Gaya hidup baru yang berkelanjutan dibutuhkan untuk menghambat kerusakan lingkungan. Gaya hidup itu bisa diadaptasi dari kebudayaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan lingkungan menuntut manusia mengadopsi gaya hidup baru yang berkelanjutan. Hal itu bisa dicapai dengan mengadaptasi kebudayaan masyarakat dan memadukannya dengan ilmu pengetahuan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, kerusakan lingkungan hingga perubahan iklim menimbulkan sejumlah masalah lain, seperti ketersediaan pangan. Sebagian sumber pangan hilang, antara lain, akibat hilangnya hutan, praktik pertanian monokultur, dan penyeragaman pangan.
Kebijakan Revolusi Hijau oleh Pemerintah Indonesia pada 1970-an, misalnya, meminta petani menanam jenis padi yang seragam. Sejak saat itu, berbagai jenis tanaman padi hilang. Penyeragaman pangan juga menyebabkan ketersediaan sumber pangan lain menyusut. Ada 24 persen dari 4.000 spesies sumber pangan liar terancam punah (Kompas, 10/5/2019).
”Pertanyaannya adalah apa kontribusi kebudayaan untuk menjawab persoalan-persoalan ini?” kata Hilmar pada International Conference on Indonesian Culture (Iconic) 2022 secara daring. ”Pertemuan seperti Iconic sangat baik untuk mengumpulkan pandangan, bertukar gagasan, melihat, dan mengantisipasi berbagai permasalahan yang mungkin terjadi ke depan,” tambahnya.
Kebudayaan dipandang sebagai referensi untuk membangun hidup berkelanjutan. Masyarakat adat yang masih mempraktikkan kebudayaan warisan leluhur terbukti dapat bertahan dari pandemi Covid-19. Saat menutup diri dari dunia luar agar tidak tertular Covid-19, mereka bertahan dengan memanfaatkan sumber pangan di lingkungan yang mereka kelola selama ini.
Menurut Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada PM Laksono, memahami kebudayaan masyarakat dapat menekan masalah kelaparan seperti yang ia teliti di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, sejak 2018. Kelaparan umumnya terjadi di awal musim hujan sekitar Januari. Cadangan pangan masyarakat menipis untuk modal tanam, perayaan pernikahan, kematian, hingga kegiatan adat seperti pasola.
Tim peneliti lantas membuat kalender musim pada 2020. Masyarakat dapat mencatat musim kering, musim tanam, musim hujan, musim menyekolahkan anak, hingga musim acara adat di kalender. Kalender itu memungkinkan masyarakat membaca situasi dan memikirkan strategi untuk menghindari kelaparan.
Mitigasi kelaparan dilakukan dengan menyelaraskan siklus alam dan kegiatan sosial budaya masyarakat. Laksono mengatakan, secara tradisional, orang Sumba Barat Daya memiliki sistem pengelolaan pertanian, peternakan, dan rangkaian kegiatan sosial budaya. Namun, tata kelola ini umumnya dikuasai pihak tertentu seperti ketua adat.
Masyarakat diajak berkumpul, lalu berdiskusi bersama untuk menyusun strategi pencegahan kelaparan. Hal ini membuat warga menyepakati kontrak sosial baru yang berorientasi ke kedaulatan pangan.
”Kedaulatan pangan akan terjamin jika seluruh lapisan masyarakat bisa menghindari koinsidensi negatif di antara berbagai peristiwa siklikal,” ucap Laksono.
Menurut profesor di Departemen Fisika IPB University, Husin Alatas, bumi merupakan sistem kompleks yang terdiri atas beragam subsistem. Subsistem yang dimaksud mencakup ekosistem darat, laut, dan udara.
Manusia pun termasuk subsistem. Interaksi harmonis antarsubsistem menentukan keberlanjutan bumi. Namun, subsistem itu masih dimaknai sebagai sistem yang tunggal dan terpisah dari yang lain.
”Yang terpenting adalah menyadari bahwa subsistem-subsistem itu saling terhubung dan membentuk kesatuan yang utuh,” katanya.
Pendiri dan kurator di Suaveart, Taiwan, Yipei Lee, menambahkan, pemahaman soal lingkungan dapat dikomunikasikan lewat seni. Seni juga dapat menjadi sarana mempelajari praktik kehidupan berkelanjutan berbasis budaya.