Kolaborasi Negara Asia Tenggara Membangun Ketahanan Menghadapi Disrupsi
Pandemi Covid-19 mengakselerasi disrupsi di berbagai bidang yang menjadi tantangan negara-negara di dunia, termasuk di Asia Tenggara. Diperlukan kolaborasi membangun ketahanan bersama untuk menghadapi sejumlah persoalan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 mengakselerasi disrupsi di berbagai bidang yang menjadi tantangan negara-negara di dunia, termasuk Asia Tenggara. Diperlukan kolaborasi membangun ketahanan bersama untuk menghadapi sejumlah persoalan akibat perubahan di masa depan.
Pandemi Covid-19 selama lebih dari dua tahun terakhir mendatangkan tantangan dinamika politik, regional, sosial ekonomi, dan budaya. Tantangan ini dipicu transformasi digital dan diperkuat tren global, di antaranya perubahan demografis, urbanisasi, peningkatan migrasi internasional, dan ketergantungan yang kuat pada teknologi digital.
”Diperlukan kerja sama yang lebih luas untuk membangun kembali perekonomian dan ketahanan masyarakat kita untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang. Tanpa kerja sama dan tindakan kolaboratif, yang terjadi adalah ketidakpastian yang berdampak negatif bagi masyarakat,” ujar Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko dalam Konferensi Southeast Asia Studies in Asia (Seasia) 2022 di Jakarta, Kamis (9/6/2022).
Konferensi itu bertujuan mencari solusi dari segala permasalahan di masing-masing negara untuk mendorong pemulihan pascapandemi. Kegiatan itu berlangsung hingga Sabtu (11/6/2022) dan melibatkan Konsorsium Seasia yang terdiri atas 13 institusi pendidikan dan lembaga riset di Asia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, ketahanan sosial dan budaya di Asia Tenggara sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi, terutama dalam mengatasi krisis. Selain itu, keragaman etnik dan budaya beserta kekayaan sumber daya alam dan masyarakatnya menjadi aset potensial untuk keluar dari kesulitan yang terjadi akibat disrupsi.
”Dengan pengalaman dari berbagai negara, kawasan ini memberikan banyak contoh bagaimana negara dan orang-orang dengan karakteristik seperti itu dapat mengatasi situasi dan kerentanan ini dengan mengandalkan aset mereka dan membangun ketahanan mereka,” ujarnya.
Menurut Muhadjir, upaya keluar dari krisis sangat dipengaruhi aspek sosial budaya. Dalam melakukan vaksinasi untuk mengatasi pandemi Covid-19, misalnya, didukung komunitas sosial dan budaya.
Asia Tenggara bukan hanya kawasan yang padat penduduk, melainkan juga rumah bagi keberagaman kelompok sosial, etnik, dan agama. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama untuk menghadapi sejumlah perubahan yang dinamis di masa mendatang.
Keberagaman etnik yang dipadukan semangat gotong royong menjadi modal penting dalam membangun ketahanan kawasan. Hal itu juga digunakan untuk beradaptasi terhadap sejumlah perubahan akibat disrupsi.
”Kebudayaan adalah akar dan salah satu aspek penting untuk membangun ikatan dan ketahanan sosial, termasuk dalam meminimalkan konflik sosial yang berpotensi menghambat pencapaian kemajuan,” katanya.
Muhadjir menambahkan, Asia Tenggara bukan hanya kawasan yang padat penduduk, melainkan juga rumah bagi keberagaman kelompok sosial, etnik, dan agama. Oleh sebab itu, dibutuhkan kerja sama untuk menghadapi sejumlah perubahan yang dinamis di masa mendatang.
”Saya berharap ada lebih banyak kesempatan, seperti Konferensi Seasia ini, dapat dijadikan peluang positif, tidak hanya untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga mempelajari strategi lebih baik yang akan berkontribusi pada perbaikan di Asia Tenggara,” ucapnya.
Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Yayan G H Mulyana mengatakan, pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan krisis kesehatan, tetapi juga krisis di sektor lainnya. Kolaborasi antarnegara, salah satunya dalam pengadaan vaksin, menjadi salah satu kunci mengendalikan pandemi.
”Kekuatan kolaborasi ini dapat dilihat dari diplomasi vaksin melalui fasilitas Covax dan skema bilateral. Diplomasi membangun solidaritas, responsibilitas, dan kerja sama,” katanya.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim berharap Konferensi Seasia berkontribusi mewujudkan upaya bersama untuk bangkit dari dampak pandemi. Ia optimistis konferensi itu mendorong pemulihan Indonesia dan Asia Tenggara secara menyeluruh dan komprehensif.
”Komitmen Indonesia mencapai SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) terwujud dalam gotong royong untuk memulihkan semua aspek kehidupan dari dampak pandemi. Sebab, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tidak bisa mengesampingkan aspek kesehatan. Dalam meningkatkan layanan kesehatan juga harus mempertimbangkan aspek kebudayaan masyarakat,” ujar Nadiem yang mengikuti konferensi itu secara daring.