Tuntut Lingkungan Hidup Sehat, Masyarakat Mengadu ke Komnas HAM
Sejumlah warga menuntut lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Kerusakan lingkungan dinilai melanggar HAM sehingga hal ini diadukan ke Komnas HAM.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Warga Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, mengarungi banjir menggunakan perahu, Sabtu (30/10/2021). Ketinggian banjir di daerah tersebut berkisar 50 sentimeter-1 meter.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 13 warga berbagai daerah yang terdiri dari anak-anak, pemuda, dan kelompok rentan mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait hak mereka untuk memiliki lingkungan hidup yang sehat. Mereka menilai pemerintah belum konsisten menanggulangi perubahan iklim.
Berkas aduan ini disampaikan oleh masyarakat yang tergabung dalam Jeda untuk Iklim dan Extinction Rebellion (XR) Indonesia ke Komnas HAM, Kamis (14/7/2022) di Jakarta. Setelahnya, pengadu dan kuasa hukum melakukan audiensi selama sekitar 1,5 jam dengan dua komisioner Komnas HAM, yaitu Sandrayati Moniaga serta Mohammad Choirul Anam.
Menurut kuasa hukum pengadu, Margaretha Quina, perubahan iklim memengaruhi berbagai aspek kehidupan para pengadu. Beberapa pengadu yang merupakan nelayan dan petani menghadapi risiko gagal panen. Pengadu juga berhadapan dengan ancaman bencana hidrometeorologi yang dapat menyebabkan kematian, kerugian materi, serta disrupsi ketersediaan air dan pangan.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA
Warga Sintang, Kalimantan Barat, yang masih bertahan di dalam rumah meskipun dikepung banjir. Mereka memodifikasi drum untuk alat transportasi, Sabtu (30/10/2021).
Tiwi (29), pengadu dari Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar), mengatakan, daerahnya terdampak banjir yang berlangsung selama 4-6 minggu pada 2021. Sebanyak dua orang tewas dan lebih dari 24.000 kepala keluarga terdampak banjir ini. Perubahan iklim memperparah risiko banjir, terlebih karena Kalbar diperkirakan mengalami peningkatan curah hujan.
Sementara itu, M Mansur Dokeng (39) dan Radith Giantiano (29), nelayan dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, bercerita bahwa mereka korban siklon tropis Seroja. Tempat tinggal mereka rusak, begitu pula mesin dan alat tangkap hasil laut. Mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk membangun kehidupannya kembali.
Perubahan iklim memengaruhi berbagai aspek kehidupan para pengadu. Beberapa pengadu yang merupakan nelayan dan petani menghadapi risiko gagal panen. Pengadu juga berhadapan dengan ancaman bencana hidrometeorologi.
”Terumbu karang yang tadinya membentang sepanjang Kota Kupang dan berlimpah ikan tidak bisa kembali seperti semula. Seroja menghapus hasil kerja keras para nelayan selama bertahun-tahun. Ini mengakibatkan kelangkaan ikan,” ucap mereka melalui keterangan tertulis.
FRANSISKUS PATI HERIN
Areal tanaman pertanian di Desa Fahiluka, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, rusak diterjang banjir akibat siklon tropis Seroja seperti pada Rabu (21/4/2021). Warga setempat kini mengalami kekurangan pangan.
Laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang rilis pada April 2022 menyatakan, dampak perubahan iklim meliputi antara lain meningkatnya intensitas cuaca panas ekstrem, hujan lebat, berkurangnya siklon tropis, dan naiknya permukaan air laut. Adapun dampak perubahan iklim sudah terjadi di seluruh wilayah bumi.
Dampak perubahan iklim yang dialami para pengadu dinilai melanggar hak hidup masyarakat untuk memiliki lingkungan yang baik dan sehat. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Margaretha, Pemerintah Indonesia belum serius mengatasi dampak perubahan iklim karena masih mendukung industri ekstraktif yang merusak alam. Padahal, mencegah perburukan dampak perubahan iklim mesti dilakukan sekarang oleh semua pihak agar tidak terlambat.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Para aktivis lingkungan menggelar aksi damai menyerukan kedaruratan iklim dalam gerakan Global Climate Strike di kawasan Sudirman, Jakarta, Jumat (25/3/2022). Dalam aksinya, mereka antara lain mendesak pemerintah untuk secara serius melakukan transisi dari energi kotor ke energi bersih. Aksi ini dilakukan secara serentak oleh para aktivis di beberapa kota di Indonesia.
Laporan IPCC menekankan bahwa 43 persen emisi gas rumah kaca global mesti dikurangi pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi pada 2050-an. Emisi dari metana juga harus dikurangi sekitar 33 persen. Hal itu bertujuan agar kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5 derajat celsius sesuai dengan target di Perjanjian Paris.
”Dampak perubahan iklim dan kerugian yang ditimbulkannya akan jadi lebih buruk jika tidak segera ditangani, terlebih jika kenaikan suhu global tidak dibatasi hingga 1,5 derajat celsius,” kata Margaretha.
Saat dihubungi secara terpisah, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga menyatakan menghargai upaya masyarakat sipil. ”Kami mendapat cukup banyak informasi tentang keterkaitan perubahan iklim dan HAM pada level global, serta dari beberapa negara lain termasuk CHRP, Komnas HAM di Filipina. Pengaduan ini memberi gambaran kondisi Indonesia. pengaduan ini juga memperjelas keterkaitan narasi global dan lokal,” tuturnya.