Eks Lokasi Pembangunan PLTA Tampur di KEL Rawan Gempa
Pembangunan PLTA dalam KEL akan mengganggu ekosistem, mengancam habitat satwa lindung, dan berpotensi bencana. Putusan MA telah ”inkracht”, pembangunan tidak boleh dilanjutkan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Pembatalan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I di Kabupaten Gayo Lues dinilai tepat. Selain berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) lokasi itu berada di atas sesar aktif sehingga sangat rawan gempa bumi.
Dosen Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Nazli Ismail, dalam semiloka mengawal putusan Mahkamah Agung gugatan IPPKH PLTA Tampur 1, Rabu (24/8/2022), menuturkan, lokasi pembangunan tepat berada di atas sesar sumatera aktif.
Semiloka itu digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh dan Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA).
Bila dipaksakan membangun, Nazli khawatir dapat memicu bencana. Menurut Nazli, dengan jumlah genangan air 4 juta meter kubik, potensi penyerapan air ke tanah semakin besar sehingga juga memicu pelunakan batuan di dalam tanah.
”Dengan tinggi bendungan mencapai 200 meter dan air yang ditampung 4 juta meter kubik, jika bendungan pecah, Aceh Tamiang dan Aceh Timur tenggelam,” katanya.
Oleh sebab itu, Nazli mengapresiasi putusan Mahkamah Agung membatalkan IPPKH. Pada 2017, Gubernur Aceh mengeluarkan IPPKH seluas 4,407 hektar untuk PT Kamirzu pelaksana pembangunan PLTA Tampur 1 dengan kapasitas 443 megawatt.
Pembangunan PLTA dalam KEL akan mengganggu ekosistem, mengancam habitat satwa lindung, dan berpotensi bencana.
Namun, Walhi Aceh menggugat penerbitan IPPKH itu karena lokasi berada dalam KEL, rawan bencana, dan gubernur dinilai tidak berwenang mengeluarkan izin.
Setelah rangkaian sidang mulai dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh, banding ke ke PT TUN Medan, hingga berakhir ke Mahkamah Agung.
Pada 19 Agustus 2021, MA mengeluarkan putusan pembatalan izin tersebut. Dengan demikian, rencana pembangunan PLTA Tampur 1 tidak dapat dilanjutkan.
Izin baru
Meski demikian, para pihak khawatir pembangunan PLTA Tampur 1 akan dilanjutkan dengan pengajuan izin baru. Saat proses gugatan, pembangunan sedang berjalan. Peralatan pembangunan disebut masih berada di lokasi itu.
Direktur Walhi Aceh Ahmad Shalihin menuturkan, meski nantinya akan ada pengajuan izin baru, rencana pembangunan PLTA tersebut harus tetap ditolak. Sebab, lokasi pembangunan berada dalam hutan lindung KEL sehingga berpotensi musnahnya ribuan pohon dan rawan bencana gempa.
”Pembangunan PLTA dalam KEL akan mengganggu ekosistem, mengancam habitat satwa lindung, dan berpotensi bencana. Jadi, meski putusan MA telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap, pembangunan tidak boleh dilanjutkan,” kata Shalihin.
Oleh karena itu, Shalihin mengajak para pihak untuk mengawal putusan MA tersebut guna memastikan lokasi KEL itu tetap menjadi kawasan lindung.
Pengurus Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Effendi Isma mengatakan, potensi energi terbarukan di lokasi rencana PLTA Tampur harus dihapus dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh agar tidak lagi menjadi bahan pemasaran untuk investasi.
KEL merupakan satu-satunya ekosistem di dunia yang menjadi habitat empat spesies kunci di Indonesia, yaitu badak, harimau, gajah, dan orangutan. Pembangunan PLTA akan mengancam populasi dari hewan yang dilindungi tersebut.