Dampak Cahaya Buatan pada Atraksi ”Glow” Tergolong Rendah
Hasil kajian sementara atraksi ”Glow” di Kebun Raya Bogor menunjukkan, intensitas cahaya tergolong sangat rendah untuk menimbulkan dampak negatif ke tanaman. Kesimpulan atraksi ini menunggu kajian tahap selanjutnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Kajian tahap pertama dampak atraksi malam ”Glow” di Kebun Raya Bogor telah selesai dilakukan. Hasil sementara menunjukkan, intensitas cahaya Glow tergolong sangat rendah untuk menimbulkan dampak negatif ke tanaman.
General Manager Corporate Communication and Security PT Mitra Natuna Raya(MNR) Zaenal Arifin menyampaikan, kajian tahap pertama terkait dampak atraksi malam Glow di Kebun Raya Bogor (KRB) telah dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) selama periode Januari-Juni 2022.
”Hasil kajian sementara dari BRIN tidak ditemukan adanya pemicu aktivitas fotosintesis di malam hari. Saat ini, BRIN sedang menyelesaikan riset tahap kedua yang berlangsung sejak Agustus hingga Desember 2022,” ujarnya di Bogor, Sabtu (27/8/2022).
Sebagai pihak swasta pengelola KRB, Zaenal menyebut bahwa PT MNR akan membuka atraksi Glow untuk umum setelah proses kajian tahap ketiga selesai dilakukan. Saat ini, atraksi Glow dibuka secara terbatas pada Jumat hingga Minggu karena menjadi bagian dari kajian tahap kedua yang fokus melihat dampak dari aktivitas pengunjung.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam keterangan tertulisnya menjelaskan, hasil riset tahap pertama menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan dari cahaya buatan dari program Glow terhadap pohon-pohon di KRB. Lampu-lampu yang menghiasi lima taman yang masuk dalam program Glow juga memiliki tingkat pencahayaan yang rendah.
Atraksi Glow hanya mengambil area sekitar 3 persen dari total luas KBR Bogor yang mencapai 87 hektar. Lokasi atraksi juga jauh dari cagar budaya dan situs-situs di KRB yang tidak boleh digunakan untuk aktivitas publik.
Glow menempati area kebun nonkoleksi sehingga berbagai tanaman koleksi yang menjadi rujukan untuk penelitian maupun pelestarian tetap terlindungi. Selain itu, program ini tidak mengganggu berbagai situs yang berada di KRB seperti kompleks pemakaman keramat dari keluarga Kerajaan Pajajaran Ratu Galuh Mangku Alam Prabu Siliwangi.
Menurut Handoko, program Glow yang dikembangkan di KRB memiliki nilai edukasi yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan metode komunikasi yang adaptif dengan perkembangan zaman, BRIN berharap KRB dapat menjadi tujuan dan rujukan bagi generasi muda untuk berwisata sekaligus memahami nilai-nilai konservasi.
Handoko menekankan bahwa setiap program yang akan dilaksanakan di seluruh kebun raya di Indonesia, termasuk atraksi Glow sudah melalui pertimbangan, kajian, dan persetujuan dari BRIN. Namun, BRIN juga tetap fokus menjalankan lima fungsi kebun raya yakni konservasi, penelitian, edukasi, wisata, dan jasa lingkungan.
”Kami memiliki komitmen yang sama dengan masyarakat bahwa KRB merupakan aset bangsa yang harus selalu dijaga dan dioptimalkan. Oleh karena itu, terobosan dan inovasi harus terus dilakukan tanpa meninggalkan akar budaya yang ada,” tegas Handoko.
Atraksi serupa
Wisata edukasi malam di kebun raya tidak hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga negara lain. Kebun raya di dunia yang memiliki program serupa adalah Desert Botanical Garden (Phoenix, Arizona, Amerika Serikat), Singapore Botanic Gardens (Singapura), Fairchild Tropical Botanic Garden (Miami, Florida, AS), Atlanta Botanical Garden (Atlanta, Georgia, AS), dan Botanical Garden Berlin (Jerman).
Meski demikian, khusus untuk atraksi Glow, kehadiran sarana ini juga disesuaikan dengan kearifan budaya lokal sehingga semakin memperkaya informasi bagi para pengunjung.
Dalam atraksi Glow di KRB, pengunjung dapat menelusuri Taman Pandan, Taman Meksiko, Taman Akuatik, Lorong Waktu, Taman Astrid, dan Ecodome. Area di Taman Astrid menceritakan tentang sejarah terbentuknya KRB hingga menjadi wilayah konservasi dan pusat penelitian alami yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu botani dan farmasi.
Sebelumnya, atraksi Glow sudah direncanakan dibuka untuk umum sejak tahun lalu. Namun, berbagai pihak mulai dari peneliti, akademisi, hingga budayawan lokal menyoroti atraksi ini karena dianggap dapat memberikan dampak negatif bagi kelestarian tanaman koleksi di KRB.