Laporan IPCC: Separuh Emisi Harus Dikurangi pada 2030
Kelompok Kerja III Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim merilis laporan terbaru yang berfokus pada upaya mitigasi perubahan iklim. Laporan ini juga menekankan pentingnya mengurangi separuh emisi pada 2030.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pengendara menembus kabut pagi yang bercampur dengan asap kendaraan bermotor di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Rabu (26/6/2019). Asap kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber terbesar polusi udara di Jakarta.
JAKARTA, KOMPAS — Laporan penilaian keenam yang disusun Kelompok Kerja III Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCCtelah dirilis pada 4 April 2022. Laporan yang berfokus pada upaya mitigasi perubahan iklim ini menyoroti pentingnya mengurangi separuh emisi pada 2030 untuk menghindari dampak terburuk dari krisis iklim.
Laporan dari Kelompok Kerja III (WG3) ini melibatkan 278 penulis dari 65 negara. Guna memperkuat analisis tentang dampak perubahan iklim, laporan ini mengutip lebih dari 18.000 referensi dan terdapat 59.212 komentar ahli serta ulasan pemerintah.
Salah satu yang ditekankan dalam laporan ini adalah semua pihak harus berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca global sebesar 43 persen pada 2030 dan mencapai nol bersih pada 2050-an. Selain itu, emisi dari metana juga perlu dikurangi sekitar 33 persen. Upaya ini diperlukan agar suhu global tetap di bawah 1,5 derajat celsius sesuai target yang disepakati dalam Perjanjian Iklim Paris.
”Membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius harus dilakukan sekarang atau tidak sama sekali. Tanpa upaya mengurangi emisi secara masif di semua sektor, target ini tidak akan tercapai dan suhu global diperkirakan akan melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius,” ujar Ketua Bersama WG3IPCC Jim Skeasaat konferensi pers secara daring, Selasa (5/4/2022) dini hari.
Laporan dari WG3 menunjukkan bahwa setiap wilayah di sudut Bumi sudah terkena dampak perubahan iklim.
Laporan terbaru IPCC ini tidak hanya menekankan pentingnya upaya penurunan emisi, tetapi juga memberikan solusi dan upaya mitigasi perubahan iklim. Solusi utama menurunkan emisi ini adalah dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara secara drastis hingga 95 persen. Di sisi lain, perlu juga meningkatkan penggunaan bahan bakar alternatif seperti hidrogen dan menjalankan transisi ke energi baru.
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Ketua Bersama Kelompok Kerja III Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) Jim Skea saat konferensi pers membahas laporan terbaru IPCC secara daring, Selasa (5/4/2022) dini hari.
IPCC mencatat, sejak 2010, telah ada upaya penggunaan energi dari matahari, angin dan baterai secara berkelanjutan hingga 85 persen. Pemerintah di seluruh dunia juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan undang-undang yang meningkatkan efisiensi energi, mengurangi laju deforestasi, serta mempercepat penggunaan energi baru terbarukan.
Upaya mengurangi emisi, menurut laporan ini, juga dapat dilakukan oleh kota dan wilayah urban lainnya. Kota-kota di dunia dapat mengurangi konsumsi energi dengan menciptakan kawasan yang ramahpejalan kaki, elektrifikasi transportasi yang dikombinasikan dengan sumber energi yang rendah emisi, serta meningkatkan penyerapan dan penyimpanan karbon melalui alam.
Jim juga menyoroti peluang yang bisa dilakukan dalam menurunkan emisi dengan membuat bangunan nol energi dan ramah lingkungan di semua negara. ”Potensi mitigasi dengan membuat bangunan ramah lingkungan menjadi sangat penting dalam dekade ini,” katanya.
Selain itu, peluang mitigasi lainnya yang bisa dilakukan adalah di sektor industri serta sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Dari sektor industri, perlu upaya penggunaan bahan baku secara lebih efisien, menggunakan kembali dan mendaur ulang produk, serta mengurangi limbah.Sektor industri ini menyumbang sekitar seperempat dari emisi gas rumah kaca global.
Ketua IPCC Hoesung Leemenegaskan, laporan dari WG3 yang dirilis hari ini merupakan bagian terakhir dari kelompok kerja IPCC untuk laporan penilaian keenam (AR6). Seluruh laporan dari Kelompok Kerja I, II, dan III telah mewakili suara definitif dan otoritatif tentang perubahan iklim. Penyusunan laporan bahkan telah mengelaborasikan antara sains dan pembuat kebijakan.
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Mortier mendaur ulang tutup botol dalam Pameran Bumi Rumah Kita inisiatif Sejauh Mata Memandang di Senayan City, Jakarta, Kamis (3/6/2021).
IPCC secara berkala melaporkan perubahan iklim. Laporan pertama kali diterbitkan tahun 1990 (first assessment report/FAR), lalu kedua pada 1995 (second assessment report/SAR), laporan ketiga (third assesment report/TAR) diterbitkan pada 2001, laporan keempat (AR4) pada 2014, dan laporan kelima (AR5) tahun 2015.
Terdapat tiga segmen utama dalam laporan IPCC. Segmen pertama yang dikerjakan oleh Kelompok Kerja I (WG1) menangani dasar ilmiah. Segmen kedua oleh WG2 yang dirilis Februari 2022membahas dampak, adaptasi, dan kerentanan. Kemudian segmen laporan ketiga yang diluncurkan April 2022 membahas langkah mitigasi perubahan iklim.
Sistem peringatan dini
Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas mengatakan, laporan dari WG3 menunjukkan bahwa setiap wilayah di sudut Bumi sudah terkena dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, upaya bersama semua negara dalam mengatasi krisis iklim ini perlu dilakukan, termasuk keterlibatan dan peran lebih dari negara-negara maju.
Petteri memandang bahwa perang yang tengah berlangsung antara Rusia dan Ukraina telah berdampak pada ketahanan pangan dan membawa kenaikan harga energi baik listrik maupun bahan bakar fosil. Salah satu hal baik dari kenaikan ini adalah akan mempercepat pengurangan penggunaan energi fosil dan beralih ke transisi hijau.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mendung tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta, sesaat sebelum hujan turun, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem.
Sebagai respons untuk menyikapi dampak perubahan iklim ke depan, WMO juga akan memimpin persiapan program peringatan dini yang akan disetujui pada Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 (COP 27) di Mesir tahun ini. Hal ini diperlukan karena hanya separuh dari 193 anggota WMO yang memiliki sistem peringatan dini yang layak.
”Sistem peringatan dini cuaca, iklim, dan hidrologi di negara-negara Afrika, Karibia dan Pasifik berada dalam kondisi yang sangat buruk. Ada kebutuhan mendesak untuk berinvestasi dalam sistem pengamatan cuaca, iklim, dan air dasar untuk meningkatkan kemampuan layanan peringatan dini ini,” tambahnya.