Dunia malam transpuan tidak segemerlap pakaian mereka, tidak secantik bulu mata lentik mereka pula. Di balik itu ada risiko kesehatan, kejahatan, juga minimnya kesempatan kerja.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Sekitar pukul 10 malam, Jumat (22/7/2022), Betty (46) dan Riri (38) sibuk menyapukan bedak dan perona pipi di wajah mereka. Setelah menggambar alis dan memasang bulu mata palsu, keduanya memoles bibir dengan gincu shocking pink yang tampak menyala di malam yang temaram. Setelah mengecapkan bibir beberapa kali di depan cermin dan berganti baju, Betty dan Riri bangkit seraya berkata, ”Ayo kita pergi mejeng.”
Kaki Betty dan Riri dengan cekatan menuruni tangga sempit di tempat indekos mereka yang juga sempit. Tempat indekos yang sudah dihuni Betty selama 10 tahun terakhir itu tersembunyi di kawasan padat penduduk Pulo Gadung, Jakarta Timur. Tarif indekos di sana Rp 600.000 per bulan.
Tempat mejeng Betty dan kawan-kawan tak jauh dari tempat indekos. Butuh waktu sekitar lima menit berkendara dengan sepeda motor (dan melawan arus jalan raya) untuk tiba di Klender, tempat mejeng mereka.
Di sana ada beberapa transpuan yang sudah lebih dulu mejeng di trotoar sambil menunggu ”tamu”. Salah seorang transpuan yang berperawakan tinggi menyambut Betty dan Riri. Ia berdiri tegap dengan buah dada yang nyaris tumpah dari bajunya yang berpotongan rendah. Sesekali ia mengibaskan rambutnya yang hitam panjang dengan anggun.
Satu transpuan lain yang tampak lebih tua asyik menari jaipong dengan iringan musik dari pengeras suara portabel. Rambutnya dikonde, wajahnya tampak penuh seperti habis disuntik silikon.
Sesekali ada orang yang melintas sambil menggoda para transpuan. Ada pula yang kelihatan takut saat berpapasan dengan mereka. Ada juga yang sengaja melintas berkali-kali sambil menatap para transpuan lekat-lekat. Rupanya dia salah satu tamu setia.
Risiko sakit
Pekerjaan malam para transpuan sebenarnya penuh risiko. Selain bisa jadi korban kejahatan, transpuan juga berisiko terinfeksi penyakit menular seksual, seperti HIV.
Menurut Betty, pengetahuan seksual tentang penyakit dan cara berhubungan seksual yang aman masih begitu asing buat transpuan bertahun-tahun lalu. Mereka ”bermain” sembarangan hingga tak sedikit yang terinfeksi HIV dan meninggal.
Betty mencontohkan, dulu ada banyak transpuan tinggal di sekitar tempat indekosnya. Jumlahnya bisa 100-an orang, tetapi kini tinggal sedikit karena sebagian besar dari mereka pindah atau meninggal. ”Banyak yang kena HIV karena dulu kami masih awam soal kondom. Mau berobat juga dulu sulit karena takut didiskriminasi,” katanya.
Kondisi sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan dulu. Yayasan atau komunitas transpuan bekerja sama dengan penyedia layanan kesehatan untuk mengobati transpuan yang sakit. Yayasan juga getol mengajak transpuan-transpuan lain untuk memeriksakan diri secara berkala, utamanya tes HIV.
Di sisi lain, transpuan tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari dunia malam karena terimpit kebutuhan hidup. Tidak semua transpuan punya pekerjaan tetap, apalagi untuk bekerja formal. Menjajakan diri pun jadi jalan cepat mendapat uang.
Ada juga yang sengaja melintas berkali-kali sambil menatap para transpuan lekat-lekat. Rupanya dia salah satu tamu setia.
Transpuan di Ibu Kota datang dari sejumlah daerah. Betty dari Makassar, sementara Riri dari Pekalongan. Keduanya datang ke Jakarta untuk mencoba peruntungan. Betty ingin sukses seperti orang di kampungnya yang merantau ke Jakarta, sementara Riri ke Ibu Kota untuk bekerja di bidang konfeksi.
Di tempat terpisah, pendiri sekaligus Direktur Yayasan Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya) Vinolia Wakidjo (66) mengatakan, transpuan identik dengan bekerja di dunia malam sebagai pekerja seks, perias, dan pengamen. Padahal, transpuan juga punya banyak potensi untuk bekerja di beragam bidang.
”Waria enggak harus terus hidup di zona nyaman. Kembangkan potensi yang dimiliki untuk berkarya,” ujarnya saat ditemui di Rumah Singgah Kebaya, Yogyakarta, Kamis (21/7/2022).
Akan tetapi, kesempatan transpuan untuk berkiprah di berbagai bidang tertutup karena penolakan, stigmatisasi, dan diskriminasi yang kuat dari lingkungan sekitar, termasuk keluarga. Tekanan akibat stigma itu kian berlipat jika transpuan tertular HIV. Vinolia, misalnya, dilahirkan sebagai laki-laki. Namun, saat mulai mempunyai kecenderungan sebagai transpuan di bangku SD, keluarganya marah. Bahkan, ia dipukul kakaknya dan dikucilkan keluarga.
Setelah 13 tahun menjadi pekerja seks, mami Vin, sapaan akrabnya, bersama rekan-rekan transpuan lainnya mendirikan Yayasan Kebaya pada 18 Desember 2006. Lima bulan berselang, kantor yayasan itu juga digunakan sebagai rumah singgah bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Ia pun berkeliling mengedukasi transpuan pekerja seks soal tingginya risiko penularan penyakit menular seksual dalam pekerjaan mereka. Ia bergerilya dari stasiun, terminal, pasar, hingga jalan-jalan protokol.
Tak jarang Vinolia dicibir rekannya sesama waria karena dianggap sudah tidak laku menjadi pekerja seks. Ia memendam cibiran itu dan berupaya tetap fokus.
Vinolia menuturkan, sudah lebih dari 200 orang pernah mampir di Rumah Singgah Kebaya. Tidak hanya waria, tetapi juga perempuan dan laki-laki dengan HIV/AIDS. ”Tidak semua yang tinggal di sini sehat. Ada juga yang meninggal. Setelah kami telusuri, ternyata obatnya dibuang,” jelasnya.