WAVEx RADAR, Penangkap Gelombang untuk Masa Depan Pesisir Indonesia
Perubahan dasar perairan akibat sedimentasi hingga abrasi membutuhkan aplikasi teknologi yang tepat. Dengan inovasi teknologi, data terbaik bisa didapatkan tanpa harus bertaruh nyawa lagi.
Perubahan dasar perairan akibat sedimentasi hingga abrasi membutuhkan aplikasi teknologi yang tepat. Saat semua bisa dilakukan, data terbaik bisa didapatkan tanpa harus bertaruh nyawa lagi.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2019 menyebutkan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang terpanjang kedua di dunia, yakni 95.181 kilometer. Dengan kawasan sepanjang itu, beragam masalah bisa terjadi. Di tengah perubahan iklim yang terjadi saat ini, sedimentasi dan abrasi menjadi masalah mencuat dan dibicarakan publik.
Akan tetapi, sedimentasi dan abrasi tidak hanya melulu tentang dampak pada permukaan atau pesisir. Kondisi dan perubahan dasar perairan juga penting untuk diteliti. Hal ini diharapkan mendukung aktivitas ekonomi masyarakat di sekitar pesisir hingga terkait pertahanan di pulau-pulau terluar Indonesia.
Sejauh ini, teknologi batimetri atau pengukuran kedalaman laut dianggap belum ideal. Banyak pengukurannya menggunakan echosounder, alat navigasi untuk mengukur kedalaman laut dengan mengandalkan pantulan gema.
Teknologi ini mengharuskan petugas menyusuri perairan. Selain butuh waktu yang lama sampai berhari-hari, kegiatan ini membutuhkan biaya operasional seperti bahan bakar kapal hingga akomodasi petugas.
Echosounder juga bergantung cuaca. Gelombang tinggi hingga cuaca buruk seperti badai dapat membahayakan petugas sehingga memengaruhi waktu pemantauan.
Untuk meminimalkannya, PT Bahari Berjaya Indonesia (PT BBI) bersama PT Radar Telekomunikasi Indonesia (PT RTI) dengan dukungan Riset Produktif Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (Rispro LPDP) mencoba mengembangkan WAVEx RADAR. Alat ini diklaim menawarkan kemudahan memantau batimetri di pesisir.
Baca Juga: Kota-kota yang Terendam di Masa Depan
”Dengan antena radar dan konsol yang diberi perangkat lunak pemantau gelombang, dalam hitungan menit gambaran dasar perairan bisa terpantau hingga jarak 2 kilometer dari bibir pantai,” kata Direktur PT Bahari Berjaya Indonesia (PT BBI) Andonowati saat memaparkan teknologi WAVEx RADAR di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/6/2022).
Pemaparan ini turut mengundang sejumlah instansi yang berkaitan dengan teknologi ini. Ada dari KKP, TNI Angkatan Laut, hingga Badan Keamanan Laut.
Menangkap gelombang
Peneliti model perangkat lunak PT BBI Andreas Parama Wijaya menyebutkan WAVEx bekerja saat radar berputar dan menyapu permukaan bumi dalam radius 2 kilometer. Dalam kurang lebih empat menit, sebanyak 128 gambar terkumpul dan menjadi data untuk dianalisis.
”Satu gambar butuh waktu 2 detik, sehingga untuk 128 gambar sepenuhnya itu butuh waktu 256 detik atau sekitar 4 menit. Data tersebut dianalisis dan bisa mendapatkan data kedalaman,” ujarnya.
Data tersebut diolah dengan aplikasi Hamiltonian Wave-Ship-Structure Interaction (HAWASSI). Perangkat lunak ini membaca data statistik ketinggian gelombang dan mengolahnya menjadi gambaran kedalaman laut.
Dengan antena radar dan konsol yang diberi perangkat lunak pemantau gelombang, dalam hitungan menit gambaran dasar perairan bisa terpantau hingga jarak 2 kilometer dari bibir pantai.
Andreas memaparkan, pada dasarnya teknologi ini menerjemahkan sifat-sifat fisis gelombang yang bergerak dengan merasakan dasar area yang diukur. Jadi, panjang hingga ketinggian gelombang itu dapat dipengaruhi oleh bentuk dan kedalaman dari dasar perairan sehingga datanya bisa diperhitungkan.
”Pada dasarnya nilai-nilai yang didapat itu representasi dari gelombangnya dan menjadi data yang akan diolah oleh perangkat. Secara sederhana saya bisa bilang ada keterkaitan antara panjang dan periode gelombang terhadap kedalamannya,” ujarnya.
Baca Juga: Berpacu Menyelamatkan Kota-kota Pesisir
Hasil dari pengolahan tersebut digambarkan dalam dua warna, yaitu merah dan biru. Data untuk kedalaman 0-25 meter diterjemahkan dengan warna merah. Warnanya semakin pudar saat kedalamannya bertambah. Di sisi lain, untuk data kedalaman 25-50 meter diterjemahkan dengan warna biru. Warnanya akan semakin gelap saat kedalamannya bertambah.
Proses penerjemahan ini memakan waktu hingga 10 menit sehingga dari putaran awal radar hingga hasil dapat diraih itu menghabiskan waktu 14-15 menit. Waktu ini jauh lebih singkat dibandingkan echosounder yang membutuhkan waktu hingga berjam-jam untuk wilayah yang sama.
Pelabuhan perikanan
Teknologi ini, lanjut Andonowati, telah diteliti dan diuji coba sejak tahun 2018 dan rampung awal 2022. Uji coba dilakukan di pesisir selatan Jawa, yaitu Cilacap (Jawa Tengah), Pangandaran (Jawa Barat), dan Glagah (DI Yogyakarta).
Tiga wilayah itu dikenal dengan pelabuhan nelayan hingga aktivitas masyarakat di sekitar pantai. Pelabuhan merupakan salah satu kawasan yang membutuhkan pemantauan batimetri secara intensif.
”Pendangkalan muara menyebabkan bisnis perikanan anjlok. Apalagi, pengerukan pada alur pelayarannya juga menambah biaya. Masalah maintenance (perawatan) ini terjadi karena proses pemantauan kedalaman air yang kerap diabaikan,” ujarnya.
Andonowati mengklaim, hasil dari uji coba tersebut memuaskan. Data yang dikumpulkan dengan teknologi radar ini cocok dengan batimetri yang dihasilkan echosounder.
Menurut Perencana Kepelabuhanan Perikanan dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Indah Prasetiana, pemantauan daerah perairan tidak mudah dilakukan. Bahkan, survei batimetri dengan echosounder, lanjut Indah, hanya bisa dilakukan dalam momen tertentu, seperti penentuan pelabuhan atau pemasangan breakwater (pemecah gelombang). Karena itu, WAVEx diharapkan bisa memberikan solusi untuk memantau kawasan pelabuhan perikanan.
Apalagi, Indonesia memiliki ratusan pelabuhan yang memerlukan pemantauan. Indah memaparkan, pelabuhan perikanan yang tercatat di KKP mencapai 592 titik. Jumlah ini terdiri dari 570 pelabuhan perikanan yang melayani kapal perikanan di wilayah laut, 7 pelabuhan untuk wilayah perairan darat, serta 15 pelabuhan lainnya yang tidak dibangun pemerintah.
Dari total jumlah tersebut, 198 titik masih berstatus calon pelabuhan. Menurut Indah, biasanya di titik inilah pengukuran batimetri akan dilakukan dengan jasa pihak ketiga.
”Kami biasa menggunakan pihak ketiga untuk survei menggunakan echosounder. Jadi, kami hampir tidak bisa menggunakannya secara berkala dan hanya kondisional. Karena itu, radar ini bisa menjadi terobosan baru,” ujarnya.
Tidak hanya memantau sedimentasi di pelabuhan, pengukuran batimetri juga bisa memantau permukaan laut di daerah pesisir. Andonowati memaparkan, dengan metode serupa, teknologi ini bisa dioperasikan di sekitar wilayah permukiman yang dekat dengan pantai yang rawan terkena abrasi dan peningkatan permukaan laut.
”Di Indonesia, abrasi sudah dirasakan di mana-mana. Alat ini bisa memantau di daerah-daerah rawan abrasi,” ujarnya.
Salah satu kawasan rawan abrasi ada di pesisir pantai utara Jabar. Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyatakan, ratusan hektar daratan di pesisir utara Jabar hilang dan menjadi lautan. Di Pantai Pondok Bali Subang, misalnya, 192 hektar daratan sudah menjadi laut.
Baca Juga: Kota-kota Pesisir Indonesia di Garis Depan Krisis Iklim
”Hal serupa juga terjadi di pesisir Bekasi. Air laut kini menggenangi 400 hektar daratan akibat proyek pembangunan dan pemanasan global,” katanya dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Pantai Pondok Bali, Legonkulon, Kabupaten Subang, Kamis (30/6/2022) silam.
Pertahanan
Tidak hanya di daerah pesisir pantai, Andonowati juga mengklaim alat ini bisa membantu pemantauan di pulau-pulau terluar Indonesia. Selama ini, eksistensi pulau-pulau ini memengaruhi teritorial wilayah laut. Tanpa pemantauan, daratan terluar ini bisa hilang ditelan lautan.
”Pulau terluar merupakan batas maritim sehingga kehilangan satu pulau akan berdampak ke kehilangan batas laut dan itu perlu dipantau. Jika mencontoh China, pulau-pulau terluar itu selalu direklamasi untuk mempertahankannya,” papar Andonowati.
Kepala Subdinas Oseanografi Pusat Hidro-oseanografi TNI Angkatan Laut Letnan Kolonel Laut Dian Adrianto menyambut baik teknologi tersebut. Dia berujar, kinerja yang praktis dapat membantu petugas untuk mengukur kedalaman di wilayah pesisir dengan cepat dan ringkas.
”Saya bilang ini cerdas. Jika menggunakan radar atau satelit, gelombang ini diidentifikasi sebagai noise (gangguan). Sementara alat ini malah menghasilkan (data) dari gelombang,” ujarnya.
Dian pun berharap ide serta penelitian ini berkembang lebih cepat. Harapannya, nantinya teknologi ini mampu membantu patroli laut untuk melihat kondisi di sekitar kapal sehingga jangkauan pemantauan jadi lebih luas.
”Akan lebih bagus, ide ini berkembang lebih detail lagi. Dengan alat ini, kami tidak perlu lagi basah-basahan dan mengambil risiko jika gelombang semakin keras,” ujarnya.
Kepala Subdirektorat Informasi Kantor Keamanan Laut Zona Maritim Barat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Ibnu Mufid Inung menyatakan, pengawasan perairan di Indonesia sangat membutuhkan teknologi. Karena itu, perkembangan teknologi penginderaan jauh (indraja) dari dalam negeri sangat dibutuhkan.
Ibnu mencontohkan, Zona Maritim Barat Bakamla bertanggung jawab atas pengawasan sebagian wilayah laut Indonesia dari Aceh, pesisir barat Sumatera, Cilacap di pantai selatan Jawa, hingga perairan bagian barat Semarang, Jateng. Untuk mengawasinya, Bakamla menempatkan dua stasiun bumi dan lima Stasiun Pemantauan Keamanan dan Keselamatan Laut (SPKKL).
”Teknologi radar dan indraja sangat penting untuk pengawasan. Kami bisa memantau perairan dengan jarak yang luas. Dengan radar ini kami bisa melihat anomali-anomali di wilayah pengawasan, dan itu jadi bahan deteksi lebih cepat,” ujarnya.
CEO PT RTI Mashuri Wahab menyambut baik harapan dan saran dari para calon pengguna yang hadir dalam pertemuan tersebut. Perkembangan teknologi radar ini bisa melesat jika mendapat perhatian dari berbagai pihak.
Apalagi, pengembangan radar masuk ke dalam teknologi tinggi sehingga membutuhkan dana yang sangat besar. Jadi, tidak hanya modal pendanaan, adanya sumber daya manusia yang berkualitas juga menjadi jaminan untuk pengembangan teknologi ini.
”Negara memerlukan radar untuk pertahanan, baik sipil maupun militer. Jadi, kami harapkan dukungan pemerintah dan pengguna supaya radar dalam negeri ini bisa dibeli untuk mengembangkan produk yang lebih baik,” ujarnya.
WAVEx RADAR ini menjadi bagian dari langkah pengembangan teknologi radar di Indonesia. Dengan adanya dukungan berbagai pihak, teknologi ini bisa menjadi ”mata” yang memantau wilayah perairan di Tanah Air.