Peran Pemantau Independen dalam Implementasi SVLK Perlu Diperkuat
Peran pemantau independen perlu diperkuat untuk menjamin kredibilitas implementasi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Pelanggaran oleh perusahaan pemegang sertifikat PHL masih terus terjadi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian atau SVLK sudah berjalan 13 tahun, tetapi pelanggaran oleh perusahaan-perusahaan yang mengantongi sertifikat pengelolaan hutan lestari masih terus terjadi. Peran pemantau independen perlu diperkuat untuk menjamin kredibilitas implementasi SVLK.
Hasil pemantauan Forest Watch Indonesia (FWI) dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) di enam provinsi pada Mei-Juli 2022 menemukan ketidakpatuhan para pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) yang sudah bersertifikat. Keenam provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat.
Dinamisator Jaringan JPIK Muhammad Ichwan mengatakan, indikator pelanggaran tersebut terkait tata batas, penataan kawasan yang dilindungi, serta aspek sosial, seperti mekanisme pengakuan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Padahal, kinerja perusahaan yang memegang sertifikat pengelolaan hutan lestari (PHL) dinilai baik dan sedang dalam pengelolaan hutan lestari.
”Di sini, peran pemantau independen menjadi penting untuk melakukan check and balance implementasi SVLK,” ujarnya, di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Ichwan menuturkan, akses data yang terbatas menjadi salah satu kendala tim pemantau di lapangan. Peran pemantau independen perlu diperkuat agar SVLK berjalan tanpa pelanggaran sehingga menjamin legalitasnya.
”Jadi, pemantau independen diakui, tetapi tidak ada perlakuan khusus, seperti dalam mengakses data dan informasi. Peraturan yang ada normatif, tidak aplikatif,” katanya.
Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi disebutkan, pemantau independen adalah masyarakat madani baik perorangan maupun lembaga yang berbadan hukum Indonesia.
Pemantau independen berhak memperoleh data dan informasi kegiatan SVLK, mendapatkan perlindungan dalam pemantauan, dan akses ke lokasi pemantauan. ”Tetapi, faktanya, dari tahun ke tahun, tidak diatur detailnya. Saya usulkan, kalau ada tindakan represif atau ancaman, seharusnya KLHK memberikan perlindungan hukum,” katanya.
Kondisi itu tidak hanya menjadi masalah dalam implementasi SVLK, tetapi juga rentan memicu konflik sosial. Sebab, tidak jarang lahan di luar izin konsesi merupakan lahan masyarakat adat.
Juru Kampanye FWI Agung Ady Setyawan mengatakan, salah satu tujuan SVLK adalah mengurangi pembalakan liar. Menurut dia, secara kasatmata, kasus pembalakan relatif menurun.
SVLK berguna untuk menjamin legalitas asal-usul kayu sehingga berdampak terhadap pemasaran di dalam dan luar negeri. Namun, pelanggaran di kawasan konsesi masih terus terjadi, salah satunya penanaman di luar izin konsesi.
”Misalnya, izin konsesi perusahaan sekitar 9.000 hektar. Namun, dalam praktiknya, terdapat over hampir 1.000 hektar,” ucapnya.
Kondisi itu tidak hanya menjadi masalah dalam implementasi SVLK, tetapi juga rentan memicu konflik sosial. Sebab, tidak jarang lahan di luar izin konsesi merupakan lahan masyarakat adat.
”Kasus seperti ini terjadi di Kalimantan Barat. Di daerah lain, ada juga yang bersinggungan dengan warga setempat,” ujarnya.
Focal point JPIK Riau, Rahmaidi Azani, mengatakan, pemantau independen hanya bisa mengakses data yang tersedia secara daring. Sementara Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) tertutup. Data lain juga harus dimohonkan ke KLHK sehingga membutuhkan waktu lama.
”Ini menunjukkan belum terbangunnya sinergisitas antara pemerintah daerah dan pemantau independen. Padahal, sinergisitas penting untuk memastikan produk kayu yang diproduksi, diperdagangkan, atau berpindah tangan berasal dari sumber legal dan dapat ditelusuri,” ujarnya.