Transpuan berharap ada komitmen dari pemerintah untuk melindungi semua warga negara dari diskriminasi. Tanpa diskriminasi, transpuan diharapkan bisa mengakses hak sebagai warga negara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transpuan masih mengalami diskriminasi sehingga sulit mengakses haknya sebagai warga negara, baik hak atas pendidikan, pekerjaan, maupun penghidupan yang layak. Jaminan perlindungan terhadap semua warga negara diharapkan, termasuk untuk transpuan.
Penelitian Arus Pelangi pada 2013 mencatat, 35 persen kasus kekerasan dialami transpuan. Laporan ”Jalan Panjang untuk Penerimaan; Analisis Situasi Transpuan di Indonesia” yang dipublikasi Sanggar Waria Remaja (Swara) pada 2020 menyatakan, diskriminasi pada transpuan adalah dampak dari ekspresi fisik atau jender yang dianggap tidak sesuai dengan jenis kelamin mereka. Hal ini dinilai menyimpang.
Menurut Program Officer Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) untuk Program Inklusi Merlyn Sopjan, negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi transpuan. Ini karena transpuan masih mengalami diskriminasi dan persekusi di lingkungan sosial hingga lingkungan kerja.
”Membangkitkan kesadaran orang (untuk memandang waria secara setara) itu sulit karena sebagian orang memandang dari kacamata agama, bukan kemanusiaan,” kata Merlyn di Jakarta, Senin (25/7/2022).
Sebelumnya, Direktur Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat Inang Winarso menuturkan, transpuan menjadi terpinggirkan pada 1980-an saat ada konstruksi masyarakat yang menegaskan bahwa perempuan harus feminin dan lelaki maskulin. Tidak ada ruang untuk ekspresi jender di luar keduanya.
Membangkitkan kesadaran orang (untuk memandang waria secara setara) itu sulit karena sebagian orang memandang dari kacamata agama, bukan kemanusiaan.
Transpuan yang berada di luar spektrum jender ”normal” dianggap anomali sehingga rentan mengalami diskriminasi. Padahal, diskriminasi membuat transpuan kesulitan mengakses hak hidupnya sebagai warga negara. Sebagian transpuan yang dirisak sejak kecil memilih putus sekolah dan merantau ke kota besar. Ia tidak punya latar belakang pendidikan yang cukup dan keterampilan yang memadai sehingga sulit mencari kerja di rantau. Sejumlah transpuan pun menjadi pengamen, pekerja seks, atau pekerja informal lainnya, seperti pekerja salon, untuk menafkahi dirinya.
Merlyn mengatakan, bantuan pemerintah yang diterima transpuan biasanya berupa bantuan sosial (bansos). Ada pula yang mendapat bantuan berupa perlengkapan salon. Namun, bantuan itu tidak sesuai dengan kebutuhan transpuan yang punya keterampilan beragam.
Ia berharap pemerintah membuat variasi bantuan sesuai kebutuhan, misalnya dana stimulan untuk membuat tempat usaha, perbaikan saluran sanitasi bagi yang memiliki warung makan, atau insentif pajak bagi pelaku usaha. Bantuan juga bisa berupa pembekalan keterampilan sesuai minat transpuan.
”Selama ini ada bantuan, tapi bantuannya bersifat musiman. Bantuannya pun tak selalu bisa jadi solusi,” ucap Merlyn. ”Saya sebenarnya tidak berharap kami diakui sebagai jender ketiga oleh pemerintah. Yang kami butuhkan adalah bagaimana agar kami bisa mengakses hak sebagai WNI,” tambahnya.
Adapun Ketua Sanggar Waria Remaja (Swara) Kanzha Vinaa juga berharap pemerintah berkomitmen melindungi setiap warga negara dari diskriminasi dan kriminalisasi, termasuk melindungi transpuan. Perlindungan ini menjamin akses transpuan terhadap hak atas pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, serta penghidupan yang layak. ”Komitmen untuk melindungi warga negara juga diperlukan agar ada payung hukum yang jelas,” katanya.