Kolaborasi Riset Menjadi Kunci untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan
Peneliti pertanian dari sejumlah negara hadir dalam G20 Meeting of Agricultural Chief Scientists di Bali. Pertemuan ini membahas peran riset dan teknologi dalam mencapai ketahanan pangan dan adaptasi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Upaya mencapai ketahanan pangan dan mengatasi berbagai masalah pertanian akibat dampak dari perubahan iklim sangat ditentukan oleh riset dan pengembangan teknologi. Oleh karena itu, kolaborasi antar-para peneliti dari sejumlah negara diperlukan agar ada transfer pengetahuan sekaligus mengoordinasikan sistem riset pertanian.
Hal tersebut mengemuka dalam rangkaian G20 Meeting of Agricultural Chief Scientists (MACS) tentang intensifikasi berkelanjutan untuk memenuhi tujuan ketahanan pangan dan lingkungan di Badung, Bali, Selasa (5/7/2022). Acara yang berlangsung selama tiga hari sejak 5-7 Juli ini juga menjadi pertemuan para peneliti pertanian dari perwakilan 40 negara dan sejumlah organisasi internasional.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry mengemukakan, riset dan teknologi di bidang pangan atau pertanian berperan penting mengatasi berbagai persoalan yang terus dijumpai saat ini. Masalah itu mulai dari penambahan jumlah penduduk hingga perubahan iklim.
”Laju konversi lahan kita mencapai 100.000 hektar. Dengan kondisi ini, bisa dibayangkan jika tidak ada intervensi teknologi, kita tidak mungkin bisa swasembada. Jadi, teknologi dalam pertanian berperan penting meningkatkan produktivitas,” ujarnya kepada media seusai membuka pertemuan tersebut.
Fadjry menuturkan, pertemuan para peneliti dan organiasi internasional di Bali ini merupakan gagasan dari sejumlah menteri pertanian negara anggota G20. Mereka meyakini bahwa semua negara butuh riset dan teknologi dalam upaya mencapai ketahanan pangan sekaligus beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Laju konversi lahan kita mencapai 100.000 hektar. Dengan kondisi ini, bisa dibayangkan jika tidak ada intervensi teknologi, kita tidak mungkin bisa swasembada.
Sejumlah topik yang menjadi fokus diskusi dalam pertemuan ini di antaranya terkait dengan kebijakan ketahanan pangan pasca-pandemi Covid-19, pertanian tangguh iklim, kehilangan dan sampah makanan, serta pertanian digital. Pada hari terakhir acara, para peserta juga akan mengunjungi Sistem Irigasi Jatiluwuh Subak yang telah mendapat sentuhan teknologi.
”Topik yang dibahas dalam acara ini akan dirumuskan pada pertemuan dengan para menteri, September mendatang. Nantinya akan dilihat intervensi pertanian apa yang dibutuhkan Indonesia terkait dengan kemajuan teknologi yang ada ini,” ucapnya.
Fadjry menekankan bahwa presidensi Indonesia dalam pertemuan G20 menjadi kesempatan sangat berharga untuk mempertemukan para peneliti bidang pertanian dari negara lain. Pertemuan ini dapat dimanfaatkan untuk transfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara yang sudah terdepan dalam menerapkan praktik pertanian, seperti Amerika Serikat, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.
Wakil Direktur Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Alam Dewan Riset Pertanian India (ICAR) Suresh Kumar Chaudhari mengapresiasi pihak Indonesia yang menyelenggarakan pertemuan untuk membahas isu ketahanan iklim dan pangan. Sebagai negara presidensi G20 selanjutnya, India juga akan fokus terhadap isu ini.
”India terus mengembangkan keterampilan para petani agar bisa menghadapi dan beradaptasi terhadap kondisi ini. Diharapkan ke depan kita bisa menerapkan praktik pertanian ketahanan iklim yang lebih baik, tidak hanya di India, tetapi juga di dunia,” katanya.
Pengembangan varietas
Sejak berdiri pada tahun 1974, Fadjry menyebut bahwa Balitbangtan sudah melakukan penelitian khususnya untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Beberapa penelitian ini telah menghasilkan varietas padi yang tahan terhadap kondisi cuaca yang basah dan kering.
Peneliti Balitbangtan juga telah merakit padi baru yang memiliki ketahanan terhadap lingkungan dengan salinitas atau kadar garam tinggi, yaitu Biosalin 1 Agritan dan Biosalin 2 Agritan. Dua varietas ini sudah dilepas sejak tahun 2020 dan diharapkan bisa dikembangkan petani di area pesisir yang terdampak instrusi air laut (Kompas.id, 17/3/2021).
Tanaman lainnya yang mampu mendukung upaya pengendalian perubahan iklim yang sudah dikembangkan ialah varietas padi rendah emisi. Beberapa jenis varietas ini di antaranya padi ciherang, inpari-6, dan IR64. Produktivitas jenis varietas padi ini juga tinggi meski emisi gas metana (CH4) yang dilepas dari aktivitas penanaman lebih rendah daripada varietas lainnya.
”Secara genetik, varietas padi ini memang sudah rendah emisi. Semua pengembangan varietas ini menjadi bagian dalam rangka memitigasi dampak perubahan iklim,” ucapnya.
Selain itu, melalui dukungan riset dan teknologi, Balitbangtan telah mengembangkan varietas padi Inpari IR Nutri Zinc yang mampu mencegah terjadinya tengkes atau stunting. Varietas padi yang dilepas pada 2019 ini mampu mencegah tengkes karena memiliki kandungan zinc lebih tinggi 25 persen daripada varietas lain.