Revisi Perda Tata Ruang Aceh Diperlukan untuk Lindungi Kawasan Leuser
Kawasan Ekosistem Leuser harus dikelola sesuai fungsi kawasan dengan semangat konservasi. Kerusakan dapat memicu konflik satwa, mengganggu sumber air tanah, dan memicu bencana alam.
Oleh
ZULKARNAINI
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh mendorong Pemerintah Provinsi Aceh merevisi Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh 2013-2033. Revisi dianggap penting untuk melindungi Kawasan Ekosistem Leuser dari dampak pembangunan.
Direktur Walhi Aceh Muhammad Nur, dalam diskusi terbatas, Selasa (31/8/2021), menuturkan, dalam peraturan daerah (perda) atau Qanun RTRW Aceh tidak disebutkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Padahal, KEL adalah kawasan strategis nasional yang harus dilindungi.
Menurut Nur, penataan KEL perlu diatur sehingga pemanfaatan sesuai dengan fungsinya. KEL terdiri dari hutan lindung, konservasi, hutan produksi, dan area budidaya. Pemanfaatan ruang yang keliru, lanjutnya, dapat memicu kerusakan hutan, konflik satwa, dan bencana alam.
Nur mencontohkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di dalam KEL di Gayo Lues dan Aceh Timur yang berdampak buruk pada hutan dan habitat satwa. Selain itu, juga rawan bencana karena berada di jalur patahan Sumatera. Walhi Aceh menggugat izin pembangunan dan pengadilan mengabulkan gugatan tersebut sehingga rencana pembangunan PLTA dibatalkan.
Nur menuturkan, rencana izin pertambangan dalam kawasan juga harus dikaji secara mendalam dan komprehensif. Walhi Aceh dan warga pernah menolak rencana tambang di hutan lindung Nagan Raya dan Aceh Tengah. ”Investasi di dalam kawasan sangat berisiko, apalagi sampai mengubah bentang alam. Seharusnya investasi ramah pada lingkungan,” ujarnya.
Nur khawatir, saat rezim pemerintahan provinsi berganti, izin-izin serupa dalam KEL akan dikeluarkan kembali. Oleh sebab itu, perlu penegasan dalam regulasi daerah tentang pembatasan pemanfaatan KEL.
Nur menambahkan, kerusakan hutan dalam KEL semakin masif dan terkesan ada pembiaran. Dampaknya, konflik satwa juga tinggi. Satwa lindung seperti gajah sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatera terusir dari habitat dan mati karena diburu.
Dia pun meminta kepada Pemprov Aceh untuk memanfaatkan KEL sesuai fungsi, jangan semua dijadikan area investasi. KEL bukan hanya milik Aceh, melainkan juga dunia. Oleh sebab itu, KEL harus dijaga dari kerusakan. ”Pembangunan infrastruktur dalam KEL akan membuat kekayaan flora fauna itu terancam,” ujar Nur.
Kepala Bidang Tata Ruang dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Aceh Mohammad Iqbal Bharata mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengkaji rencana revisi Qanun RTRW Aceh 2013-2033.
Iqbal menuturkan, Pemprov Aceh memiliki waktu 18 bulan untuk merevisi Qanun RTRW Aceh. Dia menyebutkan, isu KEL dan laut akan dibahas dalam revisi tersebut. Tahun ini mereka akan mengumpulkan data dan menganalisis.
”Dokumen yang disiapkan harus sangat matang dan disusun dengan baik sehingga menjadi revisi yang bagus dan cukup sempurna,” ujar Iqbal.