”Buzzer” atau pendengung tumbuh subur di tengah perkembangan teknologi informasi dan meluasnya penggunaan internet. Melalui novel fiksi, Chang Kang-myoung menguak peran pasukan ”buzzer” dalam memanipulasi opini publik.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Buzzer atau pendengung tumbuh subur di tengah perkembangan teknologi informasi dan meluasnya penggunaan internet. Melalui novel fiksi, Chang Kang-myoung, penulis asal Korea Selatan, menguak peran pasukan buzzer dalam memanipulasi opini publik di bidang bisnis hingga politik.
Meskipun fiksi, novel berjudul Pasukan Buzzer (judul asli Comment Corps) itu mengawali cerita dengan serius. Chang Kang-myoung menuliskan, pasukan buzzer yang dikelola Badan Intelijen Nasional selama pemilihan presiden pada 2012 dianggap sebagai pasukan buzzer generasi pertama.
Jika ditarik ke kehidupan nyata, pada tahun yang sama terjadi skandal manipulasi data dalam Badan Intelijen Nasional Korsel. Mereka menyewa warga sipil yang melek internet untuk memengaruhi pendapat publik menjelang Pilpres 2012.
Chang Kang-myoung pun tersenyum saat ditanya persentase fiksi dan nonfiksi dalam novelnya itu. ”50 persen reality, 50 persen fiksi. Saya juga perlu membangun imajinasi dalam buku ini,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Buzzer: Apa, Siapa, & untuk Apa” pada Festival Literasi Ruang Tengah 2022 yang digelar Gramedia secara daring, Kamis (28/7/2022).
Novel Pasukan Buzzer yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama menceritakan kiprah Tim Aleph yang bekerja sebagai jasa penyedia promosi dan dukungan publik melalui internet. Tim ini memulai usahanya dengan mengunjungi rumah sakit, toko pakaian, perusahaan obat diet, distributor film, dan perusahaan gim kecil-kecilan. Mereka mengaku bisa membantu menaikkan peringkat perusahaan-perusahaan itu dalam pencarian real time di internet.
Tim Aleph diperkuat oleh Chatatkat yang jago mengarang, Samgoong dengan keahlian ”memancing troll”, trik membuat unggahan palsu untuk mengundang minat banyak orang, dan 01810 yang jago komputer. Sampai akhir cerita, identitas 01810 tidak pernah diungkap.
Proyek-proyek memanipulasi opini melalui internet dikerjakan dengan lancar. Mereka pun sangat percaya diri bisa melakukan pekerjaan apa saja.
Suatu saat, Tim Aleph mendapatkan tawaran pekerjaan untuk menghancurkan situs bernama Kafe Jumda dalam waktu satu bulan. Jika berhasil, mereka akan menerima imbalan 90 juta won.
Dengan keyakinan polos, mereka menerima pekerjaan itu dan langsung beraksi. Ketiga pemuda itu tidak menyadari bahaya proyek pekerjaan tersebut telah menjerumuskan mereka dalam permainan politik berbahaya dan melibatkan organisasi rahasia.
Suatu saat, Tim Aleph mendapatkan tawaran pekerjaan untuk menghancurkan situs bernama Kafe Jumda dalam waktu satu bulan. Jika berhasil, mereka akan menerima imbalan 90 juta won.
Chang Kang-Myoung mengatakan, walaupun berpengalaman belasan tahun menjadi reporter, ia tidak banyak memasukkan pendekatan jurnalistik dalam menulis buku itu. ”Saya memang suka meliput isu ini (buzzer). Namun, buku ini tidak terlalu banyak memakai hasil liputan itu,” katanya.
Menurut dia, informasi yang beredar di internet, termasuk lewat media sosial, rentan dimanipulasi. Hal ini juga digunakan untuk membangun opini negatif terhadap lawan bisnis ataupun politik.
Komunitas internet digerakkan untuk terlibat dalam perang opini tersebut. Kondisi ini memicu lahirnya pasukan buzzer yang bisa digunakan oleh siapa saja untuk berbagai kepentingan. ”Jadi, opini publik suka dimanipulasi. Masalah ini sudah sangat serius di Korea Selatan. Mungkin juga terjadi di negara-negara lain,” ucapnya.
Ia mengaku belum pernah bertemu secara langsung dengan orang yang bekerja sebagai buzzer. Akan tetapi, temannya pernah mendapatkan proposal untuk bergabung dengan pasukan buzzer.
”Mereka beroperasi untuk membuat opini palsu. Isu ini tidak hanya ada di Korea, mungkin juga di Indonesia,” ucapnya.
Chang menuturkan, untuk mengurangi paparan kabar bohong atau manipulasi informasi yang dilakukan buzzer, ia membatasi penggunaan internet. Sejumlah institusi, seperti media massa dan perguruan tinggi, juga telah membuat layanan cek fakta.
”Jika sudah mengakses internet, kita seperti remote. Kita mengalami stimulasi untuk melihat dan membaca sesuatu (di internet) yang belum tentu fakta, tetapi bisa saja kebohongan atau hoaks,” katanya.
Festival Literasi Ruang Tengah 2022 yang digelar pada 23-30 Juli bertujuan meningkatkan literasi membaca masyarakat dan menjadi ajang menghadirkan karya-karya buku terbaik dari negara-negara di Asia.
Sebelumnya, Vice General Manager Gramedia Pustaka Utama Andi Tarigan menyampaikan, festival ini memiliki misi dan idealisme untuk mengajak masyarakat tetap aktif dalam dunia literasi. Hal ini diperlukan mengingat selama dua tahun terakhir agenda literasi tidak terlalu aktif karena keterbatasan ruang akibat pandemi Covid-19.
”Tema yang diangkat dalam festival tahun ini ialah Membaca Asia. Tema tersebut diambil karena kami ingin menempatkan kembali karya-karya dari Asia yang tengah berkembang saat ini dan para pembacanya dalam satu forum bersama,” ujarnya (Kompas.id, 23/7/2022).
Hoaks yang menyebar dengan cepat di tengah perkembangan internet juga mengancam demokrasi. Jika dibiarkan, hal ini justru berpotensi meningkatkan brutalisme dalam manipulasi opini di dunia maya.
Dalam pengantar buku Kebohongan di Dunia Maya, Guru Besar Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Heru Nugroho menyebutkan, hoaks merupakan musuh bersama sehingga harus diperangi, termasuk oleh masyarakat. Individu yang terhubung dengan media sosial bukanlah pihak pasif yang menerima hoaks begitu saja namun menjadi agen aktif dalam bersikap kritis terhadap penyebaran hoaks. ”Sikap seperti ini yang seharusnya dikembangkan. Rantai pergerakan hoaks dapat diputus oleh individu yang kritis. Jika menjadi gerakan bersama, kondisi critical mass sebagai benteng pembendung hoaks dapat terwujud,” sebutnya.