentu. Perbaikan tata kelola sawit tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga politis,” ungkapnya.