Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menyepakati penangguhan hak paten vaksin untuk negara berkembang selama lima tahun. Namun, hal ini jauh dari proposal TRIPS Waiver yang diajukan ke WTO sejak 2020.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Hasil Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di Geneva, Swiss, Jumat (17/6/2022), dinilai mengecewakan. WTO sepakat menangguhkan paten vaksin Covid-19 bagi negara berkembang selama lima tahun. Namun, keputusan ini jauh dari proposal penangguhan kekayaan intelektual yang diajukan India dan Afrika Selatan pada 2020.
Pada Oktober 2020, India dan Afrika Selatan (Afsel) mengajukan proposal penangguhan kekayaan intelektual terhadap produksi vaksin, termasuk paten, desain industri, hingga rahasia dagang. Proposal yang disebut Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver itu diajukan dalam forum WTO. Draf proposal ini direvisi, kemudian diajukan lagi pada Mei 2021.
Salah satu poin proposal ini yakni penangguhan hak paten terhadap vaksin serta produk diagnostik dan terapeutik Covid-19. TRIPS Waiver juga meminta agar semua negara dapat memproduksi vaksin. Proposal tersebut bertujuan untuk mendorong pemerataan akses vaksin, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.
Walakin, keputusan WTO pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 hanya menyepakati penangguhan hak paten untuk vaksin Covid-19. Penangguhan paten untuk produk diagnostik dan terapeutik belum disepakati. WTO berencana membahas perluasan penangguhan paten untuk kedua produk itu.
Selain itu, beberapa pihak juga menyayangkan WTO yang menangguhkan vaksin Covid-19 hanya untuk negara berkembang. Padahal, TRIPS Waiver mengajukan agar semua negara diberi akses produksi vaksin.
Adapun TRIPS Waiver ini disepakati oleh mayoritas negara anggota WTO, China, dan Amerika Serikat. Negara yang sebelumnya tidak menyetujui TRIPS Waiver adalah Uni Eropa, Swiss, dan Inggris.
Koordinator Kelompok Kerja Akses Vaksin dan Kesehatan Global Civil 20 (C20) Agung Prakoso mengatakan, hasil KTM WTO mengecewakan. Penangguhan hak paten vaksin tidak cukup karena penanganan pandemi tak hanya bersifat preventif. Aspek diagnostik dan terapeutik juga diperlukan untuk pengobatan hingga pelacakan kasus Covid-19.
”Ini keputusan yang mengecewakan karena pada akhirnya draf proposal yang diusulkan tidak berhasil disepakati,” kata Agung, Sabtu (18/6/2022).
Keputusan WTO tentang penangguhan hak paten vaksin ke negara berkembang patut dicermati. Draf terbaru keputusan KTM WTO menyatakan negara berkembang yang dimaksud adalah yang memiliki kapasitas ekspor vaksin. Pada catatan kaki draf, negara berkembang itu didorong tidak terlibat dengan keputusan WTO ini.
Agung menambahkan, draf WTO tersebut masih perlu dikaji. Sejumlah pihak kini sedang mengkaji keputusan WTO, termasuk organisasi masyarakat sipil.
Di sisi lain, memberikan sepenuhnya hak paten dinilai dapat menghambat inovasi vaksin. Federasi Internasional Produsen dan Asosiasi Farmasi atau IFPMA yang merupakan kelompok lobi vaksin menilai bahwa masalah utama kelangkaan vaksin ada di perdagangan, bukan hak paten.
”Faktor tunggal terbesar yang memengaruhi kelangkaan vaksin bukan di kekayaan intelektual, tetapi perdagangan. Hal ini belum sepenuhnya ditangani WTO,” kata Direktur Jenderal IFPMA Thomas Cueni seperti dilansir dari AFP.
Menurut perwakilan Public Service International Susana Barria, adanya HKI pada vaksin telah menciptakan ketidaksetaraan artifisial. Sementara TRIPS Waiver masih diperdebatkan, nyawa warga dunia yang belum divaksin melayang karena Covid-19.
Pemerintah tiap negara perlu membangun mekanisme permanen tentang penangguhan otomatis HKI saat terjadi kondisi darurat kesehatan. Di sisi lain, ia menyayangkan bahwa kebijakan kesehatan saat ini ada di tangan pemangku kepentingan perdagangan, bukan kesehatan.
”Produk kesehatan yang dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat adalah barang publik sehingga membutuhkan arahan publik dalam produksinya. Kita butuh produksi vaksin dan obat-obatan yang dipimpin oleh publik,” kata Barria pada forum C20 di Mataram, NTB, Jumat (10/6/2022).
Pembahasan di G20
C20 yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil berencana mendorong Pemerintah Indonesia mengangkat isu pemerataan vaksin di forum G20. Sebagai tuan rumah G20 tahun 2022, Indonesia diharapkan mampu mendorong negara-negara anggota G-20 untuk menyetujui TRIPS Waiver.
Produk kesehatan yang dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat adalah barang publik sehingga membutuhkan arahan publik dalam produksinya. Kita butuh produksi vaksin dan obat-obatan yang dipimpin oleh publik.
Hal ini dinilai penting mengingat ketimpangan akses vaksin Covid-19 di dunia. Menurut Our World in Data, per 18 Juni 2022, sebanyak 11,98 miliar dosis vaksin telah diberikan ke warga dunia. Sebanyak 66,3 persen orang di dunia telah menerima setidaknya satu dosis vaksin Covid-19. Namun, hanya 17,8 persen orang di negara berpendapatan rendah yang menerima satu dosis vaksin.
Di sisi lain, cakupan vaksinasi di Eropa rata-rata di atas 70 persen. Negara Eropa bahkan telah memberi vaksin penguat ke warganya. Sementara itu, cakupan vaksinasi di beberapa negara seperti Burundi, Haiti, Papua Niugini, dan Kongo di bawah 5 persen.
Perwakilan People Vaccine Alliance, Maaza Seyoum, mengatakan, kematian akibat pandemi Covid-19 bagi penduduk negara miskin 1,3 kali lebih tinggi dibanding negara kaya. Kerentanan orang miskin dan kelompok minoritas bahkan bertambah saat pandemi.
”Sebanyak 160 juta orang telah jatuh ke dalam kemiskinan (akibat pandemi Covid-19), sedangkan 10 orang terkaya melipatgandakan keuntungan,” kata Seyoum secara daring pada forum C20 di Mataram, Jumat (10/6/2022). Perusahaan farmasi memperoleh 1.000 dollar AS per detik selama pandemi.
Menurut catatan WTO, sepanjang tahun 2020, perdagangan produk-produk medis tumbuh 16,3 persen dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 4,7 persen. perdagangan obat berkontribusi 52,2 persen dari total perdagangan obat dan suplemen 17,3 persen, peralatan medis 13,1 persen, serta masker 11,1 persen.
Adapun MarketsandMarkets Research memproyeksikan total nilai pasar vaksin global dapat mencapai 58,4 miliar dollar AS pada 2024. Angka ini naik dari 2019 yang sebesar 41,7 miliar dollar AS. Laju pertumbuhan tahunan (CAGR) nilai pasar vaksin global rata-rata 4 persen (Kompas.id, 4/8/2021).
Seyoum menilai bahwa yang terjadi saat ini di dunia adalah ketidaksetaraan. Menurutnya, pasokan vaksin Covid-19 di dunia cukup, tapi terhalang oleh monopoli hak paten. Sejumlah negara kaya juga menimbun vaksin.
”Akses vaksin yang tidak merata merupakan bentuk segregasi ekonomi, sosial, dan rasial. Pemikiran bahwa Afrika aman dari Covid-19 karena panas dan banyak ruang terbuka itu salah. Jumlah orang yang meninggal karena Covid-19 diperkirakan lebih banyak dari data karena ada yang wafat sebelum sempat dites,” tambahnya.