Identifikasi Risiko dan Dampak Perubahan Iklim bagi Ketahanan Pangan
Presiden Joko Widodo meminta agar risiko dan dampak perubahan iklim bagi ketahanan pangan dapat diidentifikasi. Ini diperlukan untuk mendukung kebijakan dan sistem yang tangguh dalam menjamin ketahanan pangan.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN, PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim telah berdampak dan menjadi ancaman bagi sejumlah sektor, termasuk ketahanan pangan di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, risiko dan dampak perubahan iklim ini perlu diidentifikasi secara menyeluruh sehingga proses adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan dengan komprehensif.
Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo melalui video sambutan dalam acara rapat koordinasi nasional (rakornas) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dengan tema ”Peran Info BMKG dalam Mendukung Ketahanan dan Kedaulatan Pangan Nasional,” secara daring, Senin (8/8/2022). Acara rakornas ini juga dihadiri oleh sejumlah menteri.
Presiden menyampaikan, penanggulangan perubahan iklim menjadi isu prioritas dan tantangan nyata secara global setelah meredanya pandemi Covid-19. Dampak perubahan iklim ini sangat luas dan multisektoral, salah satunya, terkait dengan bencana alam dan ketahanan pangan.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan, lebih dari 500 juta petani usaha kecil yang memproduksi lebih dari 80 persen sumber pangan dunia merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga memprediksi akan ada 13 juta orang kelaparan akibat terhambatnya rantai pasok dunia karena perang Ukraina-Rusia.
”Hati-hati, ini persoalan yang sangat serius, perlu penanganan yang komprehensif, perlu antisipasi sedini mungkin, secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Dampak dari perubahan iklim ini sangat serius,” ujar Presiden.
Presiden menegaskan, perlu ada kebijakan dan sistem yang teruji serta tangguh untuk menjamin ketahanan pangan secara merata. Kebijakan juga perlu berkesinambungan dengan sistem peringatan dini ketika bencana akan terjadi. BMKG dinilai punya peran sangat strategis untuk mewujudkannya.
Peran BMKG ini khususnya terkait monitoring prediksi dan peringatan dini kondisi cuaca serta iklim ekstrem. ”Ini sangat membantu untuk perumusan strategi pencegahan dan penanggulangan. Karena itu, saya memerintahkan BMKG untuk mengidentifikasi risiko iklim dan dampaknya secara menyeluruh,” ujarnya.
BMKG juga diperintahkan untuk mengidentifikasi kegiatan adaptasi apa saja yang bisa dilakukan. Selain itu, BMKG harus meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), kapasitas peralatan untuk permodelan cuaca dan iklim yang menggabungkan informasi dari teknologi satelit, memperkuat layanan informasi BMKG, dan literasi.
Hal tersebut terutama dilakukan di wilayah pertanian dan perikanan sehingga petani dan nelayan bisa mengantisipasi terjadinya cuaca ekstrem. ”Perluas cakupan forum Sekolah Lapang Iklim dan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan sehingga bisa memberi dampak signifikan,” tambah Presiden.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati tidak menampik bahwa perubahan iklim mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Berbagai kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologi mengakibatkan kegiatan pertanian dan perikanan semakin rentan dan gagal hingga mengancam produktivitas hasil panen maupun penangkapan ikan.
”Sebagai ujung tombak ketahanan pangan, petani dan nelayan perlu didukung oleh BMKG dalam mengantisipasi cuaca dan iklim ekstrem. Mekanisme Sekolah Lapang yang diselenggarakan oleh BMKG bersama mitra terkaitadalah platform yang didesain dan dilaksanakan untuk memfasilitasi literasi petani dan nelayan tersebut,” tuturnya.
Perlu ada kebijakan dan sistem yang teruji serta tangguh untuk menjamin ketahanan pangan secara merata. Kebijakan juga perlu berkesinambungan dengan sistem peringatan dini ketika bencana akan terjadi.
Sekolah lapang
Melalui Sekolah Lapang, pemanfaatan Info BMKG diperkuat dan disebarluaskanagar dapat lebih dimanfaatkan oleh para petani dan nelayan serta berbagai pihak terkait. Pengenalan cuaca dan iklim oleh para petani ataupun nelayan ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman petani dalam menyiasati metode dan waktu tanam agar tidak gagal panen.
Selain itu, Dwikorita juga berharap melalui Sekolah Lapang para nelayan dapat menyiasati waktu dan penentuan target zona tangkap ikan. Upaya ini penting untukmenghasilkan tangkapan yang jauh lebih produktif dengan tetap terjaga keselamatannya dalam berlayar.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Sekolah Lapang Iklim (SLI) telahmenjangkau 451 lokasi di tingkat kabupaten dan 33 provinsi serta melatih 16.000 peserta. Sementara Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) yang dilaksanakan sejak 2016 hingga saat ini sudah memfasilitasi 10.118 peserta di 159 lokasi yang tersebar di 33 provinsi.
Penyelenggaraan Rakornas BMKG tahun ini, menurut Dwikorita, salah satunya bertujuan untuk memperluas cakupan SLI dan SLCN dengan melibatkan berbagai pihak. Di sisi lain, rakornas juga akan membahas kebijakan serta sistem yang teruji dan tangguhsekaligus menguatkan sistem informasi BMKG guna menjamin ketahanan dan kedaulatan pangan.
Melalui rakornas ini diharapkan dapat tersusun matriks rencana tindak lanjut secara tepat, komprehensif dan sinergis dengan melibatkan multisektor. Selain itu, akan dihasilkan pula dalam rakornas ini buku putih atau white paper yang dapat menjadi acuan penajaman dan peningkatan kebijakan kementerian/lembaga yang terkait,” katanya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menambahkan, BMKG perlu terus memberikan masukan dan pedoman bagi Kementerian Pertanian terhadap kondisi yang seharusnya disiasati para petani. Selama ini, penggunaan teknologi ataupun optimalisasi produktivitas pertanian pasti didahului dengan referensi dari BMKG.
”Kegiatan pertanian mulai dari budidaya, pascapanen, hingga kegiatan pengumpulan dan penyimpanan produk harus ada dukungan sistem kecerdasan buatan. Beberapa jenis komoditas tertentu sangat tergantung dari kondisi cuaca sehingga efektivitas dan efisiensi bisa dilakukan,” katanya.