Sejak lama, hutan Kalimantan telah menjadi sandaran hidup banyak orang dari beragam suku Nusantara. Namun, tanpa pengelolaan hutan berkelanjutan, kerusakan hutan yang berdampak buruk bagi lingkungan akan sulit dibendung.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Kekayaan hutan Kalimantan menjadi magnet kuat yang menarik banyak orang dari berbagai penjuru Nusantara untuk memburu sumber penghidupan di sana. Namun, hal ini sekaligus membawa ancaman kerusakan bagi paru-paru dunia itu. Melalui pemberdayaan kelompok tani hutan, warga diajak menjaga rimba agar manfaatnya berkelanjutan.
Percikan bara api nyaris menjilat wajah Antonius Ropinus (59) di rumah produksi minyak asiri Kelompok Tani Hutan (KTH) Aper Sejahtera, Desa Saing Prupuk, Kecamatan Batu Engau, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Selasa (22/3/2022). Laki-laki asal Maumere, Nusa Tenggara Timur, itu merebus serai wangi di ketel berkapasitas 300 kilogram.
Di sampingnya, Ketua KTH Aper Sejahtera Herry Sukmana, asal Ngawi, Jawa Tengah, mengamati hasil penyulingan yang keluar dari ketel pendingin. Sementara Dindin Syawaludin (51), warga Bandung Barat, Jawa Barat, memasak nasi untuk makan siang bersama.
Berjarak sekitar 7 kilometer dari sana, Ferdy Lussa (22), pemuda suku Dayak Maanyan dari Kalimantan Tengah, menyusuri kebun jambu kristal yang juga dikelola KTH tersebut sejak tahun lalu. Di petak kebun lainnya, Mirdaniansyah (25), warga Paser, memantau tanaman serai wangi dan eukaliptus.
Dibentuk empat tahun lalu, KTH Aper Sejahtera beranggotakan 24 orang dari beragam suku. Mayoritas merupakan mantan pekerja perusahaan perkebunan sawit serta proyek pembangunan infrastruktur dan rehabilitasi lahan di Paser.
Mereka memanfaatkan lahan hutan produksi seluas 200 hektar yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kendilo. ”Hutan ini telah memberikan banyak manfaat untuk kami. Jadi, kami harus ikut menjaganya (hutan) agar manfaat itu berkelanjutan,” ujar Herry Sukmana.
Serai wangi ditanam di kawasan yang sebelumnya ditumbuhi semak belukar. Kapasitas produksinya sekitar 2,8 kg minyak asiri per hari seharga Rp 200.000 per kg. Dengan begitu, omzetnya Rp 16,8 juta per bulan.
Alat produksi minyak asiri berasal dari bantuan Program Investasi Kehutanan (FIP) jilid 2 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Anggota KTH juga dibantu KPHP Kendilo dalam memasarkan hasil produksinya.
”Saat ini kami masih memodifikasi satu ketel untuk merebus serai wangi. Jika ketel itu beroperasi, kapasitas produksi meningkat lebih dari dua kali lipat. Harapannya bisa membantu anggota (KTH) meningkatkan kesejahteraan,” jelasnya.
Harapan itu bukannya tak berdasar. Saat ini KTH Aper Sejahtera sedang mengembangkan produksi minyak kayu putih dan jambu kristal. Setiap anggota diberi kewenangan mengelola lahan per ancak seluas 8-10 hektar.
Kewenangan itu pun dibarengi tanggung jawab menjaga lahan yang dikelola. Mereka ditugasi melaporkan kebakaran lahan dan perambahan yang mengancam kelestarian hutan.
Dindin Syawaludin, misalnya, ikut menanam pohon ulin, meranti, dan kapur di kawasan hutan. Hal itu dilakukan untuk merehabilitasi daerah aliran Sungai (DAS) Kendilo yang kritis.
Penghijauan diharapkan meningkatkan ketersediaan air. Dengan begitu, lahan semakin produktif dan memberi manfaat ekonomi bagi petani.
Dindin pun sudah merasakan manfaatnya. Sejak merantau ke Kaltim pada 2019, ia memperoleh penghasilan Rp 3 juta-Rp 4 juta per bulan. Jumlah itu tiga kali lipat dibandingkan dengan upahnya saat bekerja serabutan di Padalarang, Bandung Barat.
”Saya enggak punya sawah atau kebun di kampung (Padalarang). Di Kalimantan, lahannya luas. Asal mau kerja, pasti bisa hidup. Namun, harus tanggung jawab dengan tidak merusaknya,” ujar bapak tiga anak itu.
KPHP Kendilo yang mempunyai 46 pegawai mengelola hutan seluas 137.495 ha. Jika dirata-rata, setiap pegawai mengawasi 2.989 ha hutan.
Sebagai warga Paser, Mirdaniansyah tak risau dengan banyaknya pekerja yang datang dari luar daerah. Ia justru senang karena dapat bergotong royong mengambil manfaat dari hutan sembari berupaya melestarikannya.
Akan tetapi, ia mengkhawatirkan perambahan hutan untuk penambangan dan perkebunan sawit. Sebab, hal itu berpotensi membawa dampak buruk terhadap lingkungan. Bahkan, tak jarang pembukaan lahan diawali dengan kebakaran hutan dan lahan.
”Orang Paser sangat terbuka menerima orang-orang dari daerah lain. Kami sudah turun temurun hidup dari hasil hutan. Jadi, tolong jangan dirusak,” ujarnya.
Deforestasi menjadi ancaman serius bagi masa depan hutan Kalimantan. Di Kaltim, kawasan hutan seluas 6,41 juta hektar pada 2000 menyusut menjadi 6,05 juta ha pada 2019 (Kompas, 25/3/2022).
Pemanfaatan hutan berkelanjutan juga dilakukan sejumlah KTH lainnya. KTH Alas Taka di Desa Suweto, Kecamatan Muara Samu, misalnya, memproduksi arang berbahan ranting kayu alaban (Vitex Pinnata L) yang tumbuh di kawasan hutan produksi.
Potongan kayu sepanjang 10-20 sentimeter dengan diameter 5 cm dimasukkan ke tungku dan dibakar selama tiga jam. Dengan memakai 28 tungku pembakaran, KTH ini dapat memproduksi 450 kg arang per hari. Arang itu dijual ke sejumlah kampung dengan harga Rp 50.000 per karung berisi 25 kg.
”Dari pengakuan warga, pemakaian arang kayu alaban cukup hemat. Sebanyak 1 kg arang bisa digunakan untuk memasak selama tiga jam,” ujar Ketua KTH Alas Taka Ngadiyanto.
Untuk menambah ketersediaan kayu alaban, KTH yang mempunyai 70 anggota itu mulai menyemai benih pohon itu. Benih tersebut akan ditanam di kawasan hutan yang banyak ditumbuhi alang-alang.
”Pohon alaban di hutan ini memang sangat banyak. Namun, harus tetap diperhatikan keberlanjutannya. Jadi, selain mengambil kayu rantingnya, kami juga ikut menanamnya sehingga bisa terus mengambil manfaatnya, katanya.
Di Desa Rantau Atas, Muara Samu, KTH Nyungen Jaya berdaya mengelola hutan dengan memproduksi madu kelulut. Madu itu dihasilkan dari koloni-koloni lebah trigona di sekitar 240 stup atau kotak sarang.
Ketua KTH Nyungen Jaya Aliansyah menuturkan, saat musim berbunga, pihaknya dapat memproduksi 55 liter madu per bulan. Namun, ketika musim hujan, produksinya menurun hingga di bawah 10 liter per bulan.
Madu dijual dengan harga Rp 250.000-Rp 300.000 per liter. Sebanyak 90 persen hasil produksinya dipasarkan melalui KPHP Kendilo. Sementara sisanya dijual langsung oleh anggota KTH kepada pekerja tambang dan perusahaan perkebunan di sekitar kawasan itu.
”Hasil penjualan madu menambah penghasilan kami selain dari berkebun. Jadi, warga tidak perlu lagi menebang pohon untuk mendapatkan uang,” ucapnya.
Kepala KPHP Kendilo Muhammad Hijrafie mengatakan, pihaknya bermitra dengan 10 KTH dalam mengelola sumber daya hutan. Usaha pemanfaatan harus tetap sejalan dengan upaya melestarikan hutan.
”Dalam pembuatan arang, misalnya, bahan kayunya bukan dari menebang pohon, tetapi dengan memanfaatkan ranting-rantingnya. Usaha yang lain juga sama, tetap memperhatikan keberlanjutannya,” ujarnya.
KPHP Kendilo yang mempunyai 46 pegawai mengelola hutan seluas 137.495 ha. Jika dirata-rata, setiap pegawai mengawasi 2.989 ha hutan.
”Dengan keterbatasan itu, peran KTH sangat penting untuk memberikan informasi jika terjadi kebakaran dan perambahan hutan,” katanya.
Sejak lama, hutan Kalimantan telah menjadi sandaran hidup banyak orang dari beragam suku Nusantara. Namun, tanpa pengelolaan hutan berkelanjutan, kerusakan hutan yang berdampak buruk bagi lingkungan akan semakin sulit dibendung dan berisiko merugikan masyarakat di sekitarnya.