Jutaan Anak Tidak Sekolah
Anak tidak sekolah masih jadi masalah di Indonesia dengan jumlah sekitar empat juta orang. Padahal, pendidikan menjadi jalan untuk menyiapkan masa depan lebih baik.
JAKARTA, KOMPAS — Meski jumlahnya menurun, anak tidak sekolah tetap menjadi permasalahan serius, terutama di jenjang pendidikan menengah atas dan dialami siswa laki-laki. Untuk itu, kapasitas sekolah dan guru mendeteksi kecenderungan anak tidak sekolah perlu dikuatkan dengan pendekatan responsif jender.
Yuanita Marini Nagel, anggota staf Unicef Education di Kantor Surabaya, memaparkan hal itu dalam webinar bertajuk ”Meretas Bias: Mengurai Masalah Murid dengan Kepemimpinan Responsif Gender di Sekolah” yang digelar Yayasan Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (Inspirasi) pada Selasa (7/6/2022).
Menurut Yuanita, anak tidak sekolah (ATS) mencakup anak usia 7-18 tahun yang tidak bersekolah, anak putus sekolah, maupun sudah menyelesaikan satu jenjang tapi tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, ATS berjumlah 4,08 juta atau setara dengan 7,4 persen. Dari total ATS, anak laki-laki 2,3 juta, sedangkan perempuan 1,8 juta.
Perkiraan ATS di kelompok umur 7-12 tahun sebanyak 180.000 orang dan di kelompok 13-15 tahun sebanyak 987.000. Terbanyak di kelompok umur 16-18 tahun sekitar 2,915 juta orang.
Baca juga: Pelibatan Masyarakat Kunci Penanganan Anak Tidak Sekolah
Yuanita mengutarakan, penyebab utama ATS adalah masalah ekonomi dan anak berkebutuhan khusus. Anak laki-laki yang tidak bersekolah umumnya karena bekerja, sedangkan anak perempuan karena menikah di usia dini.
Galang Dwi (17), pemuda asal Pemalang, Jawa Tengah, misalnya, tidak dapat melanjutkan pendidikan ke SMA seusai lulus SMP pada tahun 2019. ”Sebenarnya saya dan didukung orangtua tetap berniat untuk sekolah,” ujarnya.
Namun, saat itu mereka tidak buru-buru langsung mendaftar ke sekolah karena orangtua masih mengumpulkan biaya pendaftaran. Ketika sudah siap, pendaftaran di sekolah sudah tutup sehingga saya tidak bisa di sekolah formal. Akhirnya, saya milih bekerja serabutan untuk menunggu pendaftaran tahun depan,” kata Galang.
Namun, rencana mendaftar ke SMA di tahun berikutnya kandas. Galang merasa tidak enak hati membebani orangtuanya karena adiknya tahun itu lulus SMP dan mendaftar ke SMA. ”Saya melanjutkan bekerja saja. Tapi di hati tetap mau punya ijazah SMA supaya mendapat pekerjaan lebih baik. Rencananya mau nabung supaya bisa kuliah,” ujarnya.
Galang pun mendapat informasi pendidikan kejar paket C di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerahnya. Galang bisa sekolah untuk mendapat ijazah SMA sambil tetap bekerja. ”Saya tetap punya keinginan bisa kuliah, mengambil bidang bisnis dan manajemen untuk bekal jadi wirausaha,” katanya.
Faktor risiko
Menurut Yuanita, dampak Covid-19 juga dapat memengaruhi keberlanjutan pendidikan anak. Hasil pemantauan Unicef di 354 kabupaten di 33 provinsi menemukan 1.243 anak putus sekolah atau satu persen. Alasan tertinggi karena faktor ekonomi. Jumlah anak laki-laki yang putus sekolah lebih besar dari perempuan.
Namun, perempuan 10 kali lebih besar kemungkinannya putus sekolah karena pernikahan dini. Demikian pula anak-anak disabilitas, kemungkinannya tiga kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan yang nondisabilitas. Ditemukan ada lebih dari 12.000 anak putus sekolah sebelum pandemi.
Baca juga: Anak Putus Sekolah karena Pandemi
Dari pemantauan itu ditemukan bahwa 3 dari 4 anak yang bersekolah memiliki setidaknya satu faktor risiko yang dapat memicu mereka putus sekolah. Faktor risiko yang dimaksud adalah bekerja dengan upah, bekerja tanpa upah, merawat/menjaga adik, menikah, maupun menyandang disabilitas.
Kita ingin pendidikan inklusif, pendidikan dengan iklim kesetaraan jender bisa membuat semua anak laki-laki dan perempuan punya kesempatan sama mendapatkan pendidikan berkualitas.
Selain itu, bisa karena beraktivitas lain yang menyita waktu (tidak belajar, namun bermain sepanjang hari), orangtua berpikir menghentikan pendidikan anak, tidak ada pemantauan oleh guru atau kepala sekolah, maupun pemerintah desa, serta jumlah telepon seluler per keluarga lebih sedikit dari jumlah anak usia sekolah di dalamnya.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti memaparkan, kebijakan pendidikan harus dapat terus menguatkan yang sudah baik dan mendorong yang tertinggal untuk terus membaik. Karena itu, kebijakan pendidikan responsif jender terus diimplementasikan sejak dari perencanaan pendidikan sehingga mengarah pada apa yang dituju, siapa yang tertinggal, atau mana yang butuh penguatan.
”Kita ingin pendidikan inklusif, pendidikan dengan iklim kesetaraan jender bisa membuat semua anak laki-laki dan perempuan punya kesempatan sama mendapatkan pendidikan berkualitas. Di rapor pendidikan, sudah dipotret iklim jender untuk melihat kinerja laki-laki dan perempuan sehingga bisa dilakukan intervensi yang tepat sesuai kebutuhan,” kata Suharti.
Terkait dukungan untuk ATS, pemerintah menyediakan bantuan pendidikan Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk siswa pendidikan dasar dan menengah hingga kuliah. Kementerian Sosial juga ada program untuk keluarga tidak mampu yang memiliki anak usia sekolah.
“Untuk guru dan kepala sekolah, hingga perangkat desa harus mengenali masyarakat yang bersekolah atau tidak bersekolah. Jadi secara proaktif bisa meminta orangtua untuk membolehkan anak sekolah lagi, terutama yang putus sekolah atau yang tidak lanjut. Program pemerintah untuk siswa tidak mampu ada dan berkelanjutan untuk memastikan mereka bisa bersekolah sesuai potensinya,” ujar Suharti.
Harus proaktif
Petrus Pote Wali, Koordinator Pengawas Pendidikan Dasar, Pengawas SMP Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, pendidikan responsif jender mampu untuk mengatasi ATS. Dengan dukungan Save The Children, isu jender dalam pendidikan mulai diangkat. Para guru dan kepala sekolah serta orangtua diajak untuk terlibat kampanye program jender bertajuk Setara Sejak Dini di 20 desa dan 20 sekolah.
Meskipun secara nasional disebutkan penduduk laki-laki dan perempuan sudah mempunyai kesempatan hampir setara untuk mendapat pendidikan, di Sumba Barat, perempuan memiliki kesempatan lebih kecil. Selain itu, kaum perempuan memiliki ruang sempit dalam kegiatan ekonomi, budaya, dan kelembagaan, serta minim diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.
Baca juga: Sekolah Tidak Lancar, Sejumlah Anak Menjadi Pekerja
Kapasitas untuk menguatkan nilai-nilai nonbias jender dilakukan dengan memberi pelatihan pada guru, kepala sekolah, dan orangtua. Masih ditemui ada suatu sekolah yang tingkat ketidakhadiran siswa tinggi. Para guru pun diajak untuk mau mengenali kehidupan tiap anak,
”Setelah saya ajak guru mau menggali dan mendengarkan alasan anak, didapati ada anak-anak yang harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di tempat mereka menumpang, ada yang bilang sekolah jauh kalau terlambat bangun, jadi tidak ke sekolah. Guru perlu membuka diri dengan kondisi siswa sehingga risiko putus sekolah bisa diatasi. Jangan guru jadi penghambat masa depan anak. Karena melalui guru, anak-anak ini akan meraih mimpi dan masa depan,” katanya.
Dewi Susanti, Peneliti Senior di Global School Leaders, mengatakan pentingnya dukungan sekolah dari berbagai aspek untuk siswa laki-laki dan perempuan.
Sebagai pendidik harus berupaya meretas bias, khususnya guru di sekolah, ada hal yang tidak disadari sehingga ada bias jender. Contohnya, ketika anak di kelas tidak siap belajar atau tidak membawa buku atau tidak membuat pekerjaan rumah, guru mudah merasa kesal, langsung melabeli anak malas hingga bodoh.
”Ternyata, kita tidak pernah bertanya, apakah sebelum datang ke kelas ada hal yang membuat mereka tidak siap ke kelas. Bisa karena kekerasan di dalam keluarga atau ada masalah ekonomi yang pelik. Bias yang tidak disengaja atau tanpa disadari ini harus bisa diatasi sehingga ada guru memahami dan siap mendukung anak untuk sukses menjalani pendidikan,” kata Dewi.