Pengendalian Polusi Udara Bermanfaat bagi Kesehatan dan Ekonomi
Penanganan polusi udara di China dapat mendorong pemulihan produk domestik bruto sebesar 1,17 persen pada 2030. Upaya penanganan polusi udara ini juga perlu dilakukan di negara Asia Pasifik lainnya.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebuah studi di China menunjukkan bahwa pengendalian polusi udara tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan, tetapi juga ekonomi. Upaya pengendalian polusi udara, khususnya partikel PM2,5, perlu dilakukan semua negara dengan dukungan kebijakan pemerintah dan rekomendasi dari peneliti dan akademisi.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring tentang penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai manfaat bersama udara dan iklim yang bersih, Kamis (30/6/2022). Diskusi yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tersebut menghadirkan pakar lingkungan dari dalam dan luar negeri.
Profesor Ekonomi Lingkungan Peking University, China, Zhang Shiqiu mengatakan, manfaat pengendalian polusi partikel udara berukuran kurang dari 2,5 mikron (PM2,5) untuk aspek kesehatan dan ekonomi di China tertuang dalam hasil studi yang dipimpin Profesor Hanceng Dai dari Peking University. Studi ini terbit di jurnal Environmental Science and Technology pada 2016.
Penting untuk menganalisis daerah aliran udara sebagai perencanaan dalam menangani polusi udara seperti yang sudah dilakukan China dan India. (Muthukumara Mani)
Hasil studi menunjukkan, dari aspek kesehatan, kebijakan pengendalian polusi udara dapat mengurangi jumlah pasien sakit pernapasan hingga 75 persen. Sementara dari aspek ekonomi, penurunan jumlah pasien ini akan menghemat biaya hingga 6,5 miliar dollar AS. Bahkan, polusi udara yang bisa dikendalikan akan mendorong pemulihan produk domestik bruto (PDB) China sebesar 1,17 persen pada 2030.
”Dari analisis pembiayaan dan manfaat, dampak pengendalian polusi udara akan lebih besar di provinsi yang lebih maju di China. Akan tetapi, dampak di provinsi tengah dan barat tidak begitu terlalu jelas untuk dipetakan,” ujarnya.
Hasil kajian Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 2019 menyebut bahwa empat miliar atau 92 persen orang di Asia dan Pasifik telah terpapar tingkat polusi udara yang membahayakan kesehatan mereka. Pada masa pandemi, paparan polusi udara dalam jangka panjang juga dikaitkan dengan hasil kesehatan Covid-19 yang lebih buruk.
China merupakan salah satu negara yang masih menghadapi permasalahan polusi udara akibat berbagai kegiatan yang tidak ramah lingkungan. Kementerian Perlindungan Lingkungan China pada 2015 bahkan pernah merilis laporan yang menunjukkankualitas udara di 265 dari 338 kota besar China melebihi standar kesehatan nasional tahun itu.
Beberapa hasil studi telah banyak mengungkap dampak buruk polusi udara bagi sejumlah sektor. Bank Dunia mencatat, polusi udara telah merugikan lingkungan, ekosistem dan keanekaragaman hayati, hasil pertanian, serta ekonomi. Biaya kerusakan kesehatan dari polusi udaraPM2,5 setara dengan 9,3 persen dari PDB di Asia Timur dan Pasifik serta 10,3 persen di Asia Selatan pada 2019.
Selain kebijakan dari pemerintah, peran peneliti dan akademisi juga sangat penting dalam upaya pengendalian polusi udara. Upaya ini juga telah dilakukan Bank Pembangunan Asia (ADB) saat melakukan manajemen kualitas udara di sejumlah daerah di China dan Mongolia. ADB melakukan kebijakan efektif untuk mengurangi polusi udara dan emisi gas rumah kaca dengan mengandalkan data ilmiah yang kuat dan solusi teknologi bersih.
Kepala Ekonomi Lingkungan dan Perubahan Iklim untuk Wilayah Asia Tenggara dari Bank Dunia Muthukumara Manimenyatakan, manajemen polusi udara di Asia sejauh ini fokus pada penanganan di tingkat kota. Akan tetapi, sebenarnya polusi udara dapat melintas batas suatu wilayah perkotaan karena aspek klimatologi.
”Tingkat polusi di dalam aliran udara dapat bervariasi. Dalam daerah aliran udara ini mungkin ada area di mana tingkat polusi meningkat karena sumber emisi tertentu. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis daerah aliran udara sebagai perencanaan dalam menangani polusi udara seperti yang sudah dilakukan China dan India,” ucapnya.
Muthukumara menegaskan, peran peneliti sangat dibutuhkan untuk mengenali sifat lintas batas polusi udara. Hal ini bertujuan untuk memahami sumber dan dampak dari polusi udara sehingga dapat merumuskan kebijakan penanganan yang tepat.