Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang belum mengatur penggunaan rokok elektrik. Padahal, jumlah pengguna pada usia muda meningkat pesat. Komitmen pemerintah untuk melindungi masyarakat pun dinanti.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah perokok elektrik di Indonesia melonjak signifikan. Sementara itu, belum ada regulasi yang tegas yang mengatur penggunaannya. Komitmen pemerintah pun dinanti agar dampak buruk dari rokok elektrik bisa dicegah, terutama dampak pada generasi muda.
Data Global Adult Tobacco Survey pada 2021 menunjukkan, jumlah pengguna rokok elektronik usia 15 tahun ke atas meningkat dari 0,3 persen (480.000 orang) pada 2011 menjadi 3,0 persen (6,6 juta orang) pada 2021. Dari jumlah itu, sebanyak 2,8 persen merupakan pelajar usia muda.
Peneliti dari Departemen Penelitian dan Pengembangan Indonesian Youth Council for Tobacco Control (IYCTC) Oktavian Denta Eko di Jakarta, Rabu (20/7/2022), mengatakan, lonjakan penggunaan rokok elektrik di Indonesia dipengaruhi iklan rokok elektrik yang semakin gencar, terutama di media sosial. Selain itu, rokok elektrik kian mudah diakses di sekitar masyarakat.
”Narasi yang salah yang dibuat produsen juga turut berpengaruh, yakni bahwa rokok elektrik dapat membantu berhenti merokok dan jauh lebih sehat dibanding rokok konvensional. Padahal, rokok elektrik tidak lebih aman dan bahkan bisa lebih berbahaya dari rokok konvensional. Ini juga bisa berdampak pada lingkungan,” tuturnya.
Penggunaan rokok elektrik juga semakin menambah beban upaya pengendalian rokok di masyarakat. Tidak jarang pengguna rokok konvensional juga menggunakan rokok elektrik (dual users). Data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, lebih dari 95 persen dari pengguna rokok elektrik di Indonesia merupakan pengguna ganda rokok elektrik dan rokok konvensional.
Merujuk pada definisi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rokok elektrik yakni vape atau cairan nikotin yang dipanaskan dengan alat elektrik yang dapat menghasilkan uap yang disebut dengan electronic nicotine delivery system. Di tingkat global, penggunaan rokok elektrik juga berkembang pesat. Pasar rokok elektrik tercatat 50 juta dollar AS pada 2005 kemudian meningkat menjadi 20 miliar dollar AS pada 2019.
Rokok elektrik tidak lebih aman dan bahkan bisa lebih berbahaya dari rokok konvensional. Ini juga bisa berdampak pada lingkungan. (Oktavian Denta Eko)
Tim studi kasus Youth Led Activity IYCTC Jordan Vegard Ahar menyampaikan, iklan dan promosi rokok elektrik yang masif di berbagai media sosial menimbulkan daya tarik bagi anak muda untuk membeli rokok elektrik. Hal ini diperburuk oleh akses yang mudah dalam membeli rokok elektrik.
”Hasil studi kasus yang kami lakukan di sembilan kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan anak-anak masih bisa membeli produk rokok elektrik secara bebas lewat media daring. Para responden pun menyatakan menggunakan rokok elektrik untuk mengikuti tren pergaulan,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Oktavian mengatakan, aturan yang tegas untuk membatasi rokok elektrik semakin diperlukan. Saat ini, aturan yang mengatur produk tersebut secara jelas baru terkait kebijakan fiskal. Sementara pada aturan lain tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan rokok elektrik. Larangan total iklan, promosi, dan sponsorship produk rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik, harus dijalankan.
Ia menambahkan, hal lain yang perlu diatur adalah menghilangkan perasa pada rokok elektrik. Perasa ini menjadi salah satu daya tarik bagi anak muda untuk menggunakan rokok elektrik. Pencantuman peringatan kesehatan bergambar juga perlu disertakan pada bagian depan dan belakang rokok elektrik setidaknya 90 persen dari luas permukaan.
Dalam hasil kajian IYCTC, sudah ada 40 negara yang melarang rokok elektrik, mulai dari impor, penjualan produk rokok elektrik beserta cairannya (liquid), dan penggunaannya. Negara itu, antara lain, Thailand, Singapura, Laos, dan Timor Leste. Sementara Indonesia belum memiliki regulasi terkait rokok elektrik.
Revisi peraturan
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto mengatakan, aturan terkait rokok elektrik telah dimasukkan dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dalam revisi tersebut akan mengatur, antara lain, perbesaran peringatan kesehatan bergambar, pelarangan iklan, dan penguatan pengawasan pada produk rokok, termasuk rokok elektrik.
Menurut dia, percepatan revisi aturan tersebut membutuhkan kerja sama dan komitmen dari banyak pihak. Kendala yang selama ini dihadapi ialah masih ada kementerian/lembaga lain yang belum sepakat untuk memperkuat pembatasan produk rokok di masyarakat.
”Kami dari Kemenko PMK akan melakukan roadshow ke beberapa kementerian lain yang masih memiliki perbedaan pandangan. Revisi PP 109 ini membutuhkan komitmen dari pimpinan tertinggi,” kata Agus.
Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Presiden Erlinda menyampaikan, pembatasan paparan zat adiktif dari rokok konvensional dan rokok elektrik menjadi upaya untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat generasi muda. ”Kita sangat komitmen dan mendorong untuk adanya regulasi tentang rokok elektronik melalui revisi PP 109/2012,” ucapnya.