Banjir di Indonesia hingga Bangladesh, Rekor Gelombang Panas di Eropa
Dunia memanen bencana. Juni yang biasanya kemarau di Indonesia justru dilanda hujan lebat dan banjir. Sementara di Eropa, gelombang panas datang lebih awal dan mencapai rekor tertinggi.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Cuaca semakin tak menentu, seiring dengan pemanasan global yang melaju. Bulan Juni, yang biasanya musim kemarau di Indonesia, ternyata justru dilanda hujan lebat dan banjir di mana-mana. Di Bangladesh dan India, badai monsun menghebat dan menewaskan sedikitnya 59 orang. Sementara di Eropa, gelombang panas datang lebih awal dan mencapai rekor tertinggi.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari, Sabtu (18/6/2022), melaporkan, wilayah Kabupaten Pulau Morotai di Maluku Utara, khususnya Kecamatan Morotai Selatan, Kecamatan Morotai Timur, dan Kecamatan Morotai Utara telah dilanda banjir dahsyat dan angin kencang pada hari Rabu (15/6/2022) pukul 05.00 WIT.
Data kaji cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pulau Morotai menyebutkan, banjir dan angin kencang itu berdampak pada 779 keluarga atau 3.637 jiwa. Sekalipun tidak ada korban jiwa, bencana ini merusak 774 rumah warga yang empat di antaranya rusak berat.
Sementara itu, Kamis (16/6/2022), angin puting beliung menerjang permukiman warga di Desa Borikamase, Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan 53 rumah warga rusak berat dan 108 rumah rusak ringan.
Di Provinsi Toledo, Spanyol tengah, suhunya mencapai 43 derajat celsius pada tanggal 15 dan 16 Juni.
Sebelumnya, pada Selasa (14/6/2022), banjir melanda permukiman warga di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Peristiwa ini terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi dan meluapnya Sungai Sake sekitar pukul 07.20 yang melanda Desa Rantau Sialang di Kecamatan Sungai Keruh. BNPB melaporkan, sedikitnya 302 rumah warga terdampak banjir dengan ketinggian air 30-50 sentimeter.
Tiga kejadian dalam sepekan terakhir ini merupakan rangkaian dari bencana hidrometeorologi yang melanda wilayah Indonesia selama bulan Juni 2022. Sebelumnya, di pekan pertama dan kedua bulan Juni, sejumlah daerah di Jawa Barat dilanda bencana banjir bandang, seperti terjadi di Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, pada Minggu (5/6/2022) serta Desa Ciwidey, Kabupaten Bandung dan Desa Nagrak, Kabupaten Cianjur pada Senin (6/6/2022).
Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko, di Jakarta, Minggu (12/6/2022), mengatakan, serangkaian hujan lebat yang memicu bencana hidrometerologi ini disebabkan oleh anomali menghangatnya perairan di Kepulauan Indonesia, dan pada saat yang sama fenomena La Nina terus berkepanjangan hingga memasuki tahun ketiga.
Hangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia yang mengikuti kecenderungan pemanasan global ini, menurut Urip, berkontribusi menyuplai uap air yang lebih banyak sehingga dapat memicu pertumbuhan awan dan hujan yang lebih intens. ”Hal ini dapat berimplikasi terhadap peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di Indonesia,” ujarnya.
Di banyak negara
Tak hanya di Indonesia, intensitas bencana hidrometeorologi juga terlihat menguat di banyak negara. Di Brasil, bencana banjir dan longsor menewaskan 91 orang dan 26 orang hilang pada akhir Mei 2022 lalu.
Badai monsun yang melanda Bangladesh dan India menewaskan sedikitnya 59 orang dan menimbulkan banjir dahsyat yang menyebabkan jutaan lainnya mengungsi, sebagaimana dilaporkan kantor berita AFP, Sabtu (18/6/2022). Hujan tanpa henti selama seminggu terakhir telah membanjiri bentangan luas timur laut Bangladesh.
Sementara itu, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan, gelombang panas yang lebih awal dan intens telah menyebar dari Afrika Utara melalui Eropa hingga Amerika. Meskipun baru pertengahan Juni, suhu panas yang biasanya baru dialami pada bulan Juli atau Agustus kini telah melanda negara-negara Eropa.
Bahkan, di beberapa bagian Spanyol dan Prancis, suhu lebih dari 10 derajat celsius lebih tinggi dari rata-rata sepanjang tahun ini. Ini dikombinasikan dengan kekeringan di banyak bagian Eropa. Menurut rilis WMO, hal ini merupakan kelanjutan dari episode yang sedang berlangsung mengikuti gelombang panas yang berkepanjangan di India dan Pakistan pada bulan Maret dan April.
Layanan meteorologi dan hidrologi nasional Spanyol, AEMET, menyatakan, suhu di beberapa bagian negara itu telah mencapai 40 derajat celsius dalam beberapa hari berturut-turut minggu ini. Bahkan, di Provinsi Toledo, Spanyol tengah, suhunya mencapai 43 derajat celsius pada tanggal 15 dan 16 Juni. Masuknya debu Sahara ke Spanyol memperparah tekanan kesehatan dan lingkungan di wilayah Spanyol.
Sementara itu, Perancis telah mengalami Mei terpanas dan terkering dalam catatan sejarah mereka. Meteo-France menyatakan, gelombang panas akan menyebar dari selatan negara itu mulai 15 Juni dan puncaknya antara 16 dan 18 Juni. Suhu siang hari maksimum diperkirakan 35 hingga 38 derajat celsius dan suhu malam minimum di atas 20 derajat celsius.
”Kecepatan yang luar biasa dari episode ini merupakan faktor yang memberatkan,” rilis Meteo-France. Informasi tambahan dari rilis tersebut, ini adalah gelombang panas yang paling awal sejak 1947. St-Jean de Minervois, di SE France, melaporkan suhu 40 derajat celsius pada 16 Juni, suhu tertinggi suhu untuk daratan Perancis di awal tahun.
Konsekuensi pemanasan global
Sebagai akibat perubahan iklim, gelombang panas dimulai lebih awal, menjadi lebih sering dan lebih parah karena rekor konsentrasi gas rumah kaca yang memerangkap panas. Apa yang kita saksikan hari ini adalah gambaran masa depan, yang sepertinya datang lebih cepat, karena kegagalan kita mengerem laju pemanasan global.
Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) Kelompok Kerja I, Climate Change 2021: the Physical Science Basis, memproyeksikan bahwa untuk 1,5 derajat celsius pemanasan global, akan ada peningkatan gelombang panas, musim hangat yang lebih panjang, dan musim dingin yang lebih pendek. Pada pemanasan global 2 derajat celsius, panas yang ekstrem akan lebih sering mencapai ambang batas toleransi kritis untuk pertanian dan kesehatan.
Laporan tersebut menunjukkan serangkaian studi atribusi ke peristiwa panas ekstrem baru-baru ini, seperti di India dan Pakistan 2022, Amerika Utara bagian barat Juni 2021, Siberia 2020, dan Eropa Barat 2019, yang semuanya terkait dengan peran perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Sesuai kesimpulan IPCC, frekuensi jenis cuaca dan iklim ekstrem tertentu meningkat karena perubahan iklim dan beberapa studi atribusi telah menunjukkan bahwa hal itu telah membuat banyak peristiwa baru-baru ini menjadi lebih intens.
Meskipun hubungan yang tepat tetap terbuka untuk diskusi ilmiah, ada bukti yang berkembang bahwa beberapa aspek dinamika atmosfer fisik terkait dengan pemanasan Arktik, dapat meningkatkan gangguan terus-menerus di aliran jet kutub, memberikan periode musim panas belahan bumi utara yang berkepanjangan.
Sebaliknya cuaca bisa lebih basah di bagian bumi yang lain, termasuk di wilayah Indonesia dan Australia, yang mengalami La Nina berkepanjangan.
Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.