Akses transpuan di bidang pendidikan, administrasi kependudukan, kesehatan, dan ekonomi sangat terbatas. Mereka kerap didiskriminasi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR, RUNIK SRI ASTUTI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Transpuan umumnya didiskriminasi dan kesulitan memperoleh hak-hak dasarnya sebagai warga negara akibat ekspresi jender yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Negara perlu lebih hadir untuk memenuhi hak-hak mereka tanpa diskriminasi.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Sandra Moniaga, menyatakan, pihaknya selalu mendorong negara agar siapa pun warga negara Indonesia memiliki hak sama, tanpa memandang orientasi seksual atau apa pun. ”Kami sepakat bahwa kawan-kawan transjender adalah manusia yang harus dihormati martabatnya,” kata Sandra, Selasa (26/7/2022).
Ia mengatakan, transpuan berhak mendapatkan haknya. Sebab, UUD 1945 mengakui hak asasi manusia, di antaranya hak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Kami sepakat bahwa kawan-kawan transjender adalah manusia yang harus dihormati martabatnya
”Cerita sedih dari saudara-saudara kita transpuan adalah potret kegagalan negara memenuhi dan melindungi hak asasi dan hak konstitusional sebagian warga yang sangat rentan. Realitasnya, bangsa kita merupakan bangsa yang sangat beragam,” ujar Sandra.
Negara juga perlu secara aktif mendorong perubahan cara pandang warga terhadap transjender melalui berbagai langkah, antara lain, pendidikan dan penegakan hukum.
”Negara harus mulai mengambil langkah tegas untuk memberikan sanksi hukum kepada mereka yang melakukan tindakan diskriminatif apalagi kekerasan berbasis diskriminasi,” kata Sandra.
Nahe’i, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mengakui, akses para transpuan ke sejumlah bidang sangat terbatas, terutama pendidikan, kesehatan, dan dokumen kependudukan.
Di dunia pendidikan, umumnya transpuan mendapat perundungan karena sifat feminin mereka. Di bidang administrasi kependudukan, Komnas Perempuan juga mendapati transpuan masih kesulitan mendapatkan hak-haknya.
Saat ini sudah ada contoh baik, yakni transpuan bisa mendapatkan KTP dengan tetap mencantumkan jenis kelamin saat dia dilahirkan.
Sementara itu, Ketua Persatuan Waria Kota Surabaya Sonya Vanessa menyampaikan, pengurusan surat pindah sebagai syarat membuat KTP Surabaya menjadi kendala tersendiri bagi transpuan dari luar kota. Sebab, mereka umumnya sudah lama tidak pulang kampung. Mereka malu pulang kampung karena dianggap aib oleh keluarga. Karena terlalu lama tidak berkomunikasi dengan keluarga, mereka juga kesulitan meminta tolong untuk mengurus surat pindah.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Femmy Eka Kartika menyarankan transpuan untuk menempuh program Kejar Paket A, B, dan C.
”Jadi, tidak harus di pendidikan formal atau sekolah, justru peluangnya sangat besar untuk mendapatkan layanan pendidikan nonformal karena ijazahnya setara dengan pendidikan formal,” ujar Femmy.
Perda diskriminatif
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Hak Keberagaman Gender dan Seksual (Kami Berani) yang terdiri atas sekitar 150 organisasi masyarakat sipil mempertanyakan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).
Perda itu dinilai mengandung unsur pelanggaran HAM yang memperparah terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender di Kota Bogor. Sebab, perda itu menyamakan homoseksual, lesbian, dan transpuan sebagai perilaku seksual menyimpang.
”Perda itu berpotensi meningkatkan kasus kekerasan terhadap kelompok minoritas seksual dan jender,” ujar Aisya Humaida dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.
Perda tersebut juga bertentangan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan. Pedoman ini menyebutkan, orientasi seksual jangan dianggap sebagai sebuah gangguan. Bahkan, dalam International Classification of Diseases revisi ke-11 dinyatakan bahwa transjender bukan merupakan gangguan kejiwaan.
Koordinator Humas dan Tata Usaha Direktorat Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Linda Pratiwi mengatakan, pihaknya berupaya meminimalkan perda-perda dan peraturan-peraturan yang diskriminatif. Bersama pemerintah daerah dan kementerian/lembaga terkait, Kemenkumham mengevaluasi dan mendorong nilai-nilai HAM ke dalam perancangan peraturan agar mengutamakan prinsip nondiskriminatif.