Polusi Udara Picu 180.000 Kematian Berlebih di Kota Tropis, Termasuk Jakarta
Riset terbaru menunjukkan, polusi udara telah bertanggung jawab terhadap 180.000 kematian berlebih di kota-kota tropis di dunia, termasuk di Jakarta, pada tahun 2018.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan kualitas udara dan peningkatan paparan polusi udara di perkotaan telah memicu dampak berbahaya bagi kesehatan. Riset terbaru menunjukkan, polusi udara telah bertanggung jawab terhadap 180.000 kematian berlebih di kota-kota tropis di dunia, termasuk Jakarta, pada tahun 2018.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Science Advances pada Jumat (8/4/2022) itu mengungkap tren polusi udara di 46 kota besar di Afrika, Asia, dan Timur Tengah menggunakan pengamatan berbasis ruang angkasa dari instrumen satelit Badan Antariska Amerika Serikat (NASA) dan Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk tahun 2005 hingga 2018. Karn Vohra dari University College London menjadi penulis pertama kajian ini.
Dalam kajian ini ditemukan, di semua kota tropis yang diteliti, terjadi peningkatan polutan tahunan berbahaya yang signifikan bagi kesehatan, yakni 14 persen untuk nitrogen dioksida (NO2) dan hingga 8 persen untuk partikel halus (PM 2,5) serta peningkatan prekursor PM 2,5 hingga 12 persen untuk amonia dan hingga 11 persen untuk senyawa organik volatil reaktif.
Penurunan kualitas udara yang ditandai dengan peningkatan partikel pencemar ini dikaitkan dengan 180.000 tambahan kematian dini pada tahun 2018. Jumlah ini meningkat 62 persen dibandingkan tahun 2005.
Menurut kajian ini, penurunan kualitas udara yang cepat ini terjadi seiring dengan tumbuhnya industri dan perumahan, kepadatan lalu lintas jalan, pembakaran limbah, serta penggunaan arang dan kayu bakar.
”Pembakaran terbuka biomassa untuk pembukaan lahan dan pembuangan limbah pertanian di masa lalu sangat mendominasi polusi udara di daerah tropis. Analisis kami menunjukkan bahwa kita memasuki era baru polusi udara di kota-kota ini. Beberapa mengalami tingkat degradasi dalam setahun yang dialami kota-kota lain dalam satu dekade,” kata Karn Vohra dalam keterangan tertulis.
Para ilmuwan juga menemukan peningkatan 1,5 hingga empat kali lipat paparan polusi udara selama periode studi di 40 dari 46 kota untuk NO2 dan 33 dari 46 kota untuk PM 2,5 pada populasi. Ini disebabkan oleh kombinasi pertumbuhan populasi dan penurunan kualitas udara yang cepat.
Kita terus mengalihkan polusi udara dari satu wilayah ke wilayah berikutnya, bukan belajar dari kesalahan masa lalu dan memastikan industrialisasi yang cepat dan pembangunan ekonomi tidak membahayakan kesehatan masyarakat.
Menurut penelitian ini, peningkatan jumlah orang yang meninggal dini akibat paparan polusi udara paling banyak terjadi di kota-kota di Asia Selatan, khususnya Dhaka, Bangladesh, yang mencapai 24.000 orang, dan kota-kota di India, seperti Mumbai, Bangalore, Kolkata, Hyderabad, Chennai, Surat, Pune, dan Ahmedabad, dengan total 100.000 orang. Dalam penelitian ini disebutkan, Jakarta memiliki tren peningkatan kematian berlebih akibat polusi udara pada 2018 berkisar 0-5 persen dibandingkan 2005.
Para peneliti mengatakan bahwa jumlah kematian di kota-kota tropis di Afrika saat ini lebih rendah karena membaiknya perawatan kesehatan yang mengakibatkan penurunan kematian dini secara keseluruhan. Meski demikian, efek terburuk polusi udara pada kesehatan kemungkinan akan terjadi dalam beberapa dekade mendatang.
Anggota tim peneliti, Eloise Marais, juga dari UCL, mengatakan, ”Kita terus mengalihkan polusi udara dari satu wilayah ke wilayah berikutnya, bukan belajar dari kesalahan masa lalu dan memastikan industrialisasi yang cepat dan pembangunan ekonomi tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Kami berharap hasil riset ini akan mendorong tindakan pencegahan di daerah tropis.”
Situasi di Jakarta
Sebelumnya, dalam laporan tahunan yang dirilis IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss yang secara rutin mengukur kualitas udara secara global, pada Selasa (22/3/2022), Indonesia menempati peringat ke-17 dari 117 negara dengan cemaran PM 2,5 tertinggi di dunia. Sementara Jakarta menempati peringkat ke-12 ibu kota negara paling tercemar.
Konsentrasi PM 2,5 rata-rata di Indonesia mencapai 34,3 mikrogram per meter kubik, sedangkan Jakarta 39,2 mikrogram per meter kubik. Pencemaran udara di Jakarta ini lebih buruk daripada Hanoi, Vietnam, yang berada di urutan ke-15 dengan konsentrasi PM 2,5 sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik dan Beijing, China, di urutan ke-16 sebesar 34,4 mikrogram per meter kubik. Adapun Singapura berada di urutan ke-66 dengan konsentrasi 13,8 mikrogram per meter kubik, dan Bangkok, Thailand, di urutan ke-40 dengan konsentrasi 20 mikrogram per meter kubik.
Pada September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memenangkan gugatan warga negara terkait kualitas udara di Jakarta. Dalam gugatan warga negara ini, pemerintah pusat dan daerah dinyatakan bersalah dan para tergugat dihukum agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Sesuai putusan pengadilan, Presiden diminta menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dihukum agar menyupervisi Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam menginventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi.