Sebanyak 2.500 bayi lahir di Indonesia dengan talasemia mayor setiap tahun. Sejalan dengan meningkatnya insiden, semakin banyak pasien hidup bergantung pada transfusi darah sebagai bentuk pengobatan seumur hidup.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 2.500 bayi lahir di Indonesia dengan talasemia mayor setiap tahun, 80 persen di antaranya dalam kategori akut sehingga berisiko membutuhkan transfusi darah sepanjang hidup. Upaya pencegahan melalui pemeriksaan sejak dini calon orangtua harus jadi prioritas untuk mengurangi beban perawatan yang meningkat tajam.
”Berada di ’Sabuk Talasemia’ dunia, Indonesia merupakan hotspot untuk hemoglobinopati (penyakit genetik pada hemoglobin),” kata Pustika Amalia Wahidiyat dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Menurut Amalia, 3-10 persen populasi di Indonesia membawa b-talasemia (b-thal) dan 2,6-11,0 persen dari populasi membawa a-talasemia (a-thal). ”Diperkirakan 2.500 bayi lahir dengan b-thal mayor (b-TM) setiap tahun yang seumur hidupnya bergantung pada transfusi darah. Padahal, kelainan genetik ini sebenarnya bisa dicegah,” kata Amalia.
Situasi talasemia di Indonesia terkini, termasuk tren peningkatan beban keuangan dalam pengobatan bagi pasien, serta rekomendasi penanganannya dipublikasikan Amalia sebagai penulis pertama di jurnal Hemoglobin edisi Agustus 2022. Selain tim peneliti lain dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RS Cipto Mangunkusumo, paper ini juga ditulis Iswari Setianingsih dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Diwariskan
Menurut Amalia, kelainan genetik talasemia biasanya dihubungkan dengan populasi di Mediterania, seperti Italia dan Siprus, yang kemudian menyebar hingga ke India, China, Thailand, Melayu, dan Indonesia. ”Penyebarannya ini kemungkinan adalah migrasi nenek moyang kita dulu. Sekarang talasemia ini menyebar semakin luas, terutama karena perkawinan antarbangsa,” katanya.
Talasemia merupakan kelainan pada sel darah merah atau hemogloblin. ”Orang yang mengalami kelainan ini tidak terbentuk protein dalam hemoglobin sehingga tidak sempurna dan mudah pecah sehingga mengalami anemia atau kurang darah. Jadi, anemia sendiri penyebabnya banyak, salah satunya disebabkan talasemia ini,” katanya.
Jika anemia yang disebabkan kurang zat besi masih bisa ditambah, anemia yang disebabkan talasemia tidak bisa disembuhkan karena merupakan penyakit genetik. ”Jika seseorang mendapat gen talasemia dari kedua orangtuanya, ada kemungkinan akan mengalami talasemia mayor yang membutuhkan transfusi darah seumur hidup,” katanya.
Pembawa sifat atautalasemia minor tidak memiliki gejala sakit sehingga banyak yang tidak terdeteksi, tetapi dapat mewariskan gen talasemia kepada anak mereka. Kalaukedua orang talasemia minor menikah, kemungkinan anaknya memiliki gen talasemia mayor 25 persen, pembawa sifat 50 persen, anak normal 25 persen. ”Tetapi harus diingat, ini probabilitas dari sekian kehamilan. Bisa juga, kalau anaknya enam yang lahir, bisa keenamnya talasemia mayor,” kata Amalia.
Mengacu data Hematology Oncology Working Group Data-Indonesian Pediatric Society, pasien talasemia mayor di Indonesia pada 2019 mencapai 10.555 pasien, terbanyak ditemukan di Jawa Barat sebanyak 3.636 pasien, disusul Jakarta 2.200 orang. ”Pada tahun 2020 ada penambahan sekitar 400 pasien secara nasional,” Amalia.
Iswari mengatakan, peningkatan jumlah pasien talasemia mayor bisa disebabkan berbagai faktor, di antaranya meningkatnya populasi, data lebih bagus, penemuan kasus lebih baik, dan bisa juga karena penanganan lebih baik sehingga tertangani sampai dewasa. ”Tetapi memang pembawa sifat di Indonesia cukup banyak,” katanya.
Sejalan dengan meningkatnya insiden, semakin banyak pasien yang hidup bergantung pada transfusi darah sebagai bentuk pengobatan seumur hidup. Penghitungan yang dilakukan tim peneliti menemukan, biaya perawatan per pasien talasemia dalam setahun di RS Cipto Mangunkusumo bisa mencapai Rp 400 juta. ”Biaya ini bisa untuk screening (penapisan) 1.000 orang,” katanya.
Diperkirakan 2.500 bayi lahir dengan b-thal mayor (b-TM) setiap tahun yang seumur hidupnya bergantung pada transfusi darah. Padahal, kelainan genetik ini sebenarnya bisa dicegah.
Bisa dicegah
Sekalipun tidak bisa diobati, menurut Amalia, talasemia bisa dicegah, yaitu dengan menghindari pernikahan sesama pembawa sifat. ”Maka, screening menjadi sangat penting. Di negara-negara yang banyak talasemianya, seperti Italia dan Thailand, pemerintah mewajibkan pasangan yang mau menikah melakukan screening,” ujarnya.
Iswari juga menambahkan, pemeriksaan untuk talasemia bisa melalui beberapa langkah. Pertama melalui pemeriksaan darah biasa, yang sekarang sudah bisa dilakukan di puskesmas. ”Karena pasien mengalami gangguan hemoglobin kecenderungannya anemia, sel-selnya kecil dan agak pucat. Namun, gejala ini bisa sama dengan defisiensi besi, jadi sifat pemeriksaan darah biasa ini masih bersifat kecurigaan. Untuk memastikan, perlu analisis Hb untuk menentukan jenis hemoglobin, apakah betul talasemia, apakah beta dan alfa. Ini sekarang bisa dilakukan di level rumah sakit di kabupaten atau provinsi,” katanya.
Namun, dalam pemeriksaan pembawa sifat yang biasanya tidak memiliki gejala, menurut Amalia, perlu dilakukan penapisan skala luas sejak dini. ”Bisa dilakukan sejak anak-anak, seperti program imunisasi. Jadi, sejak awal, anak-anak tahu kalau misalnya mereka pembawa talasemia sehingga orang tua bisa menyiapkan agar nanti jiwa dewasa mencari pasangan yang tidak membawa sifat genetik ini. Jika screening dilakukan menjelang nikah, akan lebih sulit mencegahnya,” ujarnya.