Sampah laut merupakan ancaman bagi masa depan manusia. Pengelolaan sampah harus dilakukan secara holistik, mulai dari hulu sampai ke hilir.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar di dunia yang mencemari lautan. Sampah laut ini menjadi ancaman serius bagi masa depan manusia. Perlu upaya holistik dari hulu ke hilir untuk mengatasinya.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) M Riza Damanik menuturkan, identifikasi penyebab tingginya sampah laut di Indonesia telah dilakukan. Hasilnya, antara lain, infrastruktur pengelolaan limbah yang kurang baik dan minimnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah.
”Harus ada satu pendekatan yang holistik dari hulu ke hilir untuk mengatasi sampah laut, termasuk pendekatan yang dapat mengubah pola konsumsi dan produksi dari produk yang dapat menghasilkan sampah plastik,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (16/7/2022).
Ia mengatakan, sejumlah studi terbaru menyebutkan, 80 persen sampah di laut berasal dari daratan dan 20 persen lainnya berasal dari limbah kapal. Upaya kolaboratif dalam menangani sampah laut perlu dilakukan secara lebih luas. Penanganan sampah pun diharapkan tidak sekadar menggunakan pendekatan teknis, tetapi juga pendekatan kebudayaan.
Menurut Riza, gerakan masyarakat untuk mengatasi persoalan sampah plastik sudah berjalan. Namun, gerakan tersebut masih berjalan secara sporadis. ”Sangat baik jika gerakan ini dijahit menjadi satu inisiatif Indonesia sehingga penanganan sampah laut menjadi lebih kuat, lebih baik, dan lebih konkret,” ujarnya.
Harus ada satu pendekatan yang holistik dari hulu ke hilir untuk mengatasi sampah laut, termasuk juga pendekatan yang dapat mengubah pola konsumsi dan produksi dari produk yang dapat menghasilkan sampah plastik.
Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali Catur Yudha Hariani mengatakan, sampah yang tidak tertangani dengan baik sejak di hulu, yakni di masyarakat, menjadi tantangan besar dalam pengelolaan sampah. Masyarakat sejak lama sudah terbiasa untuk tidak memilah sampah rumah tangga.
Pola pengelolaan sampah hanya berupa pengumpulan sampah di rumah tangga kemudian dibuang ke tempat pembuangan sampah dan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Kebiasaan tersebut kemudian kini berdampak pada TPA yang sudah melebihi kapasitas. Pencemaran pun terjadi di sungai dan laut. Selain itu, pemborosan anggaran juga terjadi dalam proses pengangkutan sampah.
”Program Zero Waste Cities (ZWS) bisa menjadi salah satu cara untuk mendorong pengelolaan sampah yang lebih baik di hulu. Gerakan ini merupakan gerakan pengelolaan sampah dengan cara mendorong rumah tangga untuk melakukan pemilahan sampah dari rumah,” kata Catur.
Ia mengatakan, payung hukum pengelolaan sampah menjadi penguat gerakan ZWC di masyarakat, khususnya masyarakat Bali. Sejumlah aturan telah diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Bali, antara lain, terkait pembatasan timbulan sampah plastik sekali pakai dan pengelolaan sampah berbasis sumber.
Namun, sejumlah tantangan masih dihadapi. Sekalipun sudah ada payung hukum yang mengatur sistem pengelolaan sampah, komitmen implementasinya masih kurang. Kurangnya komitmen ini terutama dihadapi pada pemerintah desa. Pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan pun belum optimal.
Koordinator Nasional Indonesia Diet Kantong Plastik, Rahyang Nusantara, berpendapat, masalah pencemaran plastik di lautan sudah terjadi sejak ekstraksi bahan baku plastik. Untuk itu, pencemaran plastik ini harus dicegah sejak awal produksi.
Mengutip data World Economic Forum 2016, ia mengatakan, 32 persen sampah plastik telah mencemari lingkungan. Hanya 16 persen yang didaur ulang. Sebanyak 14 persen dari sampah tersebut dibakar dan 40 persen menumpuk di TPA dan TPS.
”Diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan semua pelaku, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan akademisi, untuk membangun ekosistem pembatasan plastik sekali pakai. Produksi plastik dan pembuangan sampah plastik tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim,” tutur Rahyang.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Perikanan dan Kelautan Victor Gustaaf Manoppo menyampaikan, pemerintah berkomitmen mengatasi masalah sampah laut melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Pemerintah pun mulai tahun 2022 menggalakkan program Bulan Cinta Laut. Program ini menjadi langkah konkret untuk mengatasi masalah sampah laut dan mikroplastik yang dihadapi.
”Dalam program ini, rencananya dalam setahun akan ada satu bulan yang akan mendorong nelayan untuk tidak mengambil ikan, tetapi mengumpulkan sampah di laut. Sampah yang terkumpul akan ditimbang dan dihargai sesuai dengan harga ikan di daerah tersebut,” katanya.
Program Bulan Cinta Laut akan dijalankan secara bertahap di seluruh Indonesia. Untuk tahap awal akan dijalankan di zona penangkapan ikan terukur. Peran serta semua pihak diperlukan untuk mendukung upaya pengelolaan sampah, khususnya sampah laut.
”Kita harus menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia selain bijak dalam menggunakan plastik juga mampu mengelola sampah dengan baik,” ujar Victor.