HUT Ke-47 Senawangi dirayakan secara khusus dengan pementasan lakon wayang lintas media bertajuk ”Rasa Rupa Bhisma”.
Oleh
NINOK LEKSONO
·2 menit baca
Merayakan hari ulang tahun tanpa perhelatan tiada lengkap rasanya. Demikian pula yang dirasakan oleh Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia atau Senawangi saat merayakan HUT ke-47. Sebuah lakon pun diangkat, yakni tentang perjalanan hidup Dewabrata, yang kemudian dikenal sebagai Resi Bhisma yang bermukim di Talkanda.
Lakon wayang lintas media bertajuk ”Rasa Rupa Bhisma” ini dipentaskan di Teater Wayang Indonesia, Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Minggu (21/8/2022) petang.
Bhisma muda, atau Dewabrata, diperankan oleh Achmad Dipoyono dan Bhisma Resi oleh Djarot Budi Darsono. Anak Prabu Sentanu dan Dewi Gangga ini di satu sisi mengambil sikap bakti kepada orangtua, tetapi di sisi lain juga menyemai keluarga yang bermusuhan.
Sentanu jatuh cinta kepada Durgandini yang bertekad agar keturunannyalah yang berhak atas takhta Hastina, bukan Bhisma, dan Bhisma pun melepas haknya atas takhta. Lalu kalau Durgandini khawatir bahwa keturunan Bhisma akan mengeklaim takhta, Bhisma pun bersumpah bahwa ia akan hidup wadat alias tidak menikah.
Dari sinilah muncul masalah karena dalam sayembara memperebutkan putri Kasipura, Amba, Ambika, dan Ambalika, Dewabrata yang datang terlambat masih diberi kesempatan oleh pemenang, yakni Prabu Salwa. Salwa kemudian dikalahkan oleh Dewabrata. Amba yang jatuh hati kepada sang pemenang ditolak cintanya oleh Dewabrata yang sudah berjanji tidak akan menikah. Amba pun pergi membawa lara, di mana air matanya berubah jadi bunga yang kelak akan ia berikan kepada Srikandi, putri Pancala, istri Arjuna yang ditakdirkan untuk menaklukkan Bhisma di perang Bharatayuda.
Lakon dan pesan wayang yang melibatkan audiovisual dan bahkan komik, juga didukung pemain wayang senior seperti Agus Prasetyo dan Ali Marsudi ini bagus, tetapi penggarapan alur cerita perlu diberi catatan. Ringkasnya kurang fokus. Ada banyak adegan samping yang berkepanjangan, seperti polah Kurawa, bahkan Bharatayuda, juga Bima tayungan (menari atas kemenangan). Bhisma yang diperankan Djarot hanya tampil minimalis.
Inilah wayang dengan lakon yang justru jadi latar belakang. Padahal, jika mau, masih banyak momen dan episode di mana integritas Bhisma dipertanyakan, seperti saat Drupadi dipermalukan di bangsal Hastina dan Bhisma diam saja. Atau saat semua Pandawa menolak jadi senapati ketika tahu bahwa Bhisma akan menjadi senapati Hastina.
Namun, syukurlah Senawangi tetap menghidup-hidupkan wayang yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Dengan penayangan secara berkala, hasrat Indonesia untuk menjadi rumah wayang dunia bukan sekadar keinginan, tetapi memang di sinilah wayang hidup dinamis.