Data Genomik Manusia Indonesia untuk Pemetaan Budaya dan Pengobatan Presisi
Data genetika populasi yang selama belasan tahun dikumpulkan para peneliti LBM Eijkman berperan penting dalam berbagai studi untuk mengetahui asal-usul, budaya, sebaran penyakit, hingga pengobatan presisi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Meskipun jumlah penduduk di Indonesia terbesar keempat di dunia dan memiliki keragaman etnis serta genetik yang sangat tinggi, karakterisasi genom kita tertinggal jauh dibandingkan negara lain di dunia. Padahal, data genom ini memiliki peran sangat penting dalam berbagai studi untuk mengetahui asal-usul manusia, budaya, sebaran penyakit, hingga dasar bagi pengobatan presisi.
Pengambilan sampel genetik sejumlah suku di Indonesia yang dilakukan oleh para peneliti Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman selama belasan tahun terakhir berperan sangat penting dalam berbagai studi genom modern.
Sejumlah temuan dan peluang studi ke depan terkait genetika manusia Indonesia dipaparkan para peneliti eks LBM Eijkman, yang sekarang bergabung dengan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) dan para kolaborator ahli dari sejumlah negara dalam seminar bertema ”Indonesian Diversity: Multiomics, Culture, and Adaptation” di Kabupaten Tangerang, Banten, Senin (22/8/2022).
Herawati Supolo-Sudoyo, peneliti utama MRIN, mengatakan, selama di LBM Eijkman, timnya sudah mengumpulkan dan meneliti 3.500 sampel genetik dari sekitar 100 komunitas di Indonesia. Sebanyak 200 di antaranya berupa data genom lengkap (whole genome sequencing) dan 500 genome wide data. Data ini berkontribusi dalam penyusunan Genome Asia 100K Consortium.
”Sampel kami kumpulkan dari Sumatera sampai Papua. Selain data genetik, kami juga mengumpulkan data terkait bahasa, budaya, dan data-data klinis,” kata Herawati, yang sebelumnya mengepalai Laboratorium Genetika Populasi LBM Eijkman.
Sekalipun LBM Eijkman telah tiada setelah dilebur ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menurut Herawati, para peneliti di grupnya akan terus mengumpulkan dan meneliti genetika populasi di Indonesia.
”Grup (peneliti) masih bekerja, tidak penting kami di mana. Dukungan masih ada, terutama dari para kolaborator. Kami harus melanjutkan kerja-kerja saintifik terkait genomik karena hal itu sangat dibutuhkan untuk masa depan Indonesia,” kata Herawati, yang juga Ketua Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) ini.
Genetik dan budaya
Stephen Lansing, profesor antropologi dan ahli bahasa dari Santa Fe Institute, memaparkan hasil kajiannya bersama tim Herawati mengenai kaitan genetika dan bahasa di Pulau Sumba dan Pulau Timor.
Dengan membandingkan filogeni gen dan bahasa, Lansing mengidentifikasi sumber asosiasi gen dan bahasa. Dalam masyarakat suku tradisional, adat perkawinan menyalurkan transmisi bahasa. Anak-anak belajar bahasa ibu mereka sehingga bahasa berkorelasi dengan DNA mitokondria yang diturunkan dari ibu.
Sampel kami kumpulkan dari Sumatera sampai Papua. Selain data genetik, kami juga mengumpulkan data terkait bahasa, budaya, dan data-data klinis.
Namun, untuk praktik kekerabatan yang berlawanan (patrilokalitas), bahasa malah berkorelasi dengan kromosom Y yang diturunkan dari pihak ayah. Aturan kekerabatan yang mendikte tempat tinggal setelah nikah dapat bertahan selama beberapa generasi dan menentukan struktur genetik populasi pada skala komunitas.
Asosiasi jangka panjang bahasa dengan kelompok genetik yang diciptakan oleh sistem kekerabatan memberikan informasi tentang transmisi bahasa dan tentang struktur dan kegigihan kelompok sosial.
Sementara itu, Guy S Jacob dari Universitas Cambridge memaparkan keterkaitan antara sejarah demografis, jejaring sosial, dan genom di Indonesia berdasarkan serangkaian studinya bersama Herawati dan tim. Dalam salah satu studinya, Guy menunjukkan, individu di Papua memiliki jejak pembauran dengan DNA kuno, Denisovan, sekitar 30.000 tahun lalu. Bauran DNA Denisovan ini berasosiasi dengan adaptasi terhadap lingkungan dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.
Genetika dan kesehatan
Safarina G Malik, peneliti MRIN, menyampaikan paparan mengenai penyakit gaya hidup dan nutrigenomik yang menunjukkan adanya hubungan kompleks antara diet, gaya hidup, dan gen. Studinya di Punan Batu, Bali, dan sejumlah populasi lain menemukan adanya perbedaan mikrobioma pencernaan di antara populasi ini.
Bahkan, dua kelompok di Bali, yaitu masyarakat Denpasar yang sudah urban dan Pedawa yang masih rural, memiliki perbedaan komposisi mikrobioma pencernaan. ”Hanya berjarak tiga jam perjalanan, kedua komunitas memiliki komposisi mikrobioma yang berbeda, dan ini bisa memengaruhi kesehatan terkait metabolisme,” katanya.
Sementara Irene Gallego Romero dari University of Melbourne memaparkan hasil studinya terkait perbedaan pola ekspresi gen dan metilasi di tiga komunitas di Indonesia, yaitu Korowai di Papua, Mentawai di Sumatera Barat, dan Sumba di Nusa Tenggara Timur. Analisis ini dilakukan berdasarkan data genetik yang sebelumnya dikumpulkan Herawati dan tim.
Menurut Irene, perbedaan ekspresi gen yang bervariasi antar-individu dan lingkungan di Indonesia masih sangat terbatas, padahal hal ini menjadi dasar untuk keberhasilan kedokteran molekuler. Sebagian besar studi tentang ekspresi gen, terutama pada individu yang sehat, terutama melibatkan populasi keturunan Eropa. Sementara Indonesia yang memiliki populasi besar dan keragaman genetik tertinggi belum dipahami karakteristik genomiknya karena keterbatasan data.
Dengan memeriksa genom dari 116 individu di Korowai, Mentawai, dan Sumba, Irene dan tim menemukan adanya perbedaan ekspresi gen dan metilasi di antara ketiga populasi ini. Perbedaan ini menegaskan perihal adaptasi kelompok populasi ini terhadap lingkungan spesifik, termasuk terhadap berbagai penyakit endemik, misalnya malaria.