Mendampingi Transpuan yang Terbuang hingga Usia Senja
Mereka ada di tengah masyarakat, tetapi kehadiran mereka tidak diterima. Sejak kecil ditolak keluarga dan masyarakat, sampai tua pun mereka mengalami berbagai diskriminasi.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Mami Yuli (kiri), Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), bersama beberapa transpuan lansia, MInggu (24/7/2022).
Kendati lahir dan tumbuh serta hidup di tengah masyarakat, transpuan hingga kini menjadi salah satu kelompok marjinal di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat pribadinya diketahui sebagai transpuan, mereka tidak diterima keluarga. Sebagian besar memilih meninggalkan keluarga dan melanjutkan hidup sendiri ataupun berkomunitas dengan sesama transpuan hingga tutup usia.
Ketika terpisah dari keluarga, sebagian besar transpuan tidak memiliki masa depan. Hak-hak mereka sebagai warga negara, mulai dari hak atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hingga beragama, terabaikan. Di daerah tertentu, mereka tidak hanya dikucilkan, bahkan mengalami berbagai persekusi.
”Kami punya data, sekitar 85 persen transpuan adalah urban. Mereka datang dari sejumlah daerah karena tertolak oleh keluarga. Karena tidak sekolah dan tak punya keterampilan. Mereka tidak bisa bekerja dan punya penghasilan. Mereka hidup miskin,” ujar Mami Yuli, Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI), saat diwawancarai Kompas, Minggu (24/7/2022).
Minimnya bekal pendidikan membuat peluang transpuan untuk bekerja di sektor formal menjadi sesuatu yang langka sehingga terjun dalam dunia prostitusi atau mengamen selalu menjadi pilihan pertama ketika mereka lari dari rumah. Bekerja di salon kecantikan menjadi pekerjaan paling memungkinkan diraih para transpuan.
Kami punya data, sekitar 85 persen transpuan adalah urban. Mereka datang dari sejumlah daerah karena tertolak oleh keluarga. Karena tidak sekolah dan tak punya keterampilan, mereka tidak bisa bekerja dan punya penghasilan.
Selain teralienasi dari kehidupan masyarakat, berbagai stigma negatif melekat dalam diri para transpuan. Hidup di jalanan yang lekat dengan kehidupan prostitusi membuat mereka semakin terstigma sebagai ”sampah masyarakat” karena dianggap hidup dengan cara menyimpang. Seks bebas ataupun pembawa penyakit penular, bahkan HIV/AIDS, melekat dalam diri transpuan.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Seorang transpuan lansia mengamen di pasar di kawasan Otista, Jakarta, Jumat (22/7/2022). Sebagian transpuan diasingkan oleh keluarganya dan harus mandiri menghidupi dirinya sendiri meski kondisi badan telah lemah dan sakit-sakitan.
Menurut Mami Yuli, ada sekitar 4.000 transpuan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodebatek) yang bergabung dalam FKWI. Sebagian dari mereka sudah lanjut usia (lansia) dan hidupnya bergantung pada kebaikan masyarakat. Di Jabodetabek terdapat 831 transpuan lansia yang kondisi hidupnya di bawah garis kemiskinan.
Yuli menuturkan nasib para transpuan lansia yang akhir hidupnya sungguh memilukan. Selain tidak memiliki pekerjaan, mereka berada dalam kondisi miskin, tidak memiliki keluarga, dan kebanyakan tidak punya tempat tinggal tetap (mengontrak) serta sakit-sakitan.
Salah satu persoalan yang dihadapi para transpuan lansia adalah masalah kependudukan. Karena pergi meninggalkan keluarga, mereka rata-rata tidak memiliki dokumen kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP).
”Kondisi yang dialami transpuan lansia menunjukkan bahwa mereka yang tertolak berpuluh-puluh tahun mengalami berbagai persoalan hingga masa tua,” ujar Mami Yuli, yang bernama asli Yulianus Rettoblaut (62).
Mami Yuli menceritakan, 10-15 tahun yang lalu, tidak hanya transpuan lansia, transpuan muda pun, ketika meninggal sulit mendapatkan pemakaman karena mereka tidak memiliki identitas kependudukan. Jalan satu-satunya adalah menyerahkan jenazah para transpuan kepada polisi, kemudian polisi akan mengirim ke rumah sakit milik pemerintah.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Dora (64), transpuan asal Jawa Timur, sedang menjahit di rumahnya di kawasan padat penduduk di Jatinegara, Jakarta Timur, pada Selasa (19/7/2022). Ia merantau ke Jakarta sejak 30 tahun lalu, kemudian bertahan hidup dengan mengamen, bekerja serabutan, hingga menjahit.
”Sekarang sudah ada jalan, transpuan meninggal bisa kami makamkan. Dulu rata-rata jenazah diserahkan kepada polisi. Karena tidak punya identitas, tinggal di rumah kumuh, enggak ada yang mau memakamkan transpuan. Kini, kami mulai membangun komunikasi baik dengan sejumlah lembaga yang bergerak dalam isu kemanusiaan sehingga mereka bisa dimakamkan dengan layak,” kata Mami Yuli.
Dari kondisi tersebut, semenjak 2010, FKWI yang dipimpin Mami Yuli pun mendirikan Rumah Singgah Waria Lansia ”Anak Raja” di Depok, Jawa Barat. Rumah singgah tersebut hanya ditinggali sembilan transpuan lansia. Namun, setiap saat para transpuan lansia yang tergabung dalam FKWI bisa datang ke rumah singgah tersebut.
Adapun program-program di rumah singgah waria lansia antara lain memberikan pelatihan keterampilan jangka pendek, seperti membuat kue dan masakan. Hasilnya dijual ke warung-warung, dijual keliling, atau dijual ke gereja dan tempat lain.
Selain itu, para transpuan lansia mendapat bimbingan rohani dan motivasi sesuai agama masing-masing. Untuk kesehatan, dilakukan pendampingan kesehatan sehingga mereka bisa menjalani perawatan dan pengobatan atas penyakitnya.
DOKUMEN KOMUNITAS FAJAR SIKKA
Bunda Hendrika Mayora memberi bantuan bahan pokok kepada warga miskin di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur. Kelompok transpuan mengumpulkan uang untuk berbelanja bahan pokok, kemudian diserahkan kepada warga kurang mampu.
Para lansia yang tidak memiliki KTP pun dibantu sehingga memiliki KTP dan kartu keluarga dan akhirnya bisa mengakses layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS ) Kesehatan serta bantuan-bantuan sosial lainnya.
Terasing sepanjang hayat
Sejumlah transpuan lansia yang ditemui Kompas, Sabtu (23/7/2022), mengaku selama puluhan tahun menjadi orang terbuang, tertolak oleh keluarga dan masyarakat, saat berani menyampaikan kepada keluarga tentang jati dirinya sebagai transpuan. Mereka pergi meninggalkan keluarga untuk selamanya, bahkan ketika meninggal pun mereka sendiri.
Oma Lina (80), misalnya. Transpuan lansia yang berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah, ini sejak kecil telah menyadari dirinya berbeda dengan 12 saudaranya. Pada usia 17 tahun, dia memutuskan pergi dari rumah. Awalnya dia tinggal di Cirebon, Jawa Barat, dan bekerja merawat orang yang lumpuh, tetapi di awal tahun 1970-an dia nekat ke Jakarta.
Ia datang ke Jakarta tanpa modal sedikit pun. Lina kemudian bergabung dengan para transpuan sekitar Taman Lawang. ”Dulu istilahnya bukan waria, tapi wandu. Terus kalau dirazia, kami diangkut pakai truk sampah,” ujarnya.
Puluhan tahun menjalani hidup sebagai transpuan, Lina mengaku kenyang dengan berbagai penolakan masyarakat. Di usianya yang sudah lanjut, tidak bisa bekerja, dan sering sakit-sakitan, dia bertemu lagi dengan Mami Yuli yang sudah mendirikan organisasi waria, FKWI. Lina bergabung bersama ratusan warga lansia di wilayah Jabodetabek dan mendapat pandampingan dari Mami Yuli.
Sejak 19 tahun lalu, Lina yang mengaku puluhan tahun tidak beragama kemudian mau datang ke gereja. Dia tidak menyangka ternyata dia diterima. Bahkan, sekarang dia memiliki nama Boas. ”Di gereja, saya dipanggil Opa Boas,” ujar Lina yang mengaku bahagia karena di usia senjanya, dia semakin mendekatkan diri dengan Tuhan.
Bergabung dengan rumah singgah waria lansia mempertemukan Oma Donna (70), transpuan yang berasal dari Kalimantan, dengan sejumlah transpuan lansia yang merasa senasib. ”Saya bahagia sekali, sekarang saya punya KTP,” ujar Donna.
Gangguan kesehatan tidak menghalangi Donna dan teman-teman transpuan lansia lainnya untuk berkarya dengan membuat kue yang kemudian dijual ke gereja ataupun di warung-warung.